Tengah hari di 26 April

22 0 0
                                    

Tumbuh jadi dewasa tak semenyenangkan yang orang ceritakan. Tak seindah yang aku lamunkan saat jam pelajaran terakhir di SMA. Hidup menjadi 'dewasa' atau harus dipaksan menerima bahwa kita bukanlah lagi anak-anak yang menerima uang dari ibunya, bukan lagi anak yang bisa minta jemput orang tuanya. Semuanya terasa lebih menjadi beban ketimbang perjalanan. Atau mungkin aku masih belum menemukan nikmatnya saja. Kenikmatan itu hanya mampir lewat pada tanggal 1 dan satu minggu setelahnya, karena aku merasa memiliki uang. minggu dan hari-hari selanjutnya hanya ada aku dan helaan nafas.

Tepat satu tahun lalu aku menjadi bagian dari bengkel ini, menjadi 'admin' yang ternyata juga harus mengisi galon dengan oli baru yang ada di drum, yang ternyata harus membersihkan dinamo dengan sikat baja, yang ternyata juga harus membersihkan ruang tuggu bengkel setiap pagi.

Aku, adalah Admin bengkel.

Tapi tidak pernah satu katapun aku ucapkan untuk menunjukan keberatanku. karena semua ini adalah keputusanku. Aku yang menginginkan pekerjaan ini. Dan aku menerimanya.

Walaupun dengan helaan nafas yang keras.

Rencanaku untuk bekerja hanya enam bulan, lalu segera mencari pekerjaan lain dihadapkan dengan kenyataan bahwa mencari pekerjaan tetap yang kita inginkan itu sulit. Apalagi untuk orang yang terlalu anti sosial dan tidak memiliki pengalaman organisasi sepertiku.

Menyesal? banyak pertanyaan itu dipikiranku, akupun juga bingung mencari jawabannya. tetapi uang yang aku terima dari pemilik bengkel tempatku bekerja dan kepercayaan yang diberi oleh mereka membuatku jauh lebih menikmati pekerjaan serabutanku. Gaji di angka satu juta adalah nominal yang kecil, bagi sarjana sepertiku. Itu adalah satu dari sekian banyak masalah yang aku temui ketika bekerja. Belum lagi, aku yang terlibat cinta lokasi yang rumit dengan salah satu keponakan bos ku. Sungguh mengherankan.

Dulu aku tidak akan menoleh bahkan meludahi orang-orang yang berpenampilan seperti mereka saat aku SMA. Bayangan catcalling yang menjijikan berputar di otakku. Ternyata orang dengan penampilan lusuh dan topi baseball cap yang dipakai terbalik menjadi penampilan yang aku lihat darinya sehari-hari. Tapi itu bulan-bulan lalu, setelah bulan september tahun lalu ia menjadi pribadi yang berbeda. Salah satu orang tuanya meninggal dunia. Dia memutuskan untuk berhenti dari bengkel dan menjadi freelance mekanik sesuai keinginannya. Aku tidak berani berpendapat, dia pun tidak meminta.

Hubungan kami sedikit melipir ke tepian jurang, tidak lagi bertukar canda, tidak juga rutin membalas WA. Aku tidak berharap lebih dari hubungan ini, atau bisa dimaknai bahwa akupun tak yakin dengan keseriusannya. Tapi yang aku tau, menjaga hubungan baik sebagai teman dan keluarga seperti yang dianjurkan istri bosku, yang juga merupakan bulek dari laki-laki itu. Perlahan aku mencari kesibukan lain, tak lagi membuat story WA yang ku buat untuk menarik perhatiannya. Aku berhenti.

Tapi awal februari lalu, aku mengiyakan ajakkannya untuk pergi ke satu pantai yang baru dibuka. Melipir dari perkotaan, melewati beberapa pasar tadisional dipesisir selatan. Sampailah kami di pantai yang dipenuhi  dengan lautan betis yang berselonjor. Aku tertawa kecil. Dia pun paham apa yang aku tertawakan, ikut tersenyum. dari kejauhan terdengar suara berteriak, bercampur dengan deru ombak dan angin. Bersama, kami menoleh mencari sumber suara, sebelum menemukan sosok familiar dibawah pohon yang rindang. Itu adalah saudara perempuan bosku, yang berarti adalah kerabat laki-laki di sebelahku. Aku tertawa, kini dalam hati. Sugguh kejamnya alam, mengumumkan hubungan tidak jelas kami yang berusaha ku tutup-tutupi.

 Sejak saat itu lah orang-orang melabeli kami sebagai sepasang kekasih yang terlibat cinta lokasi. Tanpa persetujuan dan  konfirmasi.


sekian, itu adalah cerita puendek yang aku juga bingung judulnya apa? tapi yang aku tau, setelah menulis ini saat jam istirahat sampai jam setengah tiga. Aku merasa legaaa.

Dengan harapan semoga dia tidak membacanya.

Dengan Harapan dia tidak membacanyaWhere stories live. Discover now