Setelah beberapa jam berada di rumah sakit, Liam dan Julian harus pulang ke rumah, sementara Noah memutuskan untuk tinggal di hospital hingga orang tua Daniel tiba. Mereka berpamitan dengan Noah dan Daniel dengan berat hati, berharap kondisi Daniel akan membaik.
Di mansion Julian, baru saja dia membuka pintu, suara teriakan dan barang pecah menyambutnya. Suara itu sudah tidak asing lagi; siapa lagi kalau bukan ibu dan ayahnya yang sedang bertengkar. Niat hati Julian sebenarnya ingin tinggal di hospital bersama noah dan Daniel atau tinggal di rumah Liam saja, tetapi papanya terus-menerus mengirim mesej dan menelepon, memaksanya untuk pulang.
"Dah balik? Ingat tak jumpa jalan balik dah? Lain kali kalau tak reti nak balik, tak payah balik selamanya, menyusahkan orang lain je," ucap papa Julian dengan nada sinis.
Julian menahan sakit hati dengan perkataan papanya, meskipun dia sudah terbiasa dengan caci maki itu. Dia hanya diam, tidak membalas apa-apa. Baginya, berdebat hanya akan memperburuk keadaan.
Tiba-tiba, papanya melemparkan sebuah card laporan pelajar ke wajah Julian dengan kasar.
"Aku dah penat sewa cikgu tuisyen untuk kau, tetapi tetap gagal? Apa masalah kau sebenarnya? Ke memang bodo sejak lahir?" kata papa Julian dengan penuh amarah.
Julian memungut kartu laporan itu dengan wajah yang tida perasaan. "Maaf, pa. Nanti Julian usaha lagi," ucapnya dengan suara datar, tanpa ekspresi.
"Keputusan macam ni? Ada hati nak ganti aku sebagai CEO syarikat? Dalam mimpilah," ucap papa Julian sebelum berbalik dan naik ke lantai atas menuju bilik kerjanya.
Setelah papanya pergi, ibu Julian segera datang dan memeluk Julian dengan erat. "Maafkan mama ya sayang, maafkan mama," ucap mama Julian sambil menitikkan air mata.
Julian merasa pelukan mamanya memberi sedikit kelegaan, tetapi rasa sakit di hatinya tidak hilang begitu saja. "Bukan salah mama, Julian ni yang bodo dan tak guna sebagai seorang anak," ujarnya dengan nada yang penuh kekecewaan terhadap dirinya sendiri.
Mama Julian menggelengkan kepala dengan kuat, tidak setuju dengan pernyataan anaknya. "Tidak, sayang. Semua itu tak benar. Julian anak yang baik, mama tahu itu," kata mamanya sambil mengusap rambut Julian dengan penuh kasih sayang.
Julian terdiam, merasa hangat oleh pelukan mamanya, tetapi di dalam hatinya, ia masih merasakan beban yang sangat berat. Dia merasa terjebak antara harapan orang tuanya dan kenyataan bahwa dia tidak mampu memenuhi ekspektasi yang tinggi itu.
"Mama, Julian masuk bilik dulu," ucap Julian dengan suara yang lemah, mencoba menyembunyikan emosinya. Dia lalu berjalan perlahan naik ke tangga, menuju biliknya.
Sesampainya di bilik, Julian menutup pintu perlahan dan mengunci dirinya di dalam. Dia memandang wajahnya di cermin dengan mata yang penuh dengan rasa kecewa dan marah. "Kenapa kau tumbuh menjadi anak yang bodoh, Julian? Kau dah kecewakan papa dan mama," ucapnya pada bayangan dirinya sendiri dengan nada penuh rasa benci.
Julian merasakan gelombang emosi yang telah lama ditahannya mulai menguasai dirinya. Tanpa dapat menahan diri lagi, dia menumbuk cermin di hadapannya dengan sekuat tenaga. Cermin itu pecah berkeping-keping, serpihannya berserakan di lantai. Tangan Julian terluka, darah mengalir keluar dari luka-luka di tangannya, tetapi dia tidak peduli. Rasa sakit di tangannya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
Air mata mulai mengalir di pipinya saat dia merasakan beban yang sangat berat menekan dirinya. Dia terduduk di lantai, di antara serpihan cermin yang pecah, merasakan betapa rapuhnya dirinya di hadapan tekanan dan harapan yang terus menghantui hidupnya.
Di luar bilik, mama Julian mendengar suara pecahan cermin dan segera berlari menuju bilik Julian. Dia mengetuk pintu dengan cemas. "Julian! Julian, buka pintu! Apa yang terjadi?" teriaknya dengan suara panik.
Julian tidak menjawab. Dia hanya duduk di sana, merasakan setiap detik berlalu dengan lambat, seolah-olah dunia di sekelilingnya berhenti. Kesedihan dan kekecewaan memenuhi seluruh ruang hatinya.
mama Julian terus mengetuk pintu bilik dengan penuh kegelisahan. "Julian, tolong buka pintu. Mama hanya ingin memastikan kau baik-baik saja," pintanya dengan suara yang mulai terisak.
Setelah beberapa saat, Julian akhirnya berdiri, meskipun tubuhnya terasa berat. Dengan tangan yang masih berdarah, dia membuka pintu dan melihat wajah ibunya yang penuh dengan kerisauan.
Melihat kondisi Julian, mama Julian segera memeluknya dengan erat. "Julian, kenapa kamu melakukan ini? Mama sangat sayang kamu, julian. Kamu tidak perlu membuktikan apa-apa kepada siapa pun," ucapnya dengan suara yang penuh kasih sayang.
Julian merasa hatinya sedikit lebih ringan mendengar kata-kata ibunya. Meskipun luka di tangannya masih terasa, pelukan ibunya memberi kehangatan yang sangat ia butuhkan. "Maafkan Julian, Ma. Julian hanya ingin menjadi anak yang baik," ucapnya sambil menangis.
Mama Julian mengusap rambutnya dengan lembut. "Kamu sudah menjadi anak yang baik, Julian. Jangan biarkan kata-kata orang lain merusak diri kamu. Kamu berharga bagi mama," ujarnya dengan penuh keikhlasan.
Dengan dukungan dari ibunya, Julian merasakan ada sedikit harapan di tengah kegelapan yang melingkupi hidupnya. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya, dan persahabatan serta kasih sayang keluarganya akan selalu menjadi kekuatan terbesarnya.
Skip
Manakala di rumah Liam, dia baru sahaja pulang dan sudah disambut dengan pelukan hangat adik perempuannya yang berumur 10 tahun, Maya. Senyuman di wajahnya tidak dapat disembunyikan ketika melihat adik kesayangannya yang selalu penuh keceriaan.
"Liam dah pulang," ucap Liam sambil memegang tangan Maya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.
Di dapur, ibu Liam, Karla, tersenyum cerah saat melihat anak sulungnya kembali. "Liam dah balik? Sini, makan. Ibu baru je selesai masak makan malam," katanya dengan penuh kasih sayang.
Liam mengangguk dan berjalan menuju ke meja makan bersama Maya. Aroma masakan ibunya yang lezat memenuhi ruang makan, membuat perut Liam semakin keroncongan.
"Mana ayah dan Louis?" tanya Liam sambil memandang sekeliling, mencari ayahnya dan adik lelakinya yang berusia 13 tahun, Louis.
"Sebentar lagi mereka turun," jawab Karla sambil sibuk menuangkan air ke dalam gelas untuk keluarga sederhana mereka. "Kalau Liam lapar, Liam boleh makan dulu."
Liam menggeleng lembut, sambil tersenyum pada ibunya. "Takpelah, Liam nak tunggu semua dulu. Lagi seronok makan sama-sama."
Karla tersenyum bangga melihat sikap bertanggungjawab dan penuh perhatian anaknya. Dia tahu bahawa meskipun mereka bukan keluarga yang berada, kasih sayang dan kebersamaan adalah kekuatan utama mereka.
Tidak lama kemudian, ayah Liam, Aaron, dan Louis turun dari tangga. "Oh, Liam dah balik! Macam mana hari ini?" sapa Aaron dengan suara ramah.
"Hari ini baik, ayah. Cuma risau dengan keadaan Daniel," jawab Liam, nada suaranya sedikit menurun.
Louis mendengar nama Daniel dan segera bertanya, "Kenapa dengan Daniel, bang? Dia okey ke?"
Liam menghela nafas panjang, cuba menenangkan diri. "Daniel masuk hospital lagi, kondisi badan daniel semakin buruk ."
Puan Karla yang mendengar itu terdiam seketika, rasa bimbang tergambar jelas di wajahnya. "Kami doakan Daniel semoga cepat sembuh, ya. Tuhan pasti dengar doa kita, mungkin esok ibu pergi ke hospital untuk tengok daniel," ujarnya dengan lembut
Mereka semua duduk di meja makan, menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh kasih sayang oleh Karla. Makan malam itu penuh dengan perbualan ringan dan gelak tawa, walaupun ada bayangan kekhawatiran di hati mereka mengenai keadaan Daniel. Namun, di tengah-tengah kebersamaan itu, Liam merasakan kekuatan yang datang dari keluarganya, memberinya harapan dan semangat untuk terus mendukung sahabat-sahabatnya.
TBC
Kalau ada typo sorry ya :)
Kesian julian :), kalau korang jadi julian korang akan buat apa?
Lanjut or deleta
YOU ARE READING
Finding Light in the Darkness: A Tale of Friendship and Resilience| JDPP
FanfictionDalam remang impian yang memikat, terdapat bayangan kesedihan yang tak terucapkan. Ketika tiga sahabat membangun jalan mereka menuju masa depan, Daniel, dengan beban penyakitnya, menatap takdirnya tanpa impian yang jelas. Bagaimana mereka boleh mena...