[14] Tanpa penjelasan.

833 128 57
                                    

**

"Mi, kamu nerima anak itu?"

"Jelas. Kasihan dia, Mas. Mau kemana lagi kalau gak kita yang nyuruh pulang ke sini?"

"Hm.. Iya juga. Tapi aku kurang suka sifat Afka semenjak Kara di sini, mungkin karena anak itu ngerasa tersaingi?"

"Iya, Mas. Kita emang gak boleh pilih kasih, tapi Afka juga gak boleh semakin di manja. Takutnya malah keterusan. Gak baik."

"Iya, sayang. Asal kita didiknya gak pakai kekerasan, masih wajar, kok."

Kara mematung di depan pintu kamar Orang tua barunya. Otaknya sibuk menyusun berbagai cara untuk mencari perhatian. Meski di dalam hatinya masih ada sedikit rasa kasihan pada sang Kakak, jelas Kara juga ingin kasih sayang. Jika ia diam saja, dari mana ia akan mendapatkan kasih sayang itu? semuanya pasti akan tercurah pada Kakaknya.

Maka dengan langkah ragu dan otak yang terus berputar keras, Kara memutuskan untuk menuju dapur. Menyeduh segelas kopi mungkin akan meringankan sedikit bebannya. Baru tangannya selesai menyobek bungkus kopi kemasan yang ia ambil dari rak atas, Kara terdiam saat panggilan dari Afka seolah menyadarkan ia dan semua rencana jahatnya.

"Udah malem, Dek. Gak baik minum kopi." Nadanya terdengar lembut. Sejak awal Kara kembali bertemu dengan Afka, tidak ada yang berubah dari sosok Kakaknya itu. Hanya dirinya dan keegoisannya lah yang mengubah segalanya. Kara sadar, tetapi jelas ia belum mau mengalah.

"Kara lagi pengen aja, Kak."

Afka mengangguk-angguk mengerti. Tangannya dengan telaten mengambil satu bungkus mie instan dari dalam laci, namun belum sempat membukanya, Afka terdiam memaku hanya karena sebuah pertanyaan yang mengudara dari belah bibir sang adik.

"Kak.. Kenapa dulu gak pulang waktu Ayah lagi pengen-pengennya ketemu Kakak..?"

Afka tahu semuanya sudah berlalu. Tetapi Afka juga tahu jelas Kara belum bisa sepenuhnya ikhlas. Kematian kedua orang tuanya dalam jarak yang berdekatan membuat pikiran Kara selalu berkabut, dan para akhirnya, ia akan menyalahkan Kakaknya sendiri atas semua hal yang terjadi belakangan ini.

"Ayah pergi sekarang. Kakak kayanya gak sedih, ya?" Tanya gadis itu seraya terkekeh menyindir. Afka mengernyit tidak mengerti, menaruh kembali bungkus mie-nya ke dalam laci, kemudian menatap serius Kara yang berusaha menghindar dari tatap matanya.

"Kata siapa? Gak ada orang yang gak sedih sama sebuah perpisahan. Kamu kenapa sebenernya, Dek? Kakak waktu itu masih berusaha sembuh, makanya belum bisa pulang. Tapi di masa-masa terakhir Ayah, Kakak ada di sana, kan?" Tanya Afka dengan napas yang tersengal. Ia tidak emosi, hanya takut dirinya panik dan tidak bisa mengontrol diri. Afka masih-- dan akan selalu ingat bagaimana rasa sakitnya di salahkan atas kejadian yang padahal bukan salahnya.

"Masa-masa terakhir. Cuma di situ. Selebihnya, Kakak gak nemenin Ayah." Matanya menatap datar gelas di hadapannya yang kini sudah terisi penuh oleh kopi hitam yang sejak tadi ia buat. Sebelum hendak mengangkat gelasnya dan beranjak pergi dari sana, Afka lebih dulu menahan lengan Kara untuk tetap berbicara dengannya sampai semuanya jelas.

"Kakak waktu itu juga sakit, Dek. Iya, maaf. Kakak minta maaf--

"Tetep aja semuanya salah Kakak. Kalau seandainya Kakak temenin Ayah, mungkin Ayah bisa sembuh. Dan sekarang masih ada di sini sama Aku." Mata indahnya nampak berkaca-kaca, Dengan tatapan tajam yang sebenarnya menyembunyikan banyak luka, Kara memberanikan diri mendongakkan wajahnya untuk menyelami netra hazel sang Kakak.

"Udah Kakak jelasin--

Afka kehilangan kata. Ia menghela napas kasar melihat Kara yang mulai menangis. Sebelum tangannya bergerak lembut ingin meraih jemari sang Adik untuk merengkuhnya erat, Afka tersentak kaget karna mendapati Jay yang tiba-tiba menarik Kara menjauh darinya.

Quite Miss Home [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang