15. PUNCAK ACARA

157 3 0
                                    

☆☆☆
"Mas, apa nggak papa?" Ghia farkhatul ummah

"Kenapa kamu takut, kamu tidak melakukan dosa. Kamu halal bagiku dan aku halal bagimu." Zizan abdul ja'far
.
.
.

Umma Fatimah baru saja keluar dari pesholatan karena pagi ini banyak santri putri yang berhalangan. Zizan yang baru keluar kamar melihat sang umma berjalan ke arah dapur.

"Umma.."

Umma fatimah menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah kamar zizan. Zizan sudah ada di luar kamarnya menghampiri umma fatimah.

"Ada apa zizan?"

"Zizan mau lihat butik, mungkin sampai siang ini. Apa abi butuh badal imam dzuhur?" Tanya Zizan

"Sepertinya tidak. Abi ada di kamar. Nanti kalau ada urusan mendadak biar langsung kabari kamu saja. Biar kamu bisa lekas pulang." Ucap umma fatimah

"Baiklah umma, oh iya.. ghia ikut tidak papa kan?"

"Biarlah ghia ikut jika memang dia tidak lelah. Tapi masalahnya pagi seperti ini banyak asatidz dan santri yang lalu lalang, jika ghia takut ketahuan pakaikan cadar saja. Atau burqo juga tidak masalah. Hanya sampai keluar wilayah pesantren saja." Ucap umma Fatimah

"Baik umma, kalau begitu zizan siap-siap dulu.. assalamualaikumm.."

"Waalaikumsalam.."

Zizan kembali ke kamarnya untuk bersiap, sedangkan umma fatimah ke dapur pesantren mengecek masakan mbak-mbak dapur.

***

Setelah bersiap, zizan dan ghia keluar dari kamar menuju garasi mobil. Namun sebelum keluar dari ndalem tadi zizan memberikan ghia sebuah niqab. Ghia lantas menerimanya dan memakainya agar tak ada yang tahu kalau dia adalah ghia.

Saat sampai didepan garasi zizan dan ghia bertemu shinta dan raisa yang baru saja keluar dari pesholatan ndalem.

"Assalamualaikum gus.." ucap keduanya

"Waalaikumsalam.." balas zizan

Ghia seketika itu tegang, ia takut kalau kedua temannya ini mengenalinya meski wajahnya telah berniqab.

"Ini saudara gus zizan?" Tanya Shinta

"Iya shinta, dia baru datang tadi malam dari turki. Karena saya yang menjemputnya kesana." Jawab gus Zizan

Raisa tersenyum pada gadis berniqab yang ada didepannya. Namun saat melihat kebawah, Raisa menyadari kalau itu ghia. Berkat bekas luka goresan yang ada dipunggung tangan kirinya. Hanya Raisa yang tahu bekas itu ada di punggung tangan ghia.

Gadis berniqab itu menyapa keduanya dengan menunduk anggun tanpa mengeluarkan suara. Raisa tahu, ghia takut ketahuan. Apalagi yang ada didepannya saat ini adalah shinta. Seseorang yang sangat mengagumi suami ghia.

"Gus zizan mau pergi?" Tanya shinta

"Iya, saya mau ajak dia keliling sekitar sini saja. Setidaknya dia tahu daerah sini meski tidak terlalu luas." Jawab zizan

Ghia melihat sang suami ramah pada seorang gadis meski itu santriwatinya tentu merasa kesal. Wajah cerah dibalik niqab itu berubah mendung.

Setelah shinta dipaksa Raisa segera pergi dengan mengatakan harus segera murojaah. Sedangkan zizan dan ghia segera masuk mobil dan pergi dari perkomplekan pesantren.

***

Kini zizan menyetir sendiri, saat keluar dari perkomplekan pesantren ghia langsung melepas niqabnya dan meletakkannya di jok belakang. Zizan menoleh pada sang istri. Lalu tersenyum sambil kembali fokus pada jalanan.

Assalamualaikum Gus..Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang