4 | Meminta Persetujuan

1.1K 102 28
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Didi mencoba mendekat pada Alwan setelah pihak keluarga calon mempelai pria telah pergi. Karin dan Fitri hanya berani mengintip dari balik jendela, karena mereka masih merasa takut akibat kejadian tadi. Selama ini tidak ada yang berani mendekat jika keluarga mereka sudah terkena masalah seperti tadi. Semua orang selalu merasa takut ikut campur, meski hanya untuk menengahi. Seakan-akan ada hal yang menutup hati mereka untuk berbaik hati meski hanya sedikit. Baru kali ini ada yang membela mereka dan Alwan adalah orangnya. Hal itu jelas membuat Fitri, Didi, maupun Karin merasa bingung bercampur lega. Mereka lega karena tidak lagi harus berurusan soal ganti rugi yang tidak masuk akal terhadap keluarga calon mempelai pria, serta bingung karena akhirnya ada yang berani ikut campur dengan masalah keluarga mereka.

"Nak Alwan," panggil Didi, begitu pelan.

Alwan pun berbalik untuk menatap Didi dan mencium tangannya seperti yang biasa dilakukan oleh pria itu. Alwan memang sudah terbiasa menghormati para orangtua di Desa itu. Jadi akan terasa aneh kalau Alwan tidak lagi melakukannya seperti dulu.

"Maaf, Pak Didi. Maaf kalau saya akhirnya ikut campur dengan masalah keluarga Bapak. Saya tidak bisa menahan diri, Pak. Saya tidak tahan mendengar mereka berteriak-teriak untuk menyudutkan Bapak serta keluarga Bapak. Sekali lagi, saya minta maaf," mohon Alwan, yang sedikit merasa bersalah kepada Didi.

"Nak, jangan minta maaf. Bapak justru yang harus berterimakasih sama kamu. Kamu adalah orang pertama yang berani membela kami ketika sedang ada masalah seperti tadi. Selama ini tidak ada yang membela kami, Nak. Entah kenapa, seakan semua orang seperti tidak tergerak untuk membela kami. Padahal hubungan kami dengan para tetangga baik-baik saja setiap harinya. Tapi ketika datang masalah, seakan ada yang menghalangi mereka untuk membantu kami," jelas Didi, seraya menepuk-nepuk pundak Alwan.

Firasat Alwan semakin menguat usai mendengar penjelasan dari Didi. Ia yakin sekali kalau ada hal yang tidak beres di dalam keluarga itu, namun keluarga itu pun tidak menyadarinya sama sekali.

"Mari, Nak. Duduk dulu sebentar di teras," ajak Didi.

"Iya, Pak," tanggap Alwan, memenuhi ajakan Didi.

Kedua pria itu duduk di kursi yang tersedia di teras. Fitri dan Karin berhenti mengintip dari balik jendela, lalu segera menyiapkan minuman dan cemilan untuk disajikan. Alwan terus berupaya untuk bertahan. Dzikir tak putus-putusnya ia ucapkan meski begitu lirih. Ia terus membentengi dirinya, meski tahu bahwa saat ini dirinya tengah diusir dari rumah itu oleh makhluk tak kasat mata yang berdiam di sana.

"Maaf, Pak Didi. Bolehkah saya menanyakan sesuatu? Tapi maaf sebelumnya, kalau pertanyaan saya mungkin akan agak sedikit menyinggung perasaan Pak Didi. Karena pertanyaan yang akan saya ajukan ini berkaitan dengan Karin," ujar Alwan, berusaha memelankan suaranya.

Fitri keluar dan menyajikan teh serta cemilan ke atas meja. Alwan memutuskan diam saat Fitri muncul di teras rumah itu. Didi langsung memahami tindak-tanduk Alwan, bahwa pria itu tidak mau ada yang merasa tersinggung ketika ia membahas mengenai kesialan Karin soal rencana pernikahan yang selalu gagal. Setelah menyajikan semua itu, Fitri pun segera kembali masuk ke dalam rumah. Didi mempersilakan Alwan untuk menikmati teh dan juga cemilan yang tersedia. Alwan memenuhi hal itu, lalu kembali menatap ke arah Didi dengan serius.

"Silakan tanyakan, Nak Alwan. Bapak akan menjawab apa pun pertanyaan yang Nak Alwan tanyakan, Insya Allah," janji Didi.

Alwan pun mengangguk. Ia juga mulai memahami, bahwa Didi mungkin sudah terlalu lama memendam rasa lelah akibat masalah yang selalu datang ketika Karin akan menikah dengan seseorang. Maka dari itulah Didi tidak keberatan sama sekali ketika Alwan ingin menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan Karin.

"Saya sudah dengar kegagalan rencana pernikahan yang selalu dilalui oleh Karin. Tadi Ibu saya menceritakannya sebelum saya keluar dari rumah untuk melerai. Yang ingin saya tanyakan adalah, apa yang menjadi sebab awal sehingga Karin selalu saja mengalami kegagalan ketika akan menikah, Pak Didi? Apakah Bapak mengetahui sesuatu di balik semua itu?" tanya Alwan.

Didi pun langsung menggelengkan kepalanya. Wajahnya terlihat begitu sedih akibat memikirkan nasib buruk putri semata wayangnya tersebut. Alwan pun paham, bahwa Didi jelas tidak mungkin tahu-menahu soal keanehan yang terjadi pada Karin. Bagi Alwan, Karin terlihat biasa saja dan sama sekali tidak mungkin bisa membawa kesialan. Karin adalah wanita yang baik. Alwan sudah mengenalnya sejak dia baru lahir. Usia Alwan dan Karin tidak berbeda jauh. Jadi saat Karin lahir, Alwan sudah berusia empat tahun dan sering bermain-main di halaman rumah milik Didi saat sore hari. Ia tahu betul bagaimana Karin dididik selama ini oleh Didi dan Fitri. Bahkan saat remaja pun, Karin sangat membatasi pergaulannya dan hanya berteman dengan para wanita di lingkungan Desa Gayamsari.

"Bapak tidak tahu apa-apa, Nak. Bahkan setelah Bapak pikirkan lagi, Bapak tetap tidak bisa mengingat apa pun. Karin terus saja gagal menikah sejak pertama kali kami berusaha menjodohkannya dengan seseorang. Kegagalan yang pertama itu mulai terjadi setelah Almarhum Kiayi Ahmadi meninggal dunia. Padahal tadinya, Almarhum Kiayi Ahmadi sendiri yang menjodohkan Karin dengan salah satu santrinya yang mondok di daerah Solo. Tapi ketika Kiayi Ahmadi meninggal dunia secara mendadak, mendadak pula laki-laki itu membatalkan secara sepihak acara pernikahan yang sudah akan terjadi keesokan hari. Dan pada akhirnya, terjadilah hal yang seperti kamu lihat tadi. Kami dituntut untuk memberikan ganti rugi yang tidak masuk akal oleh pihak keluarga calon mempelai pria. Dan begitulah terjadi seterusnya sampai sekarang. Entah sudah berapa belas kali Karin mengalami gagal menikah. Bapak sudah lupa untuk menghitungnya," tutur Didi, sambil menahan tangis.

Alwan kembali terpikirkan cerita dari Tarmin, semalam, mengenai meninggalnya Kiayi Ahmadi yang mendadak dan misterius. Hal itu ternyata sedikit berkaitan dengan Karin yang terus-menerus gagal menikah.

"Bahkan mungkin bisa saja justru meninggalnya Kiayi Ahmadi memang ada kaitannya dengan Karin yang terus gagal menikah. Mungkin itulah awal mula mengapa Karin bisa terkurung dalam lingkaran gagal menikah yang tiada akhirnya," batin Alwan.

Tatapan Alwan yang tadinya menerawang ke arah halaman kini kembali tertuju pada Didi yang masih mengamatinya.

"Pak Didi ... jika saya berniat memberi bantuan pada Karin, apakah Pak Didi akan memberi izin?" Alwan meminta persetujuan.

"Membantu Karin? Membantu Karin dalam hal apa, Nak Alwan?" tanya Didi, agak sedikit bingung.

"Saya ingin membantu Karin agar bisa terlepas dari jerat gagal menikah, Pak. Saya dan beberapa anggota tim saya akan mencoba melihat kondisi Karin lebih dulu, jika Pak Didi mengizinkan," jawab Alwan, begitu mantap.

Didi terlihat bimbang selama beberapa saat. Namun rasa putus asa yang dirasakannya selama ini membuat dirinya tidak memiliki jalan keluar lain untuk Karin. Meski masih merasa bimbang, akhirnya Didi menganggukkan kepalanya untuk memberikan izin kepada Alwan agar bisa membebaskan Karin dari jerat gagal menikah.

* * *

TELUH GANTUNG JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang