Alaska tidak membenci keluarganya saat ini, ia malah bersyukur karena memiliki keluarga yang mau mengadopsinya, tapi terkadang juga suka terlewat dalam benaknya bahwa ia memilih untuk kembali ke panti asuhan karena banyak hal yang terjadi setelah ia di adopsi.
"Kamu tidak pamit pagi tadi?" tanya Nirmala saat melihat Alaska baru saja tiba di rumah dengan keringat yang membanjiri pelipisnya. Cuaca cukup panas dsn lagi ospek hari ini benar-benar membuatnya lelah.
Alaska mengangguk pelan, "Alaska nggak mau bangunin ibu sama ayah."
Nirmala hanya menatap sang anak dengan wajah datar, kemudian ia melengos kembali ke dapur. "Makan dulu sana seadanya ya, kamu tau kan keuangan kita sedang jelek, makanya jangan banyak ngeluh."
Alaska lagi-lagi mengangguk, omongan Nirmala kepadanya memang seperti itu dan Alaska sudah terbiasa. Ia pun kemudian berjalan menuju kamarnya yang terletak di pojok lorong. Tempat yang sulit terkena sinar matahari, dan ruangan sempit itu hanya bisa diisi satu kasur dan lemari kecil saja. Tapi Alaska tidak berkomentar, setidaknya memiliki kamar di rumah sederhana ini saja sudah cukup.
Pada awalnya keluarga Alaska baik-baik saja, mereka penuh perhatian pada Alaska kecil, hingga ternyata sang ibu mengandung anak laki-laki di usianya yanh sudah hampir kepala empat. Mereka juga asalnya adalah keluarga berada sampai dimana beberapa hal membuat keluarga ini sedikit terpuruk. Mulai dari finansial sampai kesehatan mental kedua orang tuanya mulai memburuk.
Maka tidak heran jika perubahan sikap kedua orang tuanya dulu dan sekarang sangat berbanding terbalik.
Hanu — nama anak lelaki yang terpaut 5 tahun di bawah usia Alaska. Kini lelaki itu sudah memasuki sekolah menengah atas. Sikapnya benar-benar membuat Alaska harus mengusap dada. Mungkin karena satu-satunya anak yang Nirmala bisa lahirkan membuat Hanu menjadi sosok yang manja dan semua keinginannya harus dikabulkan.
"Ibu, coba lihat ini!" Hanu berlari kecil sambil memperlihatkan sweater warna abu yang masih memiliki label disana. "Alaska beli sweater baru, aku juga mau! Ibu nggak beliin buat Hanu?"
"Sejak kapan Hanu masuk kamarnya?" pikir Alaska yang mendengar teriakan Hanu tadi. Suara dari dapur sampai kamarnya memang cukup dapat di dengar.
Alaska pun lalu mengecek lemarinya dan benar bahwa sweater yang dibawa Hanu adalah miliknya yang baru saja Alaska beli beberapa hari lalu.
Nirmala menghela nafas panjang, "Alaska! sweaternya kasih Hanu aja ya. Baju baju kamu masih bagus kan? kali-kali kasih adik kamu, jangan cuma beli buat sendiri."
Kesal? tentu. Alaska membeli setelah mengumpulkan uang hasil kerja sampingannya dan sekarang ia harus memberikan bajunya untuk Hanu? yang benar saja.
Alaska lalu ke luar kamar dan berjalan menghampiri kedua orang yang berbicara di dapur itu. "Bu, itu beli pake uang kerja Alaska. Alaska ngga ada uang lagi buat beli sweater. Sekarang musim hujan, Alaska nggak ada jaket."
Mendengar tolakan dari Alaska, Hanu menatap sang kakak dengan tatapan tidak suka, dahinya mengerut, "lo pelit banget! lo udah masuk kuliah, kerja juga, kurang apa lagi? lo nggak tau Ibu sama Ayah lagi susah!"
"Kamu harusnya nabung dari uang bekal kamu," balas Alaska. Tapi tentu opini Alaska sama sekali tidak di dengar. Ia lihat Nirmala menatapnya dengan tatapan marah, seakan membenci Alaska yang bersikap kurang ajar.
"Ibu tidak pernah mengajarkan kamu untuk berprilaku buruk Alaska. Hanu adik kamu, apa yang buat kamu nggak mau kasih barang buat adik kamu?"
Alaska yang hendak membalas omongan sang ibu mendadak menutup mulutnya kala tiba-tiba Erga memasuki rumah dengan wajah lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope in my home || NCT
Teen Fictionkisah seorang lelaki dengan takdir yang selalu mempermainkannya. Ia tidak sengaja harus berpisah dengan keluarga aslinya tapi siapa sangka bahwa selama ini keluarganya berada sangat dekat dengannya. BROTHERSHIP, FAMILY🍭