Drake cukup terkejut mendengar penjelasan Caca tentang kondisi gadis itu yang tidak baik-baik saja. Tidak menyangka Valerie akan senekat itu hanya karena tidak menyukai hubungan keduanya.
"Aku gatau Kak kenapa Kak Valerie jahat banget ke aku. Bahkan dia sampai bilang ke guru buat cabut beasiswa aku."
Drake memeluk Caca berusaha menenangkan gadis yang masih terus menangis itu. Saat Drake mengantarkan pulang, penampilan Caca sangat buruk. Rambut dia bahkan terpotong tidak rapi. Seperti sengaja digunting.
"Uda tenang. Biar gue yang ngomong ke dia besok."
Dalam pelukan Drake, Caca tersenyum miring. Gadis itu merasa sakit dan senang dalam satu waktu. Dia tidak sendiri sekarang karena ada Kak Drake yang akan membelanya selama cowok itu masih melupakan Kak Valerie.
Paginya, Drake menghampiri Valerie dan sahabat-sahabatnya yang tengah berada di kantin seraya tertawa-tawa. Entah apa yang mereka bahas, namun Drake tidak habis pikir pasalnya setelah apa yang mereka bertiga perbuat pada Caca.
"Gue gak ngerti sama isi pikiran lo. Awalnya gue kira Caca cuman ngarang cerita, ternyata benar, lo cewek gak bener yang sukanya ngebully, kasar. Bahkan lo dengan tega ngehancurin masa depan anak yatim piatu."
Kalimat panjang yang barusan terucap berhasil menghentikan tawa Valerie, Amelda, dan Alea yang terdengar di penjuru kantin. Ketiganya tengah menikmati makanan seraya menertawakan Caca akibat perbuatan kemarin.
Penampilan Caca sangat buruk. Valeria dan sahabatnya menyiksa dia tanpa hati, bahkan mengguting asal rambut panjang Caca hingga membuat dia menangis dan mengadu pada Drake.
Terlebih persoalan beasiswa, bagi Drake itu udah sangat keterlaluan.
Drake menegur, tatapan tajamnya tertuju pada Valerie. Tatapan yang biasanya menatap Valerie dengan teduh dan penuh cinta itu hilang. Valerie tidak mengenal cowok di depannya ini, Drake benar-benar sangat berubah.
"Lo kalo gatau apa-apa mending diem." Valerie menahan Alea agar tidak ikut campur, jika menyangkut Drake berarti hanya menjadi urusannya.
"Gue gatau apa? Sahabat lo itu udah ngelakuin bullying di sekolah ini. Gue tau lo anak donatur sekolah, lo punya kuasa yang tinggi. Tapi cara lo sampah," tegur Drake.
Caca di belakangnya hanya bisa menangis. Penampilan gadis itu buruk, matanya bengkak dengan beberapa lebam di lengannya. Mau melapor ke guru pun percuma, Valerie tidak akan pernah dikeluarkan karena gadis itu punya kuasa besar.
"Udah?" Valerie menatapnya. Tangannya terkepal kuat menahan nyeri di hati yang mulai menjalar. "Lo belain Caca yang bukan siapa-siapa lo?"
"Jelas gue belain dia. Caca gak tau apa-apa, dia gak salah apa-apa sama lo. tapi lo dan teman-teman lo malah ngebully dia."
"Lo kurang didikan dari orang tua lo?"
PLAK!
Tamparan keras berhasil melayang ke pipi kanan Drake meninggalkan bekas merah di sana. Valerie diam saat dirinya dihina, dibilang cewek nakal yang suka membuat masalah. Tapi tidak dengan mereka yang berani membawa nama orang tuanya.
"Dari kemarin gue diem ya Drake! KARENA GUE PIKIR LO KAYAK GINI KARNA LO LUPA KE GUE! LO AMNESIA!"
"Tapi kali ini gak lagi! Lo brengsek dan gue benci sama lo!"
Drake memegang pipinya yang memanas, dia melihat air mata itu turun di wajah Valerie yang sialnya berhasil menyakiti hatinya tanpa dia tau mengapa.
"Kalo emang dari awal cinta lo ke gue cuman main-main." Valerie menjeda ucapannya. "Gue pastiin lo gaakan pernah dapetin cinta gue lagi."
Valerie menunduk, sial, mengapa air mata ini harus turun. "Val..." Valerie menyentak tangan Alea dan Amelda yang berusaha menenangkan.
"Gue pastiin lo bakalan hidup dalam penyesalan saat lo udah inget semuanya."
Setelah berucap seperti itu, Valerie menabrak dengan kasar bahu Drake dan mendorong Caca hingga dahinya membentur meja kantin. Gadis itu pergi dari kantin dengan hati yang terluka. Ucapan Drake kali ini berhasil melukai perasaannya.
Pengunjung kantin hanya menyaksikan apa yang barusan terjadi. Mereka juga kaget melihat Drake mati-matian membela Caca padahal yang berstatus pacar di sini adalah Valerie.
"Gue gatau kalau lo sebrengsek ini Drake. Entah apa yang lo pikirin sampai lo tega nyakitin Valerie." Amelda menggeleng tidak percaya.
"Jangan pernah lo dekatin sahabat gue lagi," peringat Alea. Keduanya mengejar Valerie yang sudah menjauh dari kantin.
Drake terdiam di tempat, entah mengapa hatinya ikut sesak saat melihat Valerie menangia akibat ucapannya yang tidak bisa dia kontrol.
Drake bingung, apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Dan mengapa hatinya merasa dia sedekat itu dengan Valerie.
Valerie memilih pulang ke rumah, gadis itu menangis dalam diam di kamarnya. Sakit yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan kini dia rasakan. Ucapan pedas dari bibir Drake berhasil menyakiti hatinya.
Dia tau, dari awal tidak ada yang namanya cinta. Hanya orang tuanya yang benar-benar mencintai dirinya dengan tulus.
"Gue benci sama lo Drake, gue benci sama lo," lirihnya dengan air mata berderai.
Tanpa sadar dirinya tertidur cukup lama hingga dering ponselnya membangunkannya.
Papih melakukan panggilan Video, yang mau tak mau harus Valerie angkat.
"Halo Papihhh." Valerie memasang topengnya, seakan dia adalah gadis paling bahagia.
"Halo putri kesayangan Papih. Gimana kabar kamu di sana? Maaf ya sayang, Papih belum bisa pulang."
"Gapapa Pih, Papih cari uang aja yang banyak biar Valerie bisa foya-foya, hehe." Valerie tertawa.
Baskara mendengus kesal, lelaki itu sangat merindukan putrinya tapi apalah daya banyak urusan pekerjaan di sini. "Gimana kabar Drake? Dia udah baikan?"
Hening sejenak. "Baikan Pih, udah pulang dari Rumah sakit kok."
Baskara baru menyadari, ada yang berbeda dengan putrinya. Mata gadis itu sembab seperti baru menangis, terlebih saat dia menyebut nama Drake. Rautnya langsung berubah. "Sayang? Kamu oke?"
"Gak oke! Uang Papih kurang banyak ngirimnya."
Baskara tau, itu hanya pengalihan. Dia yang merawat Valerie sejak kecil, sebagai seorang kepala rumah tangga, dia paling mengerti perubahan yang sedang terjadi di diri Valerie. Ada yang aneh.
Valerie menghela nafas lelah, gadis itu memperhatikan wajahnya di cermin. Lucu, gadis yang sebelumnya tidak pernah menangis karena hidupnya hanya diisi oleh kebahagiaan yang selalu diperjuangan orang tuanya kini begitu mudah dihancurkan oleh seorang cowok.
Valerie mengambil dress mini yang kemarin dia beli. Gadis itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Ya, malam ini dia butuh hiburan. Persetan dengan semuanya.
Selesai memoles wajahnya dengan make up yang cukup tebal. Gadis itu pergi keluar rumah dengan mobilnya menuju salah satu club terkenal di Jakarta. Club yang biasa dia datangi dengan kedua sahabatnya namun kali ini hanya sendiri.
"Gue pesan kamar Rik."
"Siap Val. Tumben lo sendiri, biasanya bertiga sama dua sahabat lo itu."
Riko bekerja di bar yang memang sudah kenal dekat dengan Valerie dan dua sahabatnya. "Lagi pengin sendiri gue."
Riko terkekeh. "Stres banget lo kayaknya." Terlihat dari raut Valerie yang menyimpang banyak pikiran. "Kamar nomer 318 ya Val."
Valerie mengangguk, dia memesan kamar untuk berjaga-jaga sewaktu-waktu kesadarannya hilang. Valerie meminum alkohol beberapa gelas hingga kesadarannya mulai hilang. Berjoget di bawah lampu disko menggeol-geolkan tubuhnya seraya berteriak kesenangan. Rasanya lepas seperti tidak ada beban pikiran.
Kepalanya mulai terasa sangat berat setelah menghabiskan beberapa gelas vodka. Valerie berjalan sempoyongan menuju lantai dua. Beberapa kali gadis itu menabrak orang tidak dikenal saat jalannya sempoyongan.
Kepala Valerie sakit sekali, pandangannya mengabur tidak terlihat jelas. "318," gumamnya memperhatikan nomer kamar yang terlihat tidak jelas di matanya. "Ahh itu." Valerie terkekeh saat kamar yang di pesan terlihat.
Namun dugaannya salah, Valerie masuk ke dalam kamar bernomer 319 yang memang tidak terkunci dari dalam.
Gadis itu mendesah lega saat berhasil merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Namun ada yang mengganjal, ada seseorang di sampingnya.
"Ih, l-lo siapa?" tanya Valerie, gadis itu terus memegangi kepalanya mencoba memperjelas pandangannya.
Cowok di sampingnya sama-sama mabuk dalam keadaan tidak memakai pakaian atas. "Eugh." Valerie mengeliat, mencoba untuk berdiri namun dirinya tumbang ke pelukan cowok itu.
Sama-sama dipengaruhi alkohol, hasratnya meningkat. Cowok itu berani menahan Valerie untuk duduk di pangkuannya. Tatapan keduanya bertemu, namun tidak begitu jelas wajahnya.
Bibir mereka saling tertaut tanpa adanya paksaan. Nafsu Valerie meningkat saat dirinya dipengaruhi alkohol.
Tangan cowok itu menekan tengkuk Valerie untuk memperdalam ciuman mereka. Dia menidurkan Valerie di tempat tidur tanpa adanya berontakan karena Valerie sepasrah itu. Bahkan dia hanya tertawa layaknya anak kecil.
"Geli hahahah."
Resleting Dress Valerie berhasil terbuka. Tangan cowok itu mulai berani menyentuh pungguh mulus Valerie. Melepas dress hitam Valerie hingga tubuhnya hanya dibalut oleh dalaman.
Hasratnya semakin tinggi, tangannya mulai liar menyentuh bagian sensitif Valerie. Gadis itu mengerang, tanpa sadar desahan berhasil lolos dari bibirnya. "Ahh."
Mata Valerie terpejam menikmati hisapan di gunung kembarnya. Desahan-desahan mulai lolos dari bibir keduanya.
"Janji sama gue, ada atau tidaknya gue nanti. Lo harus bisa jaga diri lo sendiri, ya?"
Mata Valerie terpejam, menikmati setiap sentuhan tangan cowok yang tidak dia ketahui wajahnya.
Bibir mereka kembali tertaut lama. Sampai ciuman itu turun ke leher Valerie meninggalkan bekas merah di sana.
Mata cowok itu menggelap, tatapannya turun pada CD Valerie. Perlahan, tangannya mulai nakal, menurunkan CD Valerie saat gadis itu hanya pasrah dengan permainannya.
***
mau ngomong apa di part ini? hehe
YANG KESEL SAMA DRAKE?
RAMAIIN PART INI yaa, kalau aku selesai ngetik, aku usahain update 2 kali lagi hari ini. terima kasihh🫶🏻