"Kenapa hidupku selalu dirundung duka? Apakah karena aku anak durhaka?"
Artala membatin pilu di sepanjang perjalanan menuju kafe milik temannya Rio. Dia memandang kosong pada jalanan di depannya. Selain karena tidak ingin mengobrol dengan Rio, dia juga takut melihat tatapan lelaki di sebelahnya yang seperti seekor Jaguar yang kelaparan.
"Kamu kok diem aja? Marah ya sama aku?"
Artala bergeming. Lelaki di sampingnya ini sungguh tidak sadar diri dan itu mengingatkan Artala pada kakak tirinya. Kedua lelaki ini mempunyai kesamaan, sama-sama seperti iblis.
"Kalau orang nanya itu dijawab! Jangan diem aja!" Nada bicara Rio berubah ketus dan mengintimidasi membuat Artala semakin ketakutan.
"Nggak Mas, aku lagi sariawan." Setelah sekian lama membisu, Artala pun buka suara. Menjawab pertanyaan Rio dengan asal.
Rio mendadak menepikan mobilnya. "Buka mulut kamu! Biar aku lihat!" Titahnya sambil beringsut mendekat ke Artala.
"Nggak usah Mas!" Artala seketika menggeleng. Dia menangkap gelagat yang tidak beres dari wajah Rio.
"Jangan gitu dong, Ta. Nurut sama aku! Ayo buka mulut kamu. Aku cuma ingin tahu, sariawannya di bagian mana?" Rio tetap memaksa.
"Sial!" Artala merutuk dalam hatinya. Ia menjadi terjebak dengan kebohongannya sendiri.
"Cepet Ta!" Suara intimidasi dari Rio mengudara.
Artala terpaksa membuka mulutnya sedikit dan Rio menyeringai penuh kemenangan. Lalu tanpa di duga laki-laki itu meraup rakus bibir ranum di hadapannya. Menyesap bibir bagian bawahnya dan menelusupkan lidahnya. Artala membatu, pelec3 h4n yang kerap kali diterimanya membuat dia tidak bisa menggerakan tubuhnya.
"Bibir kamu terlalu indah untuk tidak dinikmati." Desis Rio setelah menyudahi aksinya. Dia mengusap bibir basah Artala dengan jempol tangannya. "Bibir ini milikku dan hanya aku yang boleh meny3s4pnya." Pungkasnya penuh penekanan.
Lelaki berlesung pipi itu kembali menjalankan mobilnya, mengabaikan gadis di sampingnya yang berurai air mata dengan tatapan kosong.
Empat puluh menit kemudian, mobil yang dikendarai Rio sampai di tempat yang dituju. Dia menyuruh Artala turun.
"Ayo masuk! Temenku udah nunggu di ruangannya." Rio menggandeng tangan Artala, memasuki kafe dua lantai bernuansa Jepang di depannya. Rio mengajak Artala naik ke lantai dua, masuk ke salah satu ruangan yang ada di sana. Rio mengetuk pintu. "MASUK!" Seru suara bariton dari dalam ruangan.
Ceklek
Pintu terbuka dan tampaklah lelaki muda seusia Rio menyambut kedatangan keduanya dengan ramah.
"Yo, akhirnya lo datang juga. Gue udah nunggu lo dari tadi, Bro!" Seru lelaki berkemeja biru muda dan celana jeans biru tua itu. Dia berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiri Rio dan Artala.
"Sorry, Ben, tadi di jalan ada sedikit kendala." Dusta Rio sambil melirik Artala sekilas. "Oh ya, Ben, ini Artala yang waktu itu gue ceritain. Dia lagi butuh pekerjaan. Di sini masih ada lowongan 'kan?"
Ben beralih menatap Artala. Menilik penampilannya. "Cantik!" Batinnya. Dia mengulurkan tangan dan Artala menyambutnya ragu-ragu. Mereka berkenalan. Lalu setelah itu, Ben kembali ke topik awal, menjawab pertanyaan Rio. "Masih, Bro. Malah hari ini juga Artala bisa langsung kerja."
Mendengar hal itu, Artala senang bukan main. Dia sampai hampir menitikkan air mata. "Terima kasih, Pak." Kata gadis itu sambil membungkukkan badan.
Ben memanggil manager kafe, lalu meminta si manager untuk memberitahu Artala tentang tugasnya di kafe ini. Karena masih hari pertama, jadi gadis berkerudung itu disuruh mencuci piring dan perabotan kotor dulu. Barulah besok, dia akan diajari menjadi seorang waitress.
Ketika Artala sedang sibuk dengan tugas barunya. Rio dan Ben masih asyik berbincang di ruangan tadi. Keduanya berbincang tentang hal random. Sampai pada Ben menanyakan kepada Rio tentang asal-usul Artala.
"Yo, lo ketemu di mana sih sama si Artala itu? Gila, tuh cewek cantik banget! Apalagi bibirnya ... anj!r! Menggoda banget!" Ben bicara heboh sendiri menjilati bibir bawahnya.
Pletak
Rio memukulkan pulpen yang ada di atas meja ke punggung tangan Ben, membuat lelaki berpotongan rambut undercut itu tersentak mengaduh kesakitan. "4ny1n9! Apa-apaan sih lo?!" Semburnya tak terima.
Rio terkekeh pelan. "Artala milik gue! Jadi, jangan coba macam-macam sama dia, kalau lo berani nyentuh dia sedikit aja ... Lo tahu sendiri 'kan apa yang akan terjadi selanjutnya? Habis lo di tangan bokap gue!" Kekehan tadi berubah menjadi seringai mengerikan membuat Ben membeku di tempatnya lalu selanjutnya menepuk bahu Rio dengan pelan.
"Oh sorry, Yo. Gue nggak maksud apa-apa kok! Lupain omongan gue yang tadi!" Ben bicara dengan wajah meringis merasakan gugup sekaligus takut mendapat tatapan intimidasi menusuk sekaligus ancaman dari Rio.
"Hmm," Rio berdehem pelan. "Gue titip Artala! Gue pulang dulu!" Ben mengangguk, mengantar kepergian Rio sampai ke ambang pintu.
"4ny1n9 tuh anak! Mentang-mentang bapaknya polisi, songong amat!" Ben berdecih. Meremat jemarinya sendiri. Lalu selanjutnya, lelaki pemilik kafe itu menutup pintu dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Menonton film b!ru.
Sebelum benar-benar pergi meninggalkan kafe, Rio menemui Artala di dapur kafe. Dia berpesan kepada gadis yang sudah diklaim sebagai miliknya itu. "Ta, aku pulang dulu! Kerja yang tekun dan jaga mata kamu jangan jelalatan ke cowok lain! Nanti, jam sebelas malam aku bakal jemput kamu. Jangan pulang sendirian, bahaya!" Pesannya dan Artala menganggukkan kepala. "Good girl!" Rio mengusap puncak kepala Artala yang terbungkus hijab lalu dia pun undur diri.
"Kamu adalah bahaya yang sesungguhnya, Rio 4nj!n9!"
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Demi Bunda
RomanceSetelah kematian Ayahnya, Artala Ansika Pradinata hidup berdua dengan Bundanya, Candani Rengganis. Kepergian Ayahnya menyisakan kesedihan dan luka yang mendalam bagi dirinya dan juga Bundanya. Karena ternyata Miko, Ayah Artala meninggalkan hutang ya...