XI BAHASA 2 (2)

7 1 1
                                    

Setelah banyaknya arc dengan Ucup, Riki, Wisnu, Hans, dan Gabriel. Ada seorang lagi salah satu anggota geng mereka yang tak kalah kontroversial dengan yang sebelum-sebelumnya.

Ini adalah saatnya bagi rekan mereka, Kony. Si paling sok jago editing yang katanya pernah ngelabui massa dengan seenaknya posting foto kontroversi editan dari artis kondang yang diketahui ternyata adalah kakak sepupunya Sarah. Jadilah itu satu kelas heboh sendiri gegara si Sarah yang biasanya muka datar malah makin kayak tembok es antartika tiap kali papasan sama Kony. Kony pun jadi ketar-ketir tiap ketemu Sarah di sekolah. Sampai pernah dia beberapa hari bolos gegara demam setelah di tatap Sarah dengan mata es dia yang lebih tajem daripada golok promosi yang biasa dipake iklan perusahaan. Tapi anehnya, di kelas malah muncul rumor kalau si Kony ada rasa sama si Sarah. Dan semua yang dia lakuin cuma buat caper. Padahal mah, si Kony asal pilih foto buat di edit. Dia sendiri aja gak tau kalau itu fotonya kakak sepupu Sarah. Gak usah gue bilang pun kalian pasti tahu siapa dalang rumor ini kan?

Dan pada suatu hari, dimana Kony yang lagi berduaan sama Mima di depan kamar mandi. Mima yang lagi ngomelin si Kony gegara lari-larian di kamar mandi yang baru aja dia pel habis kena hukuman. Kony yang memang udah bestie sama Mima cuma bisa diem sambil nunduk sok ngerasa bersalah. Si Mima yang hampir tobat sama kelakuan dia ini pun cuma bisa ngelus dada pasrah. Setelah puas ngomeli dia pun niat mau balik ke kelas karena kerjaan dia udah kelar.

Nah, pas itu tuh. Lantai yang diinjak Mima ternyata masih basah. Ditambah dengan sepatunya yang bersih kinclong tanpa noda sedikitpun. Jadilah itu dia kepeleset ke belakang. Sontak Kony yang ada di sebelahnya langsung nangkep dia. Tapi yang namanya orang panik, dia ikutan melesak terjerembab bareng sama si Mima. Dan posisinya itu lah yang jadi masalah kemudian.

Diluar kejadian itu, Sarah niat mau ke kamar mandi putra buat manggil Mima yang lagi dihukum buat bantuin dia ke ruang guru. Wajar sih, Sarah yang sekretaris pertama dengan Mima yang sekretaris kedua. Pasnya lagi, dia datang tepat waktu Mima sama Kony berdua jatuh barengan.

Kony yang posisinya bertahan dengan kedua lutut dengan tangan kirinya ditindih kepala Mima dan tangan kanannya menahan tubuhnya di sebelah kiri kepala Mima. Mima yang terbaring dengan muka kaget, nafasnya ngos ngosan juga gegara syok.

Mata Sarah menatap tajam si Kony. Empunya nama malah lebih syok.

"Amoral. Cabul."

Seketika nyawa Mima keluar dari mulut. Kony menganga lebar, rambutnya mencuat saking kagetnya. Sarah putar balik perlahan, kemudian lari.

"SAR!" Kony pun segera ngejar dia, "INI GAK SEPERTI YANG LO BAYANGIN, SAR!!"

Di koridor yang rame, dengan seragam Kony yang acak-acakan plus gak pake sepatu teriak-teriak sambil ngejar Sarah yang lari terbirit-birit. Murid-murid lain yang ngelihat mereka sontak ngasih perhatian. Nah pada waktu itulah si Riki sama gue yang lagi bantuin bawain properti olahraga yang disuruh guru penjas, papasan sama mereka. Dia masang pose berpikir.

"Oh! Si Kony habis ketahuan selingkuh ya"

"Ha?"

Seluruh galaksi berasa muter di kepala gue yang blank seketika.

Mima yang udah balik hidup pun papasan sama kita sambil jalan bungkuk megangin punggung belakang dia sambil nenteng sepatu Kony yang ketinggalan.

"Lho? Mima kenapa?" Tanya gue bingung

"Encok, Put"

"Lo habis ketahuan selingkuh sama Kony, ya"

Di geplaklah kepala Riki oleh Mima dengan sepatunya Kony yang dia bawa. Nice Mima.

***

Itu cuma salah satu hari yang gue habiskan bersama mereka, masih ada ribuan hari terus berlanjut. Apalagi konsep sekelas di SMA ini yang mengharuskan murid kelas XI tetap sekelas sampai kelas XII. Tahan aja lah, Put. Ini cobaan. Iya, mana hidup gue kayak kertas coba lagi jadi. Cobaan datang terus menerus. Katanya sih, kita jiwa-jiwa yang kuat. Kuatasi semua sambil nangis tapi.

Udah ah. Sebelum mulai berlanjut lagi. Gue ada cerita. Dari seseorang yang paling waras, paling kalem, paling baik yang gue kenal di SMA ini. Yap, Taufik. Namanya emang belum pernah disebut. Bukannya anak ini gak ada kesan atau apa, tapi emang dia yang paling bertingkah normal dibandingkan sama anak sekelas yang lain. Jarang bikin masalah dan jarang terlibat masalah.

Nantinya itu juga jadi alasan kenapa gue suka kalau kumpul bareng dia. Hidup gue berasa aman damai meskipun jiwa lagi terbantai. Ya mau gimana ya, cuma dia yang bersedia ngertiin gue yang ada di posisi seksi kebersihan di kelas yang dihuni para makhluk ragunan, kecuali gue sama Taufik.

Dan sejak saat itu tuh, gue sama Taufik jadi sering satu bangku pas pelajaran. Itu juga gue yang mesti nyerobot duluan sebelum keduluan si Hans.

Hari itu, sama kayak biasanya, gue masuk kelas dan menemukan si Taufik yang lagi main game TTS di hpnya. Gue sapa lah dia sambil ngetuk bangkunya tanda gue mau duduk sebangku sama dia.

"Pagi, Put."

"TTS, Fik?"

"Iya, Put. Lo tau gak? Daritadi gue mikir gak kepikiran apa apa" Kata Taufik sambil menunjukkan layar ponselnya.

Tujuh kotak menurun dengan huruf kedua berupa huruf 'A'. Pertanyaan muncul di bawah nya.

[Mengesalkan.]

Gue masang pose berpikir, apa maksud dari teka-teki ini. Cuma satu kata tapi entah kenapa gue jadi agak emosi. Tapi pastinya gue tahan, ya kali gue marah cuma gegara perihal kayak gini. Biasanya Taufik jarang nanya ke gue, soalnya dia sendiri juga udah jago soal main kayak gini. Toh kalau gak bisa pun bisa cuma cari jawabannya di internet. Cheat? Bukan. Ini tuh memanfaatkan jurnal internet orang-orang, kata Taufik sih gitu. Yaudah gue ngangguk nge-iyain aja, lagipula cuma perihal permainan.

Sekali lagi gue lihat ponselnya Taufik, "Makhluk"

Taufik noleh ke gue, "Makhluk?"

"Makhluk halus"

"Ha?"

Gue nunjuk sisi lain kelas pakai dagu, Taufik ngikuti ke arah yang gue tunjuk. Disana ada Mima yang lagi jalan sambil baca buku komik dan Kony yang diseret dengan kerahnya di tangan kirinya. Sepertinya mereka habis perang dunia IV sebelum berangkat sekolah. Dan sudah pasti, yang menang adalah Mima.

"Pagi" ujar Mima

Gue sama Taufik ngangguk pelan, "Pagi, Mim"

Kony membeo, "Gue gak di sapa nih?"

"Kok bisa makhluk, Put?"

"Soalnya ngeselin kan"

"Bukannya lebih cocok 'Ragunan' ya?"

"Kok bisa?"

"Makhluknya ngeselin semua"

Gue dan Taufik seketika langsung ketawa ngakak sementara Kony mencak-mencak gegara di abaikan. Mima yang penasaran pun mendekat, "Lagi ngapain?"

"Ini. Main TTS." ujar Taufik

"Ohh, apa tuh?"

"Cluenya 'Mengesalkan', lo tau gak, Mim?" Tanya gue

"Empat kotak, bukan?"

Taufik menggeleng, "Tujuh kotak, Mim. Yang kedua huruf A."

Mima menggumam pelan, "Bukan 'Kony' berarti ya"

"ANJIR LU, MIM!"

"Eh sorry, kedengeran?"

"Lo kira gue tuli?!"

"Nggak. Siapa tau tadi telinga lo masih ketinggalan di rumah habis dijewer bunda."

"Bodo! Mau ke kantin gue!" Kata Kony sebelum akhirnya keluar kelas sambil misuh-misuh. Mungkin karena dia emang sial hari ini. Gegara gak fokus ngeliat jalan jadilah itu dia kesandung keramik yang gak rata dan berakhir nubruk badan besarnya si Brian. Bayangin aja Brian yang fisiknya terlatih karena notabenenya adalah anak basket, dengan Kony yang cuma anak mageran yang biasa rebahan di rumah. Kalau berisi mah mending, lah ini, orang lain kalau dibilang dia cuma makan roti seribuan sehari pun percaya.

"Minggir, Bri! Badan lu ngalangin jalan!"

Brian mendengus kesal, "Sendirinya yang gak pake mata kalau jalan."

"Jalan pake kaki kali."

"Yaudah tuh mata lo sebagian buat di kaki. Biar gak nabrak orang."

"Mana bisa anj- AWW!!"

"Eh, sorry, Kony. Gak liat, hehe. Kakimu gapapa kan?" Olivia datang. Dengan senyum khasnya dia cengengesan di depan Kony yang agaknya nahan sakit gegara kakinya diinjak oleh Olivia. Gue cuma bisa ngelus dada, entahlah itu si Olivia sengaja apa nggak, tapi kayaknya tadi nginjaknya 'mood banget'.

"Pagi, Put"

"Pagi, Theo" jawab gue ngebales sapaan paketu gue satu itu

Kepala Theo menyembul dari balik Olivia. Mereka berangkat bareng? Pikir gue. Tapi hal itu nggak terlalu gue pikirin karena kemudian, anak-anak lain juga udah mulai masuk ke kelas. Si Kony dan Brian pun kayaknya udah mulai damai, walaupun gue gak terlalu yakin, Kony sekarang pasti udah kayak cewek pms. Iya, senggol bacok.

"Uy, Mim. Bestai lo kenapa? Pagi-pagi dah ngamuk aja tuh bocah"

Mima yang lagi baca buku itu pun berhenti, dia noleh ke Wisnu, memutar bola matanya bosan, "Kerasukan jin."

"Hah? Siapa yang kerasukan?" Kata Theo

"Kony, Paketu. Halah itu palingan kerasukan setan belakang wc sekolah." Timpal Hiro

"Anjay, masuk koloni mereka dia?" Kali ini Niken yang baru masuk segera bergabung.

"Gak ragu sih gue" Kata Riki. Anak-anak lain seketika noleh ke dia.

Riki mengangkupkan kedua tangannya sambil menatap fokus ke depan. Dan entah darimana gue merasa kacamatanya itu jadi mengkilap, padahal tuh kacamata bolong satu.

"Kalian tau kan rumah gue sama Kony tetanggaan. Tadi malem gue denger ada suara orang lagi ketawa-ketiwi nggak jelas padahal daerah komplek udah sepi karena udah jam 1 pagi."

Mitha menahan nafas, "Trus trus??"

"Tadi malem gue sempet ketakutan tuh, gue bingung, cari tau apa nggak. Tapi setelah 30 menit gue mikir-mikir ulang, akhirnya gue coba lah buka tirai kamar. Dan kalian tau nggak apa yang gue lihat.." Riki terdiam sejenak, kami semua menahan nafas, "Gue ngeliat kamarnya si Kony lampunya masih nyala! Dan itu jam 2 pagi!! Gila nggak sih!"

Segera lah kelas kami jadi heboh dengan berita itu.

"Si Kony pesugihan woi!" Kata Wisnu

"Anjay ngepet tuh dia!" Balas Gabriel

Niken menahan, "Jadi Kony selama ini.."

"Pantes dompet gue gak pernah tebel"

Fahmi segera menggeplak kepala Ucup, "Dompet lo mah emang tipis, tolol!"

"Yeuu ngece lo. Nih dompet tuh pernah tebel ya. Ijo semua! Mana gambar pahlawannya keren pula!" Balas Ucup kesal sambil menunjukkan dompetnya yang tak lain dan tak bukan adalah kertas yang dilipat dan ada dua sela kosong tempat menaruh uang.

Wisnu angkat suara, "Otto Iskandar?"

"Pattimura lah"

Kali ini Wisnu lah yang bergantian menggeplak kepala Ucup. Si korban cuma cengengesan sambil menutupi kepala dengan kedua tangannya.

"Wait wait! Bentar! Lo mikir buat buka tirai aja sampe setengah jam?!"

Riki noleh ke Gabriel dengan wajah sinis, "Ih, kayak lo berani aja, Gab. Sirik bener"

"Ya berani lah"

"Idih, lo diajak nonton Badarawuhi aja dah mlempem"

Gabriel mengacungkan jari tengahnya ke Dilan, "Bicit lu, Wibu"

Hiro yang duduk di atas meja belakang pojokan kelas sedang menonton anime mendengar pertengkaran mereka segera protes, "Kok rasanya gue kesel sama lo ya, Gab"

Gue sendiri cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah lanjutan mereka. Bisa-bisanya gue harus bertahan di habitat ini selama dua tahun ke depan. Yah doain aja gue masih bisa lulus dengan menyandang predikat 'waras'.

"Put" Mendengar suara Taufiq gue pun noleh ke dia, "Titip hp bentar ya, lanjut kerjain TTS aja tuh gapapa. Gue mau ke kantin, titip jajan gak?"

"Susu coklat satu" Taufiq menautkan jari telunjuk dan jempolnya, 'oke' singkatnya gitu. Dia segera keluar selagi anak-anak lain masih debat perihal Kony yang tertangkap basah sama Riki.

Gue masih menatap ponsel Taufik yang menyajikan teka-teki yang sama. Tiba-tiba suara Sarah mengunterupsi kami semua. Suaranya pelan, tapi cukup membuat kami yang jarang mendengar Sarah ikut campur keramaian kelas menjadi tertarik dengan perkataannya selanjutnya.

"Gak mungkin Kony yang jaga lilin kan?"

Riki menggebrak mejanya, "SI KONY BABINYA INI MAH!"

Iqbal yang lagi tidur di sampingnya langsung misuh-misuh, "Berisik, anying!" Riki cengengesan menunjukkan kedua jarinya, "Peace peace"

"Hm? Lagi ngapain, Put?"

"TTS Pak, lo tau nggak?"

"Paan?"

"Nih" Theo memperhatikan dengan seksama, dia memicingkan mata sebelum akhirnya menjentikkan kedua jarinya.

"Gampang! Ini mah gue tahu, Put!"

Theo menunjuk ke ponsel, "Gabriel ini mah! Gabriel!"

"Gue kenapa?"

"Gapapa, Gab. Ngeselin aja liat muka lo"

"Gue gak salah apa-apa lo ngajak berantem mulu!"

"Gak tau. Emosi aja bawaannya kalau liat muka lo"

"Muka ganteng gini udah jelas bikin emosi lah. Iri bilang bos!"

"Put, ini kalo gue matahin sapu lagi trus gue ganti gapapa kan?"

"Silakan. Tapi gue gak tanggung jawab kalau nanti ada laporan sabung temen di kelas kita."

"Sans"

Sapu yang tergeletak di pojok ruangan sekarang sudah ada di genggaman Theo. Bak ibu-ibu yang ngamuk gegara balapan liar dia segera menyerbu Gabriel.

"SINI LU, GAB! GUE BONYOKIN TUH MUKA LO ***!!"

Tuk. Gue ndongak ke atas, mendapati Mitha memasang headsetnya ke telinga gue. Dia membisikkan sesuatu.

"Semangat ya, Put. Gue mau ke kantin sama Niken. Lo jadi pawang anak-anak bentar ya"

Dengan senang hati gue ngangkat jari tengah ke mereka berdua yang lagi cekikikan sambil keluar kelas.

Mencoba mengabaikan apa yang terjadi, gue ngelanjutin liat TTS di ponsel Taufik. Mungkin karena gue sendiri juga tertarik sama omongan si Theo, gue isi lah itu TTS.

"G.. A.. B.. R.. I.. E.. L.. Lah cukup!"

Theo tertawa keras, "KAN GUE BILANG JUGA APA!!"!"

Sorry nih, Mit. Tapi kayaknya headphone lo kurang manjur kalau buat kelas kita yang jauh lebih wah daripada debat capres cawapres.

"THEO--"

Brakk! Gabriel yang tadinya berlarian sekarang tersungkur jatuh menghantam meja. Riki berjengat sambil memegangi kotak bekalnya, sementara Iqbal yang tertimpa tubuh Gabriel terhengkang dari kursinya. suasana yang tadinya sudah tidak kondusif berubah jadi pasar malam minggu.

"GAB! LU BERAT WOI! CEPETAN MINGGIR BEGO!

"BUSET IYA IYA, BENTAR ELAH! INI JUGA GUE GAK BETAH DEKETAN SAMA LO! SIAPA SIH YANG BARUSAN LEMPAR BUKU! GAK ADA MATA YA!"

"Gue, kenapa? Protes?"

"Ampun paduka"

Sir Noah menggeleng pasrah, "Itu, meja-mejanya ditata lagi. Yang rapi. Sebentar lagi masuk kelas. Jangan ada yang lempar-lemparan sapu. Taruh itu sapunya, memangnya kamu petugas kebersihan. Kalau Mang Asep mah oke. Kalau kamu yang pegang, bisa dikira mau tawuran antar kampung ini."

Guru muda itu kembali lanjut berjalan. Kurang lebih dia noleh ke kelas kami dan menyadari pasar dadakan di dalamnya, jadi mampir untuk mengecek. Sambil membenarkan seragamnya, Gabriel segera meletakkan kembali sapu yang tadi direbutnya dari Theo. Setelahnya ia kembali membereskan bangku Iqbal yang jadi sasaran jatuhnya dan diam-diam memberikan permen kiss 500 an yang dia dapat dari kembalian tadi beli bakwan di kantin. Iqbal melongok heran.

"Ngapain lo?"

"Gak usah cepu ke Fina"

"Sorry, gue ember mulutnya. Tapi thanks permennya"

"Lah, balikin kalo gitu"

"Gak mau. Kalau kata mbah kung gue, timbil lu entar"

"Halah, bacot. Tinggal diem doang susah amat"

"Cih Goban lah minimal"

"Bilang aja lo mau ngerampok gue, nyet!"

Iqbal menunjuk dahinya, "Gue sebut ini pintar dan cerdas"

Seketika itu Gabriel langsung mencekik Iqbal di kursinya. Dari luar pintu terbuka, muncullah Taufik yang baru balik dari kantin.

"Eh, ternyata gak salah kelas"

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 13 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

XI BAHASA 2Where stories live. Discover now