Moccacino (1)

1.3K 224 32
                                    

Bagi Harna, Harkan adalah moccacino, kopi favoritnya,

Sayangnya, dia tidak langsung mencintai moccanino. Butuh waktu baginya untuk menikmati minuman itu. Sampai akhirnya ia menyadari, dia terlambat untuk meminumnya.

Saat dihidangkan dalam cangkir dengan kondisi yang panas. Harna tidak melirik minuman itu sama sekali. Hanya sesekali di sesapnya jika memang tidak ada pilihan lain.

Dia mulai menyadari kenikmatan moccacino saat minuman itu telah menghangat dan perlahan mulai mejadi dingin. Harna langsung meminumnya dengan rakus. Menyesali apa yang dia lakukan. Dia berharap dia diizinkan untuk menikmati tiap teguk yang masih dapat ia rasakan.

Harna berharap dapat mengulang waktu, ingin memperbaiki banyak hal saat ia belum menyukai moccacino.

***

"Sayang... jangan ditutup gitu mukanya. Sesak nanti."

Sudah cukup lama Ibu membujuk Harkan untuk keluar dari gulungan selimut itu. Tubuhnya melingkar seperti kucing yang sedang tidur di dalamnya. Suara batuk sudah beberapa kali terdengar karena ia mulai merasa pengap.

Putranya itu sedang merajuk. Meski usianya sudah 18 tahun, tetap saja jika sedang seperti ini tingkahnya sama seperti anak kecil. Mungkin karena faktor Harkan yang selama ini kurang berinteraksi dengan teman sebaya dan juga memang masa kecilnya yang belum puas ia jalani.

"Harkan sayangnya Ibu... nanti Ibu coba bilang ke Ayah ya. Buka dulu selimutnya, Ibu udah bisa denger napas kamu berat gitu." bujuk Ibu sekali lagi sambil berusaha menyingkap selimut yang tampat bergerak - gerak.

"Tapi rasanya beda Bu." Akhirnya Harkan luluh juga. Kepalanya menyembul dari selimut. Memperlihatkan sepasang mata yang memerah. Putranya menangis ternyata. Dadanya terlihat naik turun dengan ritme yang cepat.

"Apanya yang beda?"

"Kalau Ibu yang bilangi. Berarti Ayah ngajak aku karena Ibu minta, bukan karena kemauan Ayah sendiri. Mending gausah sekalian Bu kalau cuma buat Ayah terpaksa. Ujung - ujungnya aku juga yang dimarahi."

Saat sarapan sebelum berangkat berkerja suaminya mengatakan rencana road trip mulai dari Jogja sampai Bali yang akan dilakukan dengan Harna sebagai hadiah kelulusan. Ia juga mengajak Janu dan Marda. Sudah lama suaminya, Pram, merencanakanan ini.

Percakapan di meja makan saat itu mengalir begitu saja. Tidak melibatkan putranya yang satu ini. Alhasil ia merengek meminta untuk ikut dan tentu ditolak mentah - mentah dengan alasan kondisi kesehatannya yang buruk.
Bahkan sampai Ayahnya sudah di ambang pintu saat akan berangkat kerja dia tetap menarik - narik lengan Ayahnya. Seperti balita yang ingin dibelikan permen.

Jika memang tidak bisa ikut, ia menuntut hadiah juga. Pilihan yang ia tawarkan sebenarnya sederhana. Ia juga ingin jalan - jalan dengan seluruh keluarganya. Tidak perlu yang jauh, ke tempat yang dekat saja sudah cukup.

Wajar sebenarnya putranya bertingkah seperti ini. Dari pagi sampai sore dia hanya menghabiskan waktu dengan dirinya. Saat sore hingga malam saudaranya terlalu lelah dengan aktivitas di luar sehingga tidak dapat menemaninya bermain atau mengobrol. Saat weekend tiba, semuanya memiliki kegiatan masing - mssing.

Jadi ia berharap dapat menghabiskan banyak waktu bersama saat semuanya sedang libur. Kedua Mas nya sedang libur semester, Harna juga libur smebari menunggu masuk kuliah. Dan Ayahnya yang mengambil cuti. Timingnya sangat sempurna.

"Nanti pas mereka pergi Harkan jalan - jalan sama Ibu gimana? Kita liburan juga." tawar Ibu mencoba menghibur. Tangannya mengelus rambut lepek Harkan yang sekarang sedang berada dipangkuannya. Sampai berkeringat seperti ini saking lamanya ia bergelung dengan selimut.

Food of SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang