03~Arkan

8 0 0
                                    

Semenjak lulus dari Yaman, tepatnya di Universitas Al-Ahgaff, Arkan kembali ke tanah air. Karena kakaknya yang sudah bersuami dan tinggal bersama suaminya, maka sekarang tugas Arkan-lah yang menemani Abah dan Uminya di rumah. 

Namun, bukan Arkan namanya jika hanya berdiam diri di rumah tanpa ada kerjaan. Baginya, berdiam diri tanpa ada kerjaan hanya membuat dirinya menjadi manusia yang tidak berguna. Terlebih selama ini ia belajar jauh-jauh, masa ilmunya tidak dimanfaatkan untuk sesama? Pikirnya begitu. 

Karena semenjak di Yaman Arkan sudah memulai usaha kecil-kecilan, akhirnya sekarang Arkan hanya meneruskan usahanya saja. Sejak kecil Arkan memang suka bisnis. Ia memulai menciptakan usaha baru dengan berjualan dan menciptakan ide apa saja yang bisa untuk dijual. Hingga pada akhirnya, Arkan memulai bisnisnya dengan membangun cafe yang ada di daerah Surabaya, tempat ia dilahirkan. 

Arkan hanya beberapa kali mengunjungi cafenya untuk sekadar mengontrol keadaan. Untuk masalah keuangan dan lain-lain Arkan hanya menerima laporan dari email. Selebihnya, untuk keadaan cafe Arkan serahkan sepenuhnya kepada waiter. 

Seperti hari ini, Arkan sedang berkunjung ke cafenya. Tidak lama-lama, Arkan sekadar mengontrol keadaan cafe. Karena takut kemalaman, Arkan hanya menyapa beberapa waiter saja. Setelahnya Arkan pamit pulang. 

"Assalamu'alaikum, Umi" ucap Arkan setibanya di rumah. Sambil membawa tentengan keresek hitam yang berisi sate madura pesanan Uminya. 

Tak ada jawaban. Arkan mengecek ke kamar Uminya pun tidak ada orang. Tiba-tiba Arkan tersadar, lalu mengecek jam tangannya ternyata sudah menunjukkan waktu maghrib. 

"Pantesan gak ada, pasti lagi berjamaah" ucap Arkan bermonolog sendiri. 

Kemudian Arkan bergegas ke ruang makan untuk menyimpan pesanan Uminya. Lalu bergegas ke kamarnya untuk ambil wudhu. Dengan langkah tergesa-gesa, Arkan pergi ke masjid untuk ikut shalat berjamaah, meskipun hanya tinggal beberapa rakaat saja. 

Selesai shalat, Arkan pulang. Namun, di dalam rumahnya ia tetap sendirian. Karena Uminya harus menyimak hafalan anak-anak sehabis shalat maghrib, jadi tidak bisa balik ke rumah.  Arkan pun tak menyia-nyiakan waktu, ia gunakan sedikit waktu itu untuk membaca buku tentang perbisnisan. Tak hanya itu, Arkan pun rajin mengikuti seminar tentang bisnis. Bahkan pernah satu dua kali Arkan menjadi pembicara tentang kiat-kiat membangun usaha dari nol. 

Tak terasa waktu isya' pun tiba, semua melakukan aktivitas seperti biasa. Selesai shalat umi dan Arkan kembali ke rumah. Ibu dan anak itu bersantai ria menonton televisi dan makan sate madura yang di pesan sore tadi. Keduanya ngobrol sambil diiringi tawa ringan. 

"Nanti kalau Arkan sudah nikah, pasti gak bisa kayak gini lagi sama Umi" ucap Uminya dengan memasang wajah melas. 

"Kan nikahnya masih lama, mi. Yang penting sekarang Arkan masih bisa jagain umi sama abah" ucap Arkan tak mau kalah karena omongan uminya yang ngelantur. 

"Sudah nikah atau masih belum, Arkan akan tetap jagain umi sama abah. Bagaimanapun, kan Arkan tetap anak umi dan abah" sambung Arkan lagi. 

"Sebenarnya umi juga gak keberatan, cuma umi gak akan nyangka aja kalau sudah mau di titik akan ditinggalin sama anak-anak umi. Itu artinya anak umi sudah besar dan bisa  bertanggungjawab memegang amanah yang gak mudah" ucap umi Maryam mengeluarkan unek-uneknya. 

"Buktinya, sekarang aja kamu jarang pulang ke rumah. Tapi, umi gak sedih. Justru umi bangga sama kamu dan kak Qila. Dengan seperti itu, kamu bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Apalagi dengan usaha yang kamu bangun sekarang, kamu bisa membuka kesempatan peluang kerja bagi yang sedang membutuhkan. Itu sudah membuat umi dan abah bangga sama kamu, nak" sambung umi Maryam dengan menghabiskan sate maduranya yang tinggal satu suap lagi. 

Arkan hanya diam menyimak, memberikan kesempatan pada uminya untuk mengeluarkan semua yang dirasanya selama  ini. 

"Begitu pun kak Qila. Umi bangga dengan sikap kak Qila yang sangat mematuhi Radit sebagai suaminya. Kak Qila juga bisa menjadi ibu yang luar biasa kepada anak-anaknya. Meskipun hanya menjadi ibu rumah tangga, tapi ilmunya sangat bermanfaat untuk anak-anaknya. Umi bangga melihat kak Qila dan anak-anaknya yang tumbuh pintar. Rasanya umi berhasil didik kalian" 

"Eh, tapi belum. Kamu kan belum nikah. Jadi, umi belum tahu bagaimana sikap kamu nanti sama istri dan anak-anakmu" lanjutnya menyindir Arkan. 

Sedangkan yang disindir hanya salah tingkah. 

"InsyaAllah Arkan akan menjadi suami seperti abah, yang sangat memuliakan istri dan anak-anaknya" ucap Arkan optimis. 

"Aamiiinn, insyaAllah baik ya, nak" ucap umi Maryam mengaminkan.

"Makanya Arkan selalu butuh doa dan ridho umi. Jangan pernah putus doain Arkan ya, mi" pinta Arkan dengan sungguh-sungguh. 

"Nggak ada orang tua yang putus doain anaknya. Begitu juga dengan umi dan abah. Doa kami mengalir terus untuk Arkan dan kak Qila" ucapnya sambil memandang Arkan. 

"Sukses terus ya, anak umi" lanjut umi Maryam dengan senyuman tulusnya. 

Dipeluklah Arkan. Suasana malam itu terasa sangat hangat. Ibu dan anak itu saling menikmati waktu yang entah sampai kapan akan seperti ini. Karena nyatanya, waktu akan berputar. Semua kehidupan akan berubah. Dan Arkan, cepat atau lambat akan menjalani kehidupan barunya sebagai kepala rumah tangga. Tapi, entah kapan. 

Begitulah siklus kehidupan, tidak ada yang abadi. Semua akan silih berganti. Menjadi anak-anak adalah masa kita untuk belajar menjadi dewasa. Begitu seterusnya. Tapi, ingat bahwa di dunia ini semuanya akan kembali kepada yang Menciptakan. Seperti Allah yang menjelaskan berkali-kali dalam Al-Qur'an, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati." 

Maka, hanyalah amal kebaikan yang akan kekal abadi. Menjadi apapun itu, semua akan tetap bernilai kebaikan. Cepat atau lambat kita pun akan berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Tapi, tidak dengan kebaikannya. Amal baik akan selalu menjadi pengingat bagi orang-orang yang beriman, walau kita sudah tiada. 

Seperti orang tua yang mendidik anaknya menjadi shalih/ah. Kelak walau sudah tak lagi di dunia, anak adalah warisan yang paling berharga. Mendidiknya adalah jihad, dan berhasilnya seorang anak adalah bukti bahwa amal kebaikan itu terus mengalir pahalanya. Hingga pada akhirnya nanti, anak-anak kita lah yang akan menarik kita pada surga yang dijanjikan itu.

 Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an surah Ali-Imran ayat 195 yang artinya, "Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal." 

Maka, tidakkah kita ingin berada dalam surga yang mengalir sungai-sungai itu? Sudah sejauh mana kita berlomba beramal shalih? Sudah sejauh mana langkah kita menyiapkan kehidupan yang kekal abadi? 

***





Khitbah di MadinahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang