Chapter 6

1 0 0
                                    

"Jika seseorang ingin berubah itu adalah karena kemauannya sendiri."

-Gestara Aghnia Mahreen


Hari ini adalah hari minggu, aku memutuskan untuk lari pagi dan mengigilingi komplek dimana tempatku tinggal, akhir-akhir ini aku sering keluar untuk berlari dan membeli makanan. Hobiku sekarang tidak hanya bekerja dan rebahan sekarang aku ingin hidup lebih produktif lagi. Bunda dan abang juga mendukungku apapun keputusanku asalkan itu positif.

Sudah 6 bulan aku mulai bisa melupakan traumaku di masa kecil, aku sudah tidak pernah lagi memikirkan ayah. Menurutku itu hanya membuang-buang waktu dan pikiran, sedangkan ayah kemungkinannya sangat kecil jika merindukanku. Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bertemu ayah.

Saat aku menuju rumah dan berniat untuk mandi dan sarapan, aku di sapa oleh mang bubur yang mangkal di dekat masjid.

"Neng jadi sering keliatan yaa sekarang, dulu mah jarang ya neng." Katanya

"Hehe iya mang, lagi rajin aja."

Setelah perbincangan singkat itu aku memutuskan untuk pulang dan makan masakan bunda. Menu kali ini bunda memasak cumi-cumi, kesukaanku.

"Wah bunda masak cumi-cumi, ih Tara ga sabar mau makan." Kataku

"Tara mandi dulu gih, abis itu makan."

"Siap bunda, tunggu bun. Kok Tara galiat abang dari semalam." Tanyaku, karna memang biasanya abang sudah menonton tv atau bahkan membantu bunda memasak tapi kali ini aku sama sekali tidak melihat batang hidungnya.

"Abang nginep di rumah Alzhaska buat nyiapin semua perlengkapan pernikahan, kan minggu depan abang udah menikah."

Setelah itu aku hanya ber-oh ria dan berjalan menuju kamar untuk mandi, karna hari ini hari libur aku memakai pakaian santai ala anak rumahan.

Aku menuruni tangga dan terlihat ada abang di meja makan, aku heran kenapa orang itu sangat bisa di prediksi dia ada dimana.

"Kok pulang bang?." Tanyaku

"Kenapa emang? gasuka abang di rumah?." Jawabnya dengan nada yang tak aku sukai.

"Apasih orang cuma nanya doang sensi amat heran, nyesel nanya." Jawabku dengan nada lebih ketus.

"Aduh berantemnya nanti dulu yaa, kita makan dulu. Abang Azfer makan dulu yaa nanti kita bicarain bareng-bareng." Aku sedikit bingung dengan perkataan bunda, mau di bicarin bareng-bareng? apa yang harus di bicarakan? Apa tadi karna aku bertanya menjadi masalah besar?. Aku segera menepis pikiran itu, lagi pula nanti mau di bicarain.

"Iyaa bun." Jawab abang singkat. Ada apa dengan dia, kenapa pulang-pulang jadi orang yang sangat-sangat badmood, bukannya harusnya bahagia karna baru saja mengurus pernikahannya.

Setelah makan selesai aku, bunda, dan abang pergi ke ruang tengah untuk berbicara. Rasanya ini pembicaraan serius.

"Jadi gimana bang? apa yang membuat Aina membatalkan pernikahan untuk kesekian kalinya?."

"HAH? gimana-gimana? Aina batalin pernikahan sama abang? kok bisa?." Aku melontarkan beberapa pertanyaan untuk abang dan bunda karna bagaimana bisa? ini udah kedua kalinya.

"Kemarin Aina tiba-tiba dateng ke Apartemen Alzhaska, awalnya dia mau ngomong sama Alzhaska tapi ketika dia liat abang, dia jadi mau bicara bertiga. Aina bilang, dia sebenernya ga cinta sama abang, dia nerima abang karna orang yang dia cinta melamar perempuan lain dan karna itu dia nerima lamaran abang, dan ternyata lamaran laki-laki yang Aina cinta di tolak oleh perempuannya dan laki-laki itu melamar Aina dan langsung di terima oleh Aina." Aku sangat geram saat abang menceritakan bahwa alasan Aina menerima dan membatalkan pernikahan ini karna laki-laki lain? apakah itu wajar?.

"Ya ampun abang, kok bisa sih? trus gimana sekarang? di batalin lagi?. Tanyaku bertubi-tubi pantas saja pagi ini mood abang kacau. Aku jadi ikut gerak terhadap kak Alzhaska, apakah ini balasan karna aku menolak lamarannya?.

"Saat itu juga Alzhaska emosi sama Aina dan mau ngobrol berdua aja sama Aina, tapi abang larang, abang takut Alzhaska lepas kendali, walaupun abang tau Alzhaska gamungkin main tangan atau membentak Aina." Abang menceritakan itu semua dengan mata yang lelah dan menunduk, sehancur itu kah abang?. Aku tidak menyangka bahwa Aina bisa melakukan itu ke abang, sebenarnya apa salah abang sampai ia mempermainkan pernikahan.

"Abang, bunda tau ini berat banget buat abang tapi bunda mau abang yang kuat yaa? bunda sama Tara inshaa Allah selalu dukung abang. Allah ga akan kasih cobaan melebihi batas kemampuan hambanya. Kita coba bangkit lagi ya bang?."

"Iyaa bun, makasiih banyak ya bun." Akhirnya tangisan abang pecah saat itu juga, abang menangis di pelukan bunda. Bagaimana bisa abang tetap tegar jika perempuan yang di cintai lebih memilih laki-laki lain.

Saat itu abang dan bunda beranjak ke kamar masing-masing untuk menenagkan diri, aku bingung harus berbuat apa, aku harus bagaimana menyikapi ini semua. Tiba-tiba saja handphone ku bergetar menandakan ada notifikasi, aku lihat Fasyi mengirimkan pesan sudah lama aku tak berkirim pesan dan tidak bertemu dengannya karna akhir-akhir ini aku sangat sibuk, saat aku ingin membalas pesan Fasyi ia tiba-tiba menelefon

"Hallo, assalamu'alaikum Taraa. Lo tau gaa?."

"Ya gatau orang kamu belum cerita, ada apa? kamu dateng-dateng udah heboh aja bukannya nanyain kabar."

"Hehe iyaiyaa maaf, apa kabar Taraku sayang? Gue sih Alhamdulillah baik yaa, tapi ada sesuatu yang mau gue ceritain."

"Alhamdulillah aku juga baik, kamu mau cerita apa? kok kaya heboh banget."

Gilaa ya, lo tau ga temen cwo sd gue yang pernah gue ceritain ke lo." Tanyanya

"Iya, aku tau. Kenapa? yang malik malik itukan?

"Iyaa ra betul, masa 1 minggu yang lalu tiba-tiba dia dateng bareng orang tua nya dan ngelamar guee. Apa ga gila gue."

"Hah kok bisa? kenapa?.  Tanyaku

"Ya gue gatau, orang dia ga ada ngomong sama gue, tiba-tiba langsung dateng gitu aja."

"Truss-trus gimana? kamu terima?."

"Ngga ra, gua ga cinta sama dia."

"Syii, cinta itu bakal tumbuh setelah menikah."

"Gue gabisa syii, gue masih mikirin abang lo..."

"Astaghfirullah Fasyi, istighfar!."

"Maaf, Ra. Tapi kayanya gue bukan cuma sekedar kagum, tapi gue udah cinta, Ra." Katanya.

"Kamu nolak lamaran itu karna abang?." Tanyaku

"Iyaaa...gimana kalo bang Azfer nikah yaa? apa sanggup gue dateng ke acara pernikahannya?."

Aku belum bisa memberitahu tentang batalnya pernikahan abang, termasuk ke Fasyi. Setelah kami mengobrol lama, aku memutuskan untuk masuk dan shalat dhuha. Setelah itu aku keluar dan melihat abang berbicara lewat telfon yang di loud speaker karna abang sedang membuat jus."

"Al, buat persiapan pernikahan yang udah gue siapin, itu buat pernikahan Aina aja yaa Al. Sebagai kado pernikahan gue."

"Loh gimana si Fer, ga ada ngapain lo masih baik sama Aina, dia aja udah ga peduli sama lo." Terdengar familiar, suara itu yang sudah berbulan-bulan tidak aku dengar. Yaa, itu adalah suara kak Al.

GestaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang