Selig melewatkan masalah sebelumnya begitu saja. Entah rasa bersalah atau pelukan penenang yang membuatnya memutuskan untuk abai akan luapan emosinya.
Keesokan harinya, hari libur telah berlalu dan keduanya mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Usai memandikan Zara dan memberi gadis itu sarapan, niat mereka untuk berangkat bersama diurungkan begitu melihat kehadiran Milan dan Milo di ruang tamu.
Milan dengan secangkir teh di tangannya melirik kedekatan Zara dan Selig tanpa ekspresi. "Semakin lama, orang akan mengira kalian sepasang suami-istri."
Zara tertegun dan memilih diam. Meski Milan berlidah tajam sedari dulu, beberapa tahun ini dia kenal sebagai salah satu sosok yang tulus peduli padanya. Milan sering datang membawa sepupunya yang lain untuk didekatkan dengan Zara.
Dan bagi Zara, tidak peduli seberapa sering Selig menyuruhnya untuk mengabaikan mereka, dia masih paham situasi mereka seiring berjalannya waktu. Dia tidak bisa seenaknya jika ingin terus bersama pamannya. Bagaimanapun, dia hanya anak yang diasuh sementara usia pamannya kian matang untuk membangun rumah tangga.
Akan terus bertambah banyak alasan untuk dia dipisahkan dari Selig.
Jadi setidaknya, dia akan bertindak netral di depan keluarganya dan tidak membuat masalah. Maka para paman dan bibi tidak akan menuduh Selig sebagai orang yang tidak becus dalam mendidik Zara.
"Senang mendengarnya. Aku juga tidak sabar untuk menikahi putri kecilku." Seru Selig membuat Zara nyaris melotot dari pemikiran logisnya. Pria itu menunduk dan mencium kening Zara.
Milan cemberut tidak setuju. Dia membanting cangkir teh di alasnya lalu menghujat Selig, "kau kesepian karena tidak waras sampai melampiaskannya pada seorang anak?"
Selig tersenyum main-main. "Ada apa dengan nada yang kau gunakan pada pamanmu."
Milan tidak peduli. "Kau hanya seorang paman yang mengecewakan. Apakah itu karena kau dibesarkan di luar sana entah bagaimana dan di mana, yang pasti sepertinya terlalu lusuh. Bahkan tidak tahu cara menyewa orang dari pada keponakannya."
Selig belum sempat bersuara ketika Zara maju di depannya. "Kakak, aku dan Paman tidak seperti itu."
Milan terdiam. Dia sempat lupa akan keberadaan Zara untuk bisa bertarung sengit dengan Selig. Demi anak kecil yang dia selalu dia awasi perkembangannya, dia berhenti berdebat dengan pamannya.
Akan tetapi, Selig berpikir lain. "Tidak seperti apa? Bukankah kita seperti itu?"
Milan merasakan pembuluh darah di dahinya menebal. "Seperti apa maksudmu?!"
Zara cemas dan melirik Selig di belakangnya. Orangtua satu ini juga sulit diatur! Enggan untuk berkompromi!
"Zara sejak kecil selalu berkata ingin menikahi pamannya. Bukankah begitu?" Selig menatap Zara dengan penuh kasih sayang. Dia mengusap kepala Zara dengan rambut yang dia kuncir sendiri.
"Putri kecil sudah hampir dewasa, sekarang melupakan Paman untuk mencari seorang pangeran di luar sana? Apa aku pernah mengecewakanmu sampai kau ingin mengecewakanku?" Selig masih tersenyum pada Zara.
Gadis itu nyaris menggigit lidahnya sendiri saking terkejut. Dia melihat antara Milan dan Selig, mengetahui ketegangan di antara mereka.
Sejenak Zara tenang karena Selig tidak terlalu sembrono mengucapkan fakta-fakta aneh dan vulgar pada orang luar, di saat yang sama perutnya mual memikirkan peringatan Selig di pertanyaan terakhirnya.
Masih sama dengan tegurannya kemarin, tapi Zara sungguh tidak mampu menghadapi respon orang lain terhadap hubungan terlarang mereka. Dia ketakutan.
Selig masih memandang gadis itu seakan menunggunya bertindak seperti bayi padanya. Seperti yang selalu Zara lakukan. Menangis dan merengek ke dalam pelukannya, hanya dapat berlindung kepada dirinya seorang.
Zara tidak berani ragu, dia hanya bisa mengangkat tangannya dan memeluk Selig dengan manja. "Itu karena Paman yang terbaik, tidak pernah mengecewakanku sama sekali."
Selig tertawa dengan kepuasan yang nyata. Dia tidak perlu berbicara untuk memberi tahu Milan bahwa dia sedang mengejeknya.
Milan mencibir. Hidungnya berkerut menunjukkan jijik pada kegilaan Selig. "Menyedihkan."
Milan muak dengan cangkir tehnya dan segera berdiri bersama Milo. "Aku akan mengantar Zara hari ini."
Selig tidak setuju. "Dia berangkat denganku dan menghadiri pertemuan orangtua."
Milan menoleh. "Benar. Hari ini adalah pertemuan orangtua dan kau telah menghadiri yang sebelumnya. Kali ini giliranku."
"Konyol. Aku wali sahnya, untuk apa kau menggantiku?"
"Aku akan hadir, ini adalah keputusan Paman dan Bibiku. Lagi pula, bahkan seorang ayah kandung tidak akan terus-menerus meninggalkan segala urusannya demi rapat orangtua belaka. Sadarlah, kau seperti menuliskan sakit mental di keningmu."
Selig mengepalkan tangannya. Sepanjang lengan pucat itu menampakkan penebalan vena keunguan yang sedikit ekstrim.
"Tidakkah kalian terlalu santai belakangan ini? Mark dan Hilda sepertinya sudah terlalu tua dan kehilangan rasa takutnya." Selig menarik tangan Zara ke belakang.
Milan berbalik dan tidak gentar. "Takut? Takut pada apa? Padamu?" Dia mencibir, "apa kau bahkan layak?"
Zara berdebar kencang sampai pandangannya ikut berkedut. Dia melihat tangan Selig mulai gemetar dan hanya bisa semakin takut. Napasnya tersenggal, nyaris menangis dengan mata merah. Saat itu, pandangannya bertemu dengan Milo, hanya bisa menatap dengan permohonan untuk membujuk Milan.
Milo seakan paham. Dia menarik lengan kakaknya dengan paksa sehingga wanita itu melihat keluhannya. "Pulang saja."
Zara juga berusaha memeluk lengan Selig, meski tangan pria itu masih bergetar oleh kekuatan pacuan adrenalin hingga mengganggu akal sehatnya.
Zara mencicit sedih, "Paman."
Selig melepaskan tangan Zara dengan pasti, melangkah maju perlahan sambil mengeluarkan sebotol disinfektan dari sakunya.
"Tidak mungkin kalian pergi begitu saja, 'kan?" Selig sedikit tersenyum dengan pusaran gelap di matanya.
Milan terhenti dengan Milo dan cemberut mendengar Selig. "Kau tidak tahu diuntung. Adikku telah memohon untukmu!"
Milo menyadari suasana berbahaya, diam-diam cemas tapi tidak bisa bertindak apapun selain menghalangi kakak perempuannya dari Selig.
"Menyingkir." Titah Selig setelah menuangkan disinfektan di kepalannya.
Zara mengenal Selig dengan baik. Pria itu tidak akan mundur, siapa pun di hadapannya, selama amarahnya dilampiaskan. Dia bersusah payah melawan ketakutan dengan air mata yang membanjiri wajahnya, berlari untuk memeluk Selig dan menyelamatkan Milo.
Namun, kepalan Selig bergerak terlalu cepat dari pengamatan semua orang.
Begitu Milo terlempar dan darah tumpah entah dari mana saja, suara kesakitan dari sosok pendiam menjadi awal lantas diikuti jeritan Milan.
"SELIG, TERKUTUK KAU!!" Milan meraung dengan adiknya dalam pelukan.
Selig mengibaskan tangannya yang kotor. Wajahnya mengerikan saat menahan mual.
"Jika kau tidak menyeret adikmu keluar sekarang juga, terpaksa aku harus melempar jasad keponakanku ke kandang anjing sekali lagi."
15 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Selig: The Caretaker
RomanceSelig dan Zara, seorang paman dan keponakannya. Lalu, mengapa mereka bercumbu? *** Selig O'Brien adalah seseorang yang tidak dibatasi akal sehat. Secara sederhana, dia memiliki sedikit gangguan mental...