14. "Jangan Harap!"

381 55 52
                                    

— ᴛʜᴇ ʙᴇꜱᴛ ᴍᴏᴍ —

Jelita beberapa kali melirik jam tangan yang melingkar di lengannya, sudah dua jam lamanya Embun tidak sadarkan diri. Tidak seperti biasanya Embun sampai separah ini, dia memang sering pingsan, tapi tidak lama seperti sekarang. Dilihatnya Embun yang terbaring lemah dengan mata terpejam, dia terlihat tenang.

"Mbun~"

Baru saja Jelita memanggilnya sembari menyentuh bagian lengan, kini Embun merespon dengan jemari yang perlahan bergerak. Setelah itu, sepasang matanya mengerjap perlahan.

"Embun~" panggil Jelita haru. "Kamu memang kelihatan tenang, tapi tolong jangan kelebihan begini, aku khawatir."

Embun mengedarkan pandangannya, ia memijat pangkal hidung mereda nyeri di kepala. Ternyata dia sudah sampai di rumah sakit.

"Eh, bagaimana dengan Nila?" tanya Embun, sadar kalau orang terakhir yang ia temui adalah Nila. "Jelita, Nila di mana? Tadi aku ke sekolah dia, dia dikunci di gudang sendirian."

"Tenang dulu, ah!" kata Jelita. "Kamu ini, pikirkan dulu keadaan kamu bisa, kan?"

"Ngga bisa!" pekik Embun panik. "Bilang dulu, Nila baik-baik saja, kan? Dia tidak kenapa-kenapa, kan? Dia dikunci di gudang yang gelap, Jelita!"

Jelita menghembuskan napas pendek, dia menggapai tangan Embun.

"Baik, kok," jawab Jelita. "Sudah, kamu istirahat dulu, baru bangun sudah menanyakan orang lain, dasar!"

"Tapi Nila—"

"Bunda!!!"

Embun beranjak duduk, ia kontan meringis sakit di bagian kepala karena tindakan bangun secara tiba-tiba. Sudah tahu baru sadar, pakai buru-buru bangun segala.

"Duh, kamu ini, ya!" komentar Jelita. "Kan, pusing, kan? Bisa kalem sedikit tidak, sih?"

Embun cengengesan di sela memijat pangkal hidung mereda pening, kemudian ia merentangkan kedua tangannya menyambut anak-anak yang datang ke ruangannya.

"Bunda masih sakit?" tanya Terra.

"Bun, bobo aja, jangan dipaksain," sahut Gempita.

Nadin mengangguk setuju. "Bunda pasti kecapean, ya? Makanya Bunda sampai pingsan lama banget."

"Bunda maaf, ya~" sesal Nila. "Bunda jadi sakit gara-gara nolongin Nila."

Pelukan itu merenggang, Embun menatap satu persatu empat anak gadis tersebut. Dia sih masih bisa senyum sekarang, apalagi melihat mereka datang bersama-sama begini. Oh, jangan lupakan tentang tatapan mereka yang tidak lagi dialihkan ke bawah, alias mereka tidak menunduk lagi.

"Bunda sakit apa, Dok?" tanya Nadin.

Jelita menaikan sebelah alisnya, dia berkesempatan memberitahu mereka berempat mengenai kondisi Embun yang sesungguhnya. Dia bahkan sudah mempersiapkan cara untuk mengungkapnya. Namun, saat pandangannya bertemu dengan Embun, sahabatnya itu malah mengerutkan dahi seperti melarang Jelita mengatakan apapun.

"Jadi begini anak-anak," ujar Jelita sambil tersenyum picik. "Sebenarnya Bunda kalian ini—"

"Pingsan, nih!!!" pekik Embun sambil melipat kedua tangan di bawah dada. "Pingsan lagi, nih! Beneran, pingsan lagi!"

Jelita terkejut dibuatnya. "Tuh, kan? Kalian lihat?"

"Kenapa, Dok?" tanya Nadin khawatir.

"Bunda kalian kehabisan obatnya," jawab Jelita dengan raut wajah yang dibuat sedang ketakutan. "Serem, kan? Kalian kenapa bisa nyaman sama dia?"

The Best MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang