Empat Puluh Empat

39.7K 4.3K 511
                                    

Menjabat sebagai ketua umum dari partai yang namanya cukup besar, membuat Harun harus membangun koneksi seluas-luasnya. Isu bahwa dirinya digadang-gadang akan menjadi calon wakil Presiden, Harun wajib menerima ucapan selamat dan doa dari orang-orang. Walau tak jarang semua hanya berlatar basa-basi semata. Tak masalah, musuh bebuyutan pun, selalu tampak ramah bila berada di depan mata.

Ulang tahunnya, mungkin sudah lewat beberapa hari yang lalu.

Namun, bukan berarti perayaan itu selesai.

Niat hati enggan bertemu keluarganya dulu, Harun harus terjebak pada perayaan ulang tahunnya yang digelar oleh Irawan Pramoedya dengan andil penuh dari Ginta Maharani. Sebuah restoran hotel di booking untuk merayakan tanggal kelahirannya itu. Dan di sana, tentu saja ada kedua orangtuanya juga adik dan para iparnya.

Sungguh, Harun merasa sangat ironi pada situasi ini.

Bukan karena berjumpa dengan ibunya, melainkan kehadiran dari para petinggi beberapa partai yang tergabung dalam koalisi Indonesia Merdeka. Di mana, Nusantara Jaya sudah tergabung di sana. Mereka yang hadir merupakan para elite partai yang mendukung penuh pencalonan Irawan Pramoedya dengan dirinya. Wajah-wajah semringah itu, tampak tulus ketika memberi ucapan selamat atas tanggal kelahirannya. Berlanjut dengan harapan-harapan mereka untuk pemerintahan yang kelak dapat diteruskan olehnya.

"Wah, abang ipar nih."

Sebuah celetukan mampir ke telinga, kala Harun baru saja ditinggalkan oleh Irawan Pramoedya yang pamit untuk menerima telepon.

"Hehehe ... maaf, ya, Pak. Saya salah orang ternyata."

Lagi, suara itu terdengar kembali.

Dan kali ini, akhirnya Harun berbalik untuk memberi atensi. "Kenapa?" tanyanya enggan. Mayang Elvira berada di tengah-tengah perayaan ini. Jelas, buukan karena koneksinya. Laporan dari sang aspri, adik dari istrinya itu tengah menjalin hubungan dengan salah satu kader dari partai Demokrasi Pancasila. Yeah, dari sanalah Mayang dapat hadir di acara malam ini. "Saya lebih senang bertemu kamu di lapangan golf," ujar Harun terus terang.

"Owh," Mayang mengeluh sambil memegangi dada. Pura-pura sakit hati mendengar perkataan itu. "Iya, deh, si paling golf," cengirnya tanpa merasa bersalah. "Oh, ya, ngomong-ngomong gimana keadaan kakak saya, Pak? Anaknya udah makan belum? Suka rewel ya, katanya, kalau nggak disuapi bapaknya."

Harun mengembuskan napas, jengah. Ia melirik pada Mayang tanpa minat sama sekali. "Kamu boleh mengunjunginya."

Senyum Mayang terlihat nakal. Ia mengerling pada ketua umum partai itu seolah tengah terang-terangan menggoda. "Nggak deh, Pak. Saya orangnya nggak suka menyambung tali kasih. Nanti deh, kalau anaknya kakak saya lahir. Saya bakal beliin stroller warna pink. Oh, iya, feeling saya sih cewek, Pak. Soalnya kalau cowok, mana mungkin sok manja minta disuap-suap segala. Uhm, udah dulu, ya, Pak. Saya takut kena skandal," Mayang tertawa menyebalkan. "Soalnya, skandal Bapak 'kan udah banyak, ya?"

Pasti sudah ada yang wanita itu dengar.

Dan Harun memutuskan enggan membalasnya.

Ia usir Mayang menjauh. Niat hati ingin berbicara dengan Sekjennya yang tampak sibuk menebar basa-basi sejak tadi. Namun, langkah Harun terhambat karena Ginta Maharani menghampiri.

"Kok kamu nggak kelihatan happy?" Ginta Maharani tampil berkelas dengan basic shirt berwarna putih. Dilengkapi dengan skirt cream yang dibagian pinggangnya menggantung belt yang elegant. Rambutnya tergerai polos. Tanpa jepitan atau aksesoris apa pun yang menempel di surainya, Ginta Maharani memberikan penampilan sederhana namun aura mahal yang dimilikinya membuat siapa pun tahu, ia berasal dari kelas yang tak terbantahkan. "Berhenti mikirin partai, Run. Enjoy dong, kan ini pesta buat kamu," ia menyerahkan segelas wine pada lelaki itu. Sementara dia sendiri pun meneguk minuman yang sama di tangannya.

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang