CHAPTER 1

1.6K 61 3
                                    

"Ahh, ahhsss—mmmhhhh!"


"Ah! Asshhh … tuannnhh, hentikan! Sakit—!' Rintih seorang wanita yang saat ini sedang berada di bawah kuasa seorang pria.

Plak! Plak!

"Aaahh, ampuun tuan. Ampunnhhh.. sele-saikan cepaathh.. akuhh mohonn … " terdengar rintihan sang wanita.

Ini sudah puluhan kalinya pukulan dan tamparan sang pria mendarat di tubuh telanjang wanitanya malam ini. Entah itu di pipi, dada atau bokong wanita itu, wanita malam yang dibayar mahal hanya untuk memuaskan sang 'Tuan'.

Tanpa ampun, pria itu terus menumbuk kejantanannya di kewanitaan wanita itu tanpa jeda. Semakin keras, semakin kuat—seiring dengan tangan pria itu yang membuat luka hampir di sekujur tubuh lawan main ranjangnya. Dan wanita itu hanya bisa pasrah di bawah kenikmatan dan siksaan—dalam arti sebenarnya- yang diberikan tuannya. Pria yang membayarnya sangat mahal.

Ini sudah hampir 3 jam mereka berhubungan intim. Entah berapa kali sang wanita mencapai orgasmenya, namun sang pria belum sama sekali. Anehnya, dalam waktu 3 jam, mereka hanya melakukan satu posisi dalam berhubungan intim saja. Doggy style.

Dan pria itu, juga masih belum mengeluarkan suaranya. Bahkan sebuah desahan pun tidak.

'Brengsek. Aku sedang melayani pria gila yang sialannya sangat kaya. Sayang sekali aku tidak bisa melihat bagaimana wajah pria gila ini.' Umpat wanita itu dalam hati.

BAB 1
•×•×•×•×•

[Sakura]

Aku Sakura, Haruno Sakura lebih tepatnya. Aku adalah seorang siswi di sebuah Senior High School ternama Tokyo. Orang bilang aku adalah gadis cantik dan cerdas yang mampu membuat mata pria yang melihatku terpesona. Walaupun tinggi tubuhku sangat jauh jika dibandingkan dengan para model di Negara ini. Kakakku bilang, aku mungil. Oh, ayolah! Ini karena aku masih 17 tahun, 'kan? Jadi wajar saja jika bentuk tubuhku mungil.

Kedua orang tuaku adalah salah satu orang kaya ternama di Negara ini dan karena kekayaan mereka membuatku memiliki segalanya. Ayahku adalah pemilik perusahaan HR Group. Kekayaan yang ia punya benar-benar membuatnya lupa daratan. Dia selalu saja menomor satukan pekerjaannya. Meeting di luar Negeri, atau bahkan 'meeting' bersama para wanitanya. Ia sudah biasa tidak pulang dalam waktu berbulan–bulan. Sedangkan Ibu, aku bersyukur karena Ibu adalah wanita yang kuat. Ya, kuat dalam melayani pria–pria muda yang haus akan uang tentunya. Ibu adalah wanita yang akrab dengan dunia malam.

Lalu kenapa aku bersyukur? Setidaknya, kalau Ayah dan Ibu mempunyai 'hobi' yang sama, mereka bisa saling pengertian, bukan? Aku tidak perlu merasakan melodrama yang memuakkan seperti yang ada di dalam film. Selalu menangis saat Ibu yang baik hati tersakiti dengan kelakuan Ayah yang brengsek. Benar, setidaknya aku tidak perlu melewati hal bodoh seperti itu. Mengingat hal itu membuatku tersenyum miris pada diriku sendiri.

Aku mempunyai seorang Kakak laki–laki. Ia adalah Sabaku Gaara. Sabaku? Ya, karena saat menikah dengan Ayah, Ibu adalah seorang janda dengan seorang putra. Itulah kenapa aku dan Gaara Nii-san memakai marga yang berbeda karena kami memang berbeda Ayah. Sekarang Gaara Nii-san tinggal di London untuk meneruskan bisnis Ayahnya.

Itu adalah kehidupan keluargaku. Lalu bagaimana dengan kehidupan percintaanku? Aku malas membahasnya. Kehidupan percintaan seperti ini membuatku ingin lari dari kenyataan. Akan aku ceritakan nanti, karena sekarang mobil yang membawaku sudah sampai di depan lobi sebuah perusahaan raksasa Jepang.

          

Aku menyusuri koridor, naik lift ke lantai 17 dan akhirnya berada disini. Di depan ruangan Presiden Direktur. Aku menghela napas dalam. Pertemuan terakhirku dengan Presdir itu berakhir dengan pecahnya barang–barang yang ada di ruangannya. Sekretaris pribadi Sang Presdir melihatku lekat, lalu aku balik melihatnya. Ada tatapan panik dan takut pada manik matanya. Ya sudahlah, toh aku hanya tinggal membuka knop pintu ruangan itu.

Aku melihat Sang Presdir berhelaian raven mencuat bak bokong ayam itu dengan tatapan datarku. Dia sedang berkutat dengan berkas-berkas yang menumpuk di mejanya. Ia memakai kaca mata yang jarang ia pakai. Aku tahu, berkas itu pasti adalah pekerjaan yang sangat penting, sehingga dia tidak mempercayakan berkas itu pada siapapun, lihat saja matanya yang sudah menderita sedikit minus itu ia kerjakan 24 jam non-stop.

Dia tidak melihatku, walaupun aku yakin dia mendengar suara pintu terbuka. Itu pasti karena dia sudah tahu, aku yang datang. Hanya aku yang berani masuk ruangan ini tanpa mengetuk pintu.

"Hn. Sampai kapan kau akan berdiri di sana?" tanyanya dingin tanpa menatapku karena kedua manik onyx di balik kecamata berbingkai hitam itu masih tetap memandang lekat berkas-berkas yang ada di mejanya.

Haah ... kuhembuskan napasku kasar ketika melihat tingkah tak acuhnya itu.

"Apa yang ingin anda bicarakan, Direktur? Aku hanya mempunyai waktu 30 menit sebelum kursus Matematikaku dimulai." Jawabku tidak kalah cuek. Aku berjalan perlahan ke sofa yang ada di depan mejanya. Tentu saja setelah menutup rapat pintu yang tadi aku buka.

Setelah kalimatku selesai, dia memandangku. Melepas kacamatanya dan melihat ke arahku lagi. Dengan tatapan mata yang sama. dingin dan tajam. Memang tatapan seperti itu yang ia punya, untuk menatap siapa pun. Kulihat Ia melonggarkan dasinya seraya beranjak dari kursi besarnya, lalu berjalan beberapa langkah kedepan meja dan duduk di atas mejanya. Tepat di depanku.

"Sampai kapan kau seperti ini?" tanyanya lagi. Kali ini dengan memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.

"Apa?" tanyaku tidak mengerti. Bagaimana aku bisa mengerti? Terlalu banyak masalah di antara kami, dan sekarang aku tidak tahu, masalah mana yang sedang dibahas olehnya.

"Tinggalkan rumah itu!" Suaranya penuh penekanan. Aku membuang pandanganku darinya. Huuft, jadi masalah ini.

"Tidak bisa." Jawabku pelan, tapi aku yakin dia mendengar desisanku.

"Masih saja keras kepala, hn?"

"Direktur!" aku meninggikan suaraku menyebut jabatannya, yaitu Direktur. "Kita sudah sering membahas masalah ini. Jawabanku tetap sama, aku tidak mau!" Dia tidak merespon. Aku tahu dia membutuhkan alasan, maka akan kuberikan kalimat yang sudah berkali-kali aku katakan padanya. "Aku tidak mau meninggalkan rumah itu. Rumahku. Sekotor apapun, rumah itu tetap tempat di mana aku dibesarkan. Ada Ayah dan Ibuku di sana, orang tua kandungku!"

"Sekaligus tempat di mana mereka menyakitimu." Sahutnya datar.

"Uchiha Sasuke!" Aku membentaknya, menyebut namanya secara keras. Aku tak peduli ketika kulihat dia menegakkan tubuhnya, berdiri gagah dengan kemarahan di matanya. Jujur aku sedikit takut dengan tempramen pria ini, tapi untuk saat ini kemarahanku telah menebas habis rasa takutku padanya. "Jaga ucapanmu!" Suaraku pelan seraya menahan emosiku. Tapi yang tersulit, aku juga menahan tangis saat ini. "Mereka orang tuaku." Desisku sedikit bergetar.

YOU are mine !!! Cherry Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang