2. Tak Berstatus

55 10 0
                                    

Solar saat ini terduduk di lorong dekat sekolah. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30, tetapi ia hingga kini belum bisa memasuki sekolah.

Para berandalan itu berulah lagi. 

"Ini sudah terlambat.. Kumohon lepaskan aku. Aku harus ujian ul--" Bukannya membebaskan Solar, salah seorang siswa justru menuangkan minyak ke atas kepalanya. 

"Apa? Apa gimana? Gak kedengaran tau, suara lo kecil amat," balasnya tertawa puas. 

Jika sudah begini, Solar tak akan bisa kembali ke sekolah. Ia terpaksa harus pulang untuk mengganti seragamnya. 

"Menyerah?"

"Apa salahku pada kalian?" tanya Solar bergetar. Terlihat air mata bercucuran dari kelopak matanya ditemani oleh minyak kotor yang jatuh bebas dari kepala.

Entah sudah tahun keberapa semenjak Solar mengalami kekerasan di dunia persekolahannya. Ia merasa sangat beruntung area tempat tinggalnya tidak buruk, meskipun di sisi lain, tempat kerjanya memperlakukan ia dengan cara yang sama.

Andai segalanya pahit, ia mungkin sudah tak bisa melanjutkan hidup. Meski begitu, air matanya tak bisa berhenti begitu saja.

Setegar apapun Solar, air matanya akan terus jatuh setiap kali mengalami kejadian seperti ini secara berulang.

Bukannya mendapat jawaban, Solar dibuat jatuh ke lantai dan ditendang habis-habisan oleh mereka.

Benar.

Lingkungan sehari-hari Solar lah yang salah. Waktu sekolah hingga 4 sore baginya bagai ikatan rantai. Terlalu sedikit waktu untuk merasakan hal baik di area kosannya.

Mereka membiarkan Solar tanpa rasa bersalah. Kini, Solar sudah kembali ke rumah dengan seragam yang baru.

Ia memang tidak akan bertemu mereka secara langsung lagi, tetapi Solar harus menghadapi satpam penjaga gerbang yang mulai memarahinya karena telah terlambat masuk sekolah.

"Ini sudah jam berapa! Siapa namamu? Pulang saja, Nak. Ini sudah sangat terlambat."

"P-pak, aku harus ujian sekarang. Jika tidak, aku bisa tidak naik kelas, Pak." Solar menunduk sesopan mungkin dan kembali berkata, "Tolong dibantu, Pak."

Satpam itupun merasa kasihan dan memberikan ia akses masuk. Solar sekali lagi merasa beruntung dipertemukan oleh 1 dari 1000 orang baik di dunia.

"Terima kasih, Pak!" 

Solar berlari memasuki ruangan 11X  dan menemukan guru yang tengah duduk di dalam ruangan. 

Bukan. Itu bukan guru biasa. Dia lah pemimpin dari para guru, tidak lain adalah kepala sekolahnya.

Berkas tebal diberikan khusus untuknya. 

Memang Solar tidak pernah bisa berharap mendapatkan hal baik. Ia sekarang menemukan fakta menyakitkan bahwa tidak ada orang yang menginginkan ia kembali melanjutkan hari.

Solar bahkan tak bisa lagi menyalahkan siapapun, selain dirinya karena tidak bisa memberikan pembelaan.

"Baca ini."

Berkas berisi komplain hampir satu kelas hingga informasi perundungan yang justru berbalik padanya seketika membuat Solar merasakan sakit seperti tusukan racun menjalar di hati.

Entah siapa yang memanipulasi video dan gambar menggunakan AI sehingga terlihat Solar lah yang bertindak buruk kepada teman-temannya.

Solar diam, tak kuasa membuka mulut. 

Ia belum menyelesaikan SMA. Ia bahkan belum merasakan tahap akhir dari SMA, tetapi sepertinya ia tak akan bisa melanjutkan mimpinya.

Nama yang sudah tersebar ke berbagai penjuru semua ulah perundung di kelasnya. 

Solar tidak mengerti alasan dibalik tindakan mereka. 

Keirian yang berlimpah ruah merugikan Solar hingga ia tak akan mungkin bisa mengenal dunia lebih jauh.

Surat pemberhentian diberikan padanya. Awalnya mereka ingin memanggil orang tua Solar, tetapi dia saja tidak punya. 

Tidak akan ada juga siapapun yang membela Solar.

Selama ini, perundungan selalu dilakukan diam-diam. Hal terburuk, tidak ada cctv yang akan memberikan saksi mata.

Pada akhirnya, Solar meninggalkan sekolah itu dengan luka. Ia sudah sangat muak. Ia tak sanggup membuka mulutnya untuk memberikan bermacam pembelaan setelah tidak ada satupun yang berani berdiri di sebelah Solar untuk mengungkap kenyataan.

Solar berdiri di gerbang depan membawa barang miliknya dengan tertatih-tatih. 

Ia berusaha keras menahan air mata yang hampir jatuh bebas. Tidak ingin ia membiarkan satpam yang telah memberinya akses masuk kehilangan harapan atas dirinya.

"Aku akan menyelesaikan masa SMA ku dengan baik. Tunggu aku sukses ya, Pak!"

Solar membuang napasnya keluh. "Jadi, aku sudah bukan anak SMA lagi?" tanya Solar pada dirinya sendiri. Ia menoleh pada gedung sekolah yang pernah menjadi impiannya. 

Sekolah yang ia incar sejak lama ini sudah tak lagi bersinar seperti sedia kala. Ia tidak bisa lagi memikirkan impian yang ia harapkan sejak lama. 

Tanpa berani menyapa satpam itu, Solar berlari menjauh dari area sekolah menuju ke rumahnya. "Maaf."

Selama perjalanan ke rumah, tidak berhenti Solar menggerutu kecil terutama setelah membuka ponselnya untuk melihat isi kontak tertera. "Sial!" Mengetahui orang-orang yang telah merusak masa depannya masih memiliki nomor ponselnya maupun lokasi tempat ia tinggal sekarang membuat Solar emosi.

Dibalik rasa emosi itu, ada rasa takut yang mengikat lehernya pilu.

Walaupun ia berada di lingkungan yang aman dan dikelilingi oleh orang baik, Solar menjadi lebih takut jika suatu saat nanti mereka ada datang dan menghancurkan sisa harapannya.

Sekolah mana yang tidak akan mengenal nama Solar setelah ini? 

Lambat laun, ia pun akan kesulitan melanjutkan hidupnya jika rumor buruk terus terangkat ke permukaan dan sampai ke telinga tiap-tiap mereka.

Solar mengatur napasnya, lalu berjalan memasuki restoran di sebelah kosan. Langkahnya santai, setidaknya itulah yang terlihat dari luar.  

Air mata awalnya bertengger di pipi kini sudah terhapus bersih.

"Seperti biasa," ucap Solar sebelum mengambil tempat duduk pilihannya.

Awalnya begitu, tetapi belum juga ia melewati hari dengan lebih baik, ponselnya mulai berdering keras tidak lain tidak bukan dari para perundung.

Deringan itu tidak cukup sekali. Ponselnya terus bergetar tidak karuan. Ketika ia mematikan notifikasi pun, ponselnya terus menerima panggilan.

Solar tidak bisa memainkan ponselnya dengan tenang.

Tidak bisa ia menutupi wajahnya yang menggambarkan kekesalan. Kasir restoran itu sampai menyadarinya, jelas karena ialah satu-satunya orang yang berada di sekitar sini, tepatnya saat ini.

"Siapa namamu?" Tiba-tiba pertanyaan itu diberikan padanya. Sebelum menjawab, Solar menoleh pada kasir itu.

Dia berbeda dari biasanya. Pemuda itu bukanlah orang yang biasa menjaga restoran selama ia nongkrong setiap hari di pukul 4 sore. "Kau yang siapa? Aneh banget tiba-tiba ikut campur."

Pemuda itu lantas terbelalak mendengar nada ketus dari Solar. 

Ia tidak tersinggung. 

Ini bukan kali pertama pemuda itu mendengar gaya bicara pelanggan seperti ini, terlebih, dia sepertinya bukan pelanggan baru lagi.

Pemuda itu lantas tertawa melihat raut wajah Solar yang masih saja kesal memandanginya. "Oh, entah bagaimana hari yang kau lewati selama ini," ucap pemuda itu menutup mulutnya untuk meredam tawa.

Solar tidak senang. Ia merasa pemuda itu mempermainkannya.

"Kalau kau masih ingin tertawa, aku pergi! Tidak menghargai pengunjung se--"

"Eh, maaf! Aku gak bermaksud." Pemuda itu menggaruk lehernya canggung, lalu mendekati Solar untuk mengajaknya berjabat tangan. "Kenalkan, aku Gempa. Pekerja pagi di resto ini," ucap Gempa tersenyum lembut.

"Hah..?"

Drop OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang