Rutinitas Anggita kini fisioterapi rutin menjelang operasi besar kedua untuk cedera kakinya, minggu ini kembali ia menyambangi rumah sakit untuk bertemu Dokter Veranda.
Tanpa banyak basa-basi Anggita segera memulai terapi. Hingga rasanya enam puluh menit begitu berasa seharian, keringat bercucuran dari wajah juga sekujur badannya yang menahan rasa sakit selama terapi.
"Kamu tidak bisa seperti ini terus Anggita. Terapi kamu tidak ada kemajuan sementara jadwal operasi tinggal dua minggu lagi." Nada bicara Dokter Veranda begitu tegas, setelah melihat tablet dimana progress terapi memang hampir tidak ada kenaikan.
"Lantas, harus seperti apa saya menjalani terapi ini? Harus seperti apa saya menyiasati rasa sakit selama terapi?" Suara Anggita begitu dingin memberikan jawaban
"Setidaknya berusahalah lebih dari ini, beberapa pasien saya bahkan ada yang sampai menangis menepis rasa sakit untuk bisa sembuh lagi. Bahkan lansia-lansia yang saya tangani untuk terapi tidak ada yang sekendor kamu. Kalau seperti ini terus bisa bahaya nanti saat operasi kedua."
"Berikan saya obat pereda nyeri lebih dari dosis yang sekarang maka akan saya tingkatkan usaha terapi ini." Jengah mendengar pembanding, Anggita tantang saja Dokter Veranda
Dan Dokter Veranda sendiri? Sungguh tidak menduga jika Anggita akan terus menjawab pernyataan-pernyataannya yang hanya bermaksud untuk menaikan semangat Anggita
"Tidak semua selesai dengan obat pereda nyeri Anggita, karena obat yang paling ampuh adalah kesediaan pasien untuk pulih. Pikirkanlah orang-orang disekitar kamu yang begitu sayang sama kamu, mereka yang selalu antar jemput kamu, kasih kamu semangat saat terapi. Mereka yang ingin kamu sembuh kembali."
"Saya tidak minta diantar jemput, saya tidak minta diperhatikan, dan bahkan saya tidak perduli dengan kesembuhan ini. Mau cacat selamanya atau mati sekalian itu tidak masalah." Anggita begitu menekan setiap ucapannya, Ia sendiripun tidak mengerti kenapa bisa selepas ini melindungi dirinya yang seolah tengah di remehkan.
"Kasihan sekali mereka menaruh harapan kosong pada diri kamu yang tidak ada sama sekali tekad untuk kembali sembuh, hidup kamu sudah terlanjur terjebak di masa lalu. Setidaknya sembuh lah untuk mereka yang begitu berharap bisa kembali dengan kamu dalam kondisi sehat lagi."
Dokter Veranda menatap begitu tajam, tak kalah tajam dengan tatapan Anggita.
"Terima kasih untuk penilaiannya, sepertinya saya tahu masalah saya bukan di kurang usaha ataupun kurang upaya selama terapi ini, tapi masalah saya ada pada Dokter! Bukan Dokter yang seharusnya menjadi terapis saya!!" Emosi Anggita semakin tidak terbendung pada pancingan semangat dari Dokter Veranda
"Kalo begitu kita hentikan terapi ini, percuma kita selalu ada pertemuan, lelah kamu menahan sakit menjalani sesuatu yang tidak kamu inginkan. Sampai kapanpun, bahkan terapis manapun tidak akan ada yang sanggup menangani kamu jika kamu sendiri tidak membebaskan diri. Silahkan cari terapis lain untuk membuktikan ucapan saya!"
"Wow.. wow... ada apa ini? Take it easy Dokter Veranda." Seorang Dokter yang tanpa keduanya sadari kehadirannya, menengahi saling sahut antara pasien dan therapisnya. "Ruangannya terasa begitu panas bukan?" Menoleh pada Dokter Veranda dengan isyarat untuk mengalah pada Anggita.
Ditengah perdebatan Dokter dengan Pasiennya, seorang Dokter laki-laki masuk setelah sebelumnya Ia mencuri dengar ketegangan dalam percakapan keduanya.
Anggita tahu siapa Dokter laki-laki tersebut, ia segera menguasai dirinya sendiri. Pun dengan Dokter Veranda yang sempat terpancing emosi.
"Dokter Veranda." Kepalanya mengangguk menyapa Dokter Veranda yang hampir satu usia
KAMU SEDANG MEMBACA
Lani & Raya
FanfictionMungkinkah persahabatan bisa terjalin dari rasa sakit atas kehilangan? Bagaimana jika perasaan yang hadir adalah perasaan yang tidak seharusnya? Akankah rasa yang hadir dalam sebuah kebohongan bisa bertahan lama?