Pagi menjelang dan Melanie masih bergelung di balik selimut hotel, bersembunyi dari sang mentari. Sementara alarm ponselnya sudah berdering untuk yang ke-4 kali. Waktu menunjukkan pukul 8.46 namun ia masih betah di alam mimpi, atau dia memang sedang tidak bermimpi?
"Mel, ku hitung sampai lima kalau tidak bangun, maka jadwal ke Galleria Vittorio aku batalkan."
Bak bocah umur delapan tahun, Melanie segera bergegas ke kamar mandi dan memilih pakaiannya untuk berkunjung ke destinasi yang sudah ia rencanakan saat perjalanan ke Milan. Sekali seumur hidup ia datang ke Milan dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk berbelanja di pusat perbelanjaan tertua dan terbesar, Galleria Vittorio Emanuele.
"Aku siap!!" seru Melanie sambil menarik resleting boots kulitnya.
"Apa kau benar tidak apa? Mata sembab mu tidak bisa bohong."
Semalam, Odille yang ditinggalkan begitu saja di cafetaria terkejut saat mendapati kondisinya yang kacau. Menemukan sang aktris tengah meringkuk dibalik selimut, tidak bergerak hingga pagi menjelang. Odille tahu apa yang harus dilakukan. Melanie tidak mau diganggu tiap kali sang aktris usai bertengkar dengan Sergio. Berpura-pura untuk tidak menyaksikan kepedihan orang lain dan bersikap seakan tidak ada yang terjadi sudah ia lakukan sejak ia menjadi manajer Melanie. Tentu hal itu membuat sang manajer merasa buruk sebagai orang terdekat Melanie.
"Tenang, aku tidak lupa jasa malaikat kecilku, kacamata hitam." ujar Melanie seraya mengeluarkan kacamata hitamnya dari tas mini yang ia bawa. "Maaf, ya. Aku kabur semalam." lanjutnya.
Wanita dengan sepuluh sentimeter lebih pendek dari sang aktris itu menyilangkan kedua lengannya, tidak terima. "jika kau begitu lagi, aku tidak segan membuat laporan ke polisi." tukas Odille.
Melanie tidak menanggapi serius celotehan manajernya. Ia tetap melangkah seperti dikejar waktu. Ia sudah tidak sabar ingin melihat jajaran tas dan sepatu mewah yang ada di sana. Dalam hatinya, ia ingin melupakan kejadian semalam dengan cuci mata dan menghirup udara Milan sebanyak yang ia bisa. Hidup terus berjalan, oleh karenanya ia tidak ingin menyia-nyiakan kedatangannya ke Milan hanya untuk meratapi nasib buruknya.
"Stop. Aku masih belum selesai bicara." lanjut sang manajer. Tentu membuat Melanie menghentikan langkahnya yang sedikit lagi menggapai pintu hotel.
"Kau masih berhutang maaf padaku, ya. Aku tidak akan memaafkan mu sampai kau cerita siapa laki-laki yang kau temui di bandara itu."
Sontak, tingkah Odille yang merajuk membuat Melanie terbahak karena itu sama sekali tidak cocok dengan fitur wajahnya yang garang. "sudahlah, ke Milan hanya sekali. Kapan lagi kita bisa belanja dengan uang agensi disini." guraunya sembari memainkan alisnya, naik turun bergantian.
Perjalanan ke Galleria Vittorio Emanuele cukup lancar meski harus melewati beberapa pertanyaan dari wartawan saat keluar dari hotel. Undangan makan malam dari Gilda Lorenza pun menjadi topik pertanyaan hari ini. Kemarin, Gilda yang diwawancarai secara tidak sengaja mengatakan soal acara makan malam untuk beberapa orang yang dia undang. Sebagai bentuk terima kasih kepada rekan-rekannya dan nama Melanie menjadi salah satu yang ada dalam daftar undangannya.
🎬🎬🎬
"Kau belum cerita soal luka wajahmu, ya Tuan Pioretti."
Celetukan dari Nigel membuat dia mengingat perbuatan cerobohnya semalam. Dengan tatapan kosong dan penuh sesal, ia melewati Nigel begitu saja untuk mengambil teko berisi air panas. Kemudian ia menuangkan air panas tersebut untuk menyeduh kopi paginya sementara Nigel kembali berceloteh dengan gosip yang baru ia dapatkan pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trading the Spotlight (END)
ChickLitDari sekian banyak potensi, aku rasa potensi terbesarku adalah hidup dalam bayang-bayang hutang atas kemewahan hidup kekuargaku. Hidup bagai layang-layang terbawa angin tanpa tuju, masih beruntung kait benang tidak putus. Atau barangkali, sebentar l...