Sandang

14 3 0
                                    

Tiga ratus enam puluh lima hari pertama, Dama' Bulan memimpin rakyatnya untuk tidak hanya bertahan hidup, melainkan memberikan mereka harapan akan masa depan. Para prajurit terus melatih olah kanuragan dan kepiawaian mereka dalam bertarung secara sendiri-sendiri, maupun berkelompok. Mereka terus menjagai wilayah terjauh di kaki bukit dan di tepi-tepi sungai. Dama' Bulan masih melarang mereka untuk menjajaki daerah-daerah lain di dalam hutan untuk menghindari permasalahan dengan kelompok masyarakat lain. Para hulubalang mencurigai bahwa raja muda mereka tersebut mendapatkan semacam penglihatan mengenai hal tersebut karena selama ini tidak ada marabahaya yang mengintai, kecuali penampakan seekor macan dahan setahun yang lalu tersebut. Namun, tetap saja, titah adalah perintah yang harus dilaksanakan. Jiwa mereka sudah terikat dengan sumpah dan rasa percaya yang membelit erat setiap embusan nafas.

Dama' Bulan bersikeras bahwa tujuan utamanya sekarang adalah untuk menjauhkan masyarakatnya dari kemalangan. Gambaran peperangan yang diberikan sang ramaong kepadanya di awal-awal ia dan rombongannya memutuskan untuk membangun pemukinan di tanah ini masih menghantuinya. Selama tiga ratus enam puluh lima hari itulah Dama' Bulan tumbuh menjadi seorang pemimpin yang bertujuan utama menyejahterakan rakyatnya.

Padi telah berhasil dituai dari hasil kerja keras orang-orang Melayu Songkhla sendiri. Bulir-bulir padi menyala keemasan di bawah terik matahari yang bergulir dari ujung bukit, menyirami ladang dengan semangat membara. Bulir-bulir peluh rakyat yang bertani di sepanjang hari, menetes sama gemuknya dengan padi hasil panenan mereka. Tumbuhan buah-buahan dan sayuran hutan berhasil dibudidayakan dan ditata sedemikan rupa sehingga menghasilkan panenan yang sama kayanya. Datok Udak yang memiliki pengetahuan tentang tetumbuhan obat-obatan juga diberkahi pengetahun terhadap pertanian, hari baik dan perhitungan cuaca serta musim.

Para hulubalang dan pendekar, selain terus melatih pasukan, juga menggunakan kemampuan mereka untuk berburu demi persediaan makanan rakyat. Manok Sabong yang pandai bermain keris, bersama Singa Guntur, Singa Elang, dan Singa Layang, bersaing untuk berburu babi hutan dan pelanduk. Mereka melatih ilmu kanuragan dan kelincahan sembari menyediakan makanan bagi rakyat di kampung baru mereka tersebut.

Ketika Singa Elang melemparkan lembing dan menancap di sisi kanan lambung seekor babi hutan, Manok Sabong akan dengan cepat menyelesaikan buruan tersebut dengan menancapkan kerisnya dalam-dalam di sisi lambung yang berbeda.

Danum yang sehari-hari melayani sang permaisuri serta merawat Nilam Cahya juga mendapatkan bagiannya memberikan sumbangsih. Ia meminta beberapa orang untuk membangun keramba di beberapa bagian sungai yang kaya akan ikan tersebut. Dengan keramba tersebut, mereka tidak perlu bergantung pada para prajurit, pendekar atau hulubalang untuk berburu serta memancing ikan agar mereka dapat makan. Para perempuan pun dapat memanen ikan ketika sudah saatnya.

Nilam Cahya yang saat itu berumur tiga tahun sering mengikuti Danum dan istrinya ke keramba. Jari-jarinya yang kecil menelusuri licinnya sisik ikan yang menggelepar di keranjang warga dengan semangat, sampai ia menjerit-jerit karena terkejut. Para warga tertawa menggoda sang putri kecil itu.

Dama' Bulan sedikit lega karena kemampuan-kemampuan orang-orang terpercayanya dapat digunakan untuk kemasahalatan bersama, bukan lagi untuk bertempur dan bertahan hidup dari ancaman serangan musuh. Mungkin hanya ini yang menjadi tujuannya sekarang. Mimpi-mimpi atas dasar penglihatan yang diberikan ramaong dilawannya habis-habisan dengan menghabiskan waktu terus berkeliling pemukiman, melihat kesejahteraan makanan dan keperluan mereka.

"Ampun Paduka Raja. Namun, bukankah kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang tidak bisa hanya dinilai dari makanan?" ujar Manok Sabong suatu masa. Ia berdiri di samping jauh Dama' Bulan dengan menunduk sedalam-dalamnya, seakan kepalanya ditekan oleh rasa segan dan sungkan yang berat.

"Apa maksudmu, Manok Sabong?" ujar Dama' Bulan.

Manok Sabong menjura dengan masih tak berani mengangkat kepalanya, apalagi membalas tatapan sang raja muda.

"Sekali lagi ampun, Paduka Raja, atas ucapan patik yang tidak pantas ini. Patik hanya berpikir bahwa rakyat Songkhla berhak mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar makanan."

"Apa ada yang lebih dari makanan, Manok Sabong? Makanan membuat semua orang mendapatkan hidup. Perut mereka kenyang karena periuk-periuk kita mengepulkan asap. Butir beras kita putih dan menggemaskan. Ikan-ikan kita buncit-buncit. Air hujan yang kita tadah dari langit di dalam tempayan sama bersih dan segarnya dengan air dari mata air yang kita salurkan ke ladang-ladang padi. Bahkan kita semua bisa memanggang daging babi hutan, pelanduk, burung-burung tanpa ada habisnya. Apakah maksudmu kejayaan yang membuat rakyat kita lebih senang? Apakah menurutmu kita memerlukan harga diri sebagai bangsa Songkhla sehingga kita masih perlu menaburkan darah bahkan di tanah asing ini?" suara Dama' Bulan meninggi, membuat Manok Sabong berlutut di tanah.

Tidak hanya Manok Sabong yang memiliki pikiran mengganggu atas pemimpin mereka ini. Para hulubalang, bahkan nakhoda, merasa bahwa Dama' Bulan menyembunyikan sesuatu setelah kemunculan gaib macan dahan setahun yang lalu itu. Mereka berpikir Dama' Bulan seperti ketakutan untuk mengambil keputusan, padahal Manok Sabong sudah memantapkan diri untuk pergi lebih dalam ke tanah Hujung Tanah, menggapai tujuan utama mereka, menuju ke kerajaan Tanjung Nagara. Sekarang, Dama' Bulan malah menyibukkan dirinya dengan pencapaian kesejahteraan masyarakat yang dihitung dengan makanan. Bukannya tindakan itu salah, bahkan Dama' Bulan bisa dikatakan sebagai seorang pemimpin yang mampu membuat masyarakatnya berkelimpahan dan berkecukupan. Makanan demi makanan seperti gelombang laut yang tiada habis-habisnya.

"Ampunkan patik, Paduka Raja. Patik sudah lancang untuk berbicara seperti ini. Namun, patik tidak berpikir sejauh itu. Patik hanya prihatin dengan keadaan rakyat kita yang mulai kehabisan pakaian, Paduka Raja," ujar Manok Sabok pendek.

Dama' Bulan tersentak. Ia tidak menyangka itu jawaban dari sang pendekar. "Rakyat kita kehabisan pakaian?" tanyanya.

"Benar, Paduka Raja. Kita memiliki pangan yang berlimpah, itu adalah hal nyata yang tidak perlu patik sangsikan. Kita juga memiliki papan yang aman. Tanah kita subur, bangunan kita semakin kokoh, pemukiman kita juga dilindungi bukit di satu sisi dan sungai di sisi lain. Namun, para dayang terpaksa menghemat pakaian mereka karena tidak mendapatkan ganti bila kain Melayu dari Songkhla yang tak seberapa mereka bawa tersebut sobek atau rusak. Patik tidak bisa bercerita bagaimana dengan keadaan permaisuri yang tentu saja lebih memprihatinkan. Para prajurit kita sudah mulai menyimpan pakaian mereka dan lebih senang bertelanjang dada serta bercawat ketika berangkat berburu atau berlatih perang. Mungkin saat ini, semua itu tidak terlalu penting untuk diperhatikan, Paduka Raja. Hanya saja, itulah yang patik maksud dengan kesejahteraan dan kebahagiaan yang didapatkan tidak hanya dari makanan, melainkan juga sandang. Bukan hanya sebagai lambang kebesaran dan peradaban, tetapi sungguh dikenakan sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Busana melindungi tubuh kita dari kering dan basah, panas dan dingin, serta rasa malu sebagai bangsa yang besar. Sekali lagi, patik minta ampun karena kata-kata patik tidak berkenan di hati Paduka. Patik hanya menyumbang pemikiran belaka."

Dama' Bulan tercenung. Mengapa hal ini terlewatkan olehnya?

Lengkung TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang