(xi)

25 5 6
                                    

Senin, 13 Mei 2024

Pagi tadi aku menggeledah ranselku, mencari buku soal latihan OSN yang tebalnya bisa dipakai untuk bantal. Namun setelah beberapa lama pencarian aku tidak menemukannya. Sepertinya buku itu tidak terbawa, mungkin kutinggal di rumah. 

Aku bingung kenapa aku tidak menyadarinya ketika berangkat ke sekolah tadi padahal jelas beban seberat itu hilang dari bahuku. Mungkin semalam aku kurang tidur jadi ketika berangkat aku ada dalam mode otomatis, yang penting tidak terlambat masuk … tapi rasa-rasanya aku tidak pernah mengeluarkan buku itu dari dalam tas karena aku harus terus berlatih mengerjakan soal supaya aku selalu selangkah lebih dekat untuk bisa lolos ke tingkat nasional. 

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Aku belum pernah memeriksa buku soal yang ada di sana karena aku percaya bahwa buku yang kupunya adalah yang terlengkap dan terbaru tapi kalaupun di sini yang tersedia hanya kumpulan soal lama sepertinya tidak apa-apa juga. Siapa yang tahu kalau di eliminasi besok akan ada soal lama yang dikeluarkan?

Ternyata buku itu memang ada. Aku langsung menariknya dari rak dan duduk di kursi terdekat. Jariku menyusuri judul di halaman awal dan memilih apa yang ingin kukerjakan yaitu materi tentang saraf. Aku memang selalu kesulitan dalam materi ini karena bagiku cakupan maternya banyak dari yang paling kecil tak terlihat bahkan sampai pada manusia dan tindakan-tindakannya. Manusia ternyata memang serumit itu dan itu juga baru dari biologi.

Mungkin baru sekitar lima belas menit, entahlah, aku tadi baru mengerjakan sepuluh soal, sebelum konsentrasiku buyar karena ada seorang perempuan yang menghampiriku. Siapa ini? Apakah dia satu kelas denganku?

Pak Toni, sekarang sudah jamnya bapak. Saya ijin mengundang bapak ke kelas.
Jam saya? Sekarang kan jam pertama? Bukannya nanti saya ke kelas kamu di jam terakhir?
Untuk perwalian, Pak. Nanti yang jam terakhir baru untuk pelajaran bapak.

Ketika ia berbicara padaku rasanya kepalaku pening. Ketika mendengar apa yang ia ucapkan rasanya seperti ada benang kasat mata dalam kepalaku yang ditarik lurus, menyisakan bagian simpulnya yang kecil namun sulit dilepas dan terasa menyakitkan. Saat aku hendak berdiri, aku sempat sempoyongan, mendapatkan “hati-hati, Pak” dari gadis itu. Mungkin ini karena kurang tidur, mungkin karena belum sarapan, mungkin aku terlalu terserap pada pengerjaan soalku, sepertinya hanya Tuhan yang tahu.

Betul, aku adalah seorang wali kelas untuk fase E, tingkat sepuluh. Betul, di sini aku dipanggil dengan nama Toni. Aku masih belum terbiasa dengan semua orang memanggilku dengan nama itu. Kenapa ya dulu aku memutuskan untuk dipanggil dengan nama itu…? Oh, nama depanku: Antonius. Orang bilang panggilan nama depan memang terkesan lebih profesional, apalagi di dunia dewasa dimana satu-satunya rutinitas yang kita miliki sekarang adalah bekerja. Mereka bilang akan sulit bagi orang-orang memanggil dengan nama panggilan asli, apalagi untuk situasiku yang menggunakan nama belakang, kadang nama spesial juga dari ibu. Aku tahu. Aku ingat. Namun, terkadang aku harus terus mengingatkan diriku sendiri bahwa disini aku adalah gurunya, guru mereka, wali kelas dari anak-anak ini.

Karena berada di sekolah, aku jadi selalu teringat bagaimana dulu aku bersekolah dan jelas itu adalah masa paling menyenangkan. Masa-masa di sekolah ada masa yang selalu kuingat bahkan sampai sekarang. Rasanya aku tidak siap untuk tidak jadi siswa lagi.

Aku mengingatkan pada kelasku bahwa minggu ini adalah minggu terakhir belajar efektif sebelum ujian kenaikan kelas di minggu depan. Setelahnya kami melanjutkan membaca satu bab pendek dari buku yang sedang dibaca kelas ini … yang aku bahkan tidak ingat sudah sampai mana. 

Terakhir bukannya si Pangeran Kecil baru saja menceritakan bagaimana ia menyukai matahari terbenam di planet kecilnya? Bab 6 ‘kan?"
Terakhirnya bapak sebulan lalu, kali. Terakhir kita sudah berpisah dengan si bunga mawar dan bertemu pria sombong di planet lain. Itu bab 11. Sekarang seharusnya kita masuk ke bab 12.

Aku sempat bingung. Aku sebenarnya sudah hapal dengan buku yang kubaca bersama anak-anak itu. Aku ingat ceritanya masih di awal dan seharusnya progresi ceritanya tidak sampai sejauh ini. Rasanya sudah lama aku tidak membaca buku ini bersama anak-anak. Itu sebabnya aku merasa banyak cerita yang terlewat, padahal sepertinya aku juga melakukan hal ini minggu lalu. Rutinitasku seharusnya sama. Sepertinya selain menuliskan hariku di sini seperti biasanya dan daftar pekerjaan yang harus aku lakukan dalam harian atau mingguan, aku juga harus mencatat sampai mana buku literasi perwalianku sudah dibaca, supaya hal seperti ini tidak terjadi lagi.

SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang