Lie: 19' Belenggu Trauma

69 29 6
                                    

Perdebatan sengit itu dilerai oleh sang ketua kelas. Untuk sementara, mereka akan waspada dengan gerak-gerik Felix. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari mereka bertujuh ada yang menaruh kecurigaan pada Heaven. Laki-laki berdarah Bandung itu tampak sedikit putus asa sebab kembali diselimuti oleh rasa takut.

Heaven yang awalnya ingin pulang bersama teman-temannya mendadak mengurungkan niat. Apalagi ketika mendapat tatapan dingin dari Shan, hal itu membuat nyalinya sedikit menciut. Jika ada yang mengklaim dirinya sebagai seorang penakut, maka itu benar.

"Evan!"

Langkahnya berhenti, dia menoleh ke samping ketika merasakan bahunya ditepuk oleh seseorang. Heaven melihat Sean dan Friday yang masih mengenakan seragam, sama seperti dirinya. "Bukannya kalian naik bus umum?"

"Enggak—"

"Tadinya gitu, udah di halte juga." Friday memotong ucapan Sean. "Tapi dia tiba-tiba datang dan ngajak gue jalan kaki. Gara-gara niatnya buat nyusul lo," jawabnya dengan tatapan datar yang menyertai.

Mendengar jawaban serta nada bicara Friday, Heaven dapat menyimpulkan bahwa si surai cokelat mungkin saja menaruh curiga padanya. "Oh, gitu? Shan nggak ikut?"

"Dia lagi ngurus burung hantunya," ungkap Sean. "Mau nongkrong dulu nggak? Kafe Pinus Apel mungkin?"

Heaven menggeleng pelan. "Jangan kafe, mending warungnya Bu Sri aja," usulnya. Kebetulan uang saku Heaven sudah menipis. Dibandingkan ke kafe yang hanya bisa memesan segelas kopi, nongkrong di warung terdengar jauh lebih ekonomis. Selain kopi, dia juga bisa mendapat semangkuk mie instan di sana.

"Nggak sekalian ke Pak Wawan aja? Di warung Bu Sri nggak ada ayam geprek," usul Sean.

"Emang Pak Wawan jualan ayam geprek?" Heaven mengernyit bingung.

"Enggak."

Friday tersenyum paksa sebelum menampar lengan si ketua kelas. "Ini akibat lo kelamaan menghirup napasnya Mahes."

***

Keputusan untuk nongkrong jatuh kepada mie ayam Pak Wawan. Selama di perjalanan, Heaven terus menghafalkan format dialog yang harus dia katakan ketika memesan makanan berkuah tersebut. "Pak Wawan, mie ayam tiga porsi, ya," lafalnya dengan lirih.

Akhirnya mereka sampai di warung Pak Wawan. Dapat dilihat suasana tempat itu terbilang tidak terlalu ramai, setidaknya untuk saat ini. "Mie ayam, Pak Wawan tiga porsi— eh!" Heaven spontan membekap mulutnya sendiri. Sedangkan Sean dan Friday tampak mendelik ke arahnya.

"Eh, kocak!" Lagi-lagi Friday adalah orang yang bertugas menampar lengan temannya. "Minta maaf nggak?!"

"Maaf, Pak, hehe."

Sean menggeser Heaven dengan paksa, membiarkan anak itu dibawa Friday ke tempat duduk. Akan lebih baik jika dirinya saja yang memesan, mengandalkan Heaven hanya akan membuatnya malu.

Usai menuturkan pesanannya, Sean pun segera bergabung dengan Friday dan Heaven. Tidak ada obrolan sebelum si kelahiran Bandung bertanya guna memecah keheningan. "Kalian percaya sama gue, kan?" Nada bicaranya terdengar ragu-ragu.

Sean menaruh ponselnya, mengalihkan perhatian ke Heaven dan mengangguk. "Kami percaya, kok," jawabnya. "Ray itu sahabat lo, kan?"

"Kami?" Friday menaikkan sebelah alisnya sebelum menatap Sean dan Heaven bergantian. Dia tidak bisa menangkap arti dari tatapan yang dilayangkan sang ketua kelas kepadanya, maka dari itu Friday memilih untuk menghela napas. "Iya. Percaya, kok," ucapnya kemudian.

The Dead Friendship || 00L ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang