Kebenaran

2 0 0
                                    


"Bunuh.. bunuh... bunuh..."

Dalam kereta api yang melaju kencang, terngiang suara ajakan para Kahraman agar Meutia membunuh. Dia pun berubah drastis—dari awalnya ketika bertemu teman barunya Safira menjadi wanita anggun, kini tampak berubah dengan pikiran penuh kebengisan. Meutia tertawa sendiri memikirkan bahwa di semesta ini pun ada sosok lain selain dirinya yang telah beranak pinak. Bagaimana mungkin batinnya menerima itu, sementara ia menderita di ambang kematian selama ini sembari menanggung beban sekaligus rasa sakit rekan-rekannya.

"Bagaimana mungkin aku tadi bersenang-senang dengan cewek itu, seolah apa pun tak terjadi. Sementara aku belum menuntut keadilan bagi rekan-rekanku. Menuntut keadilan negara ini dan juga keadilan bagi umat manusia yang terdampak oleh wabah sialan ini!" batin putri sulung Beureuh itu menggebu-gebu dengan amarah bercampur nestapa. Tangisannya sulit dibendung.

Tunggu...

Ini masih di Tanggamus. Bukannya, daerah ini menjadi titik kordinat terakhir kematian Pandage Wisesa. Namun seluas jangkauan energi kehidupan Meutia ia tidak bisa mendeteksi adanya apa pun di sini. Padahal dari yang ia lihat, langit-langit Tanggamus ini pernah menjadi tempat pertempuran Farrel yang beradu kecepatan dengan Pandage tatkala itu.

Ada waktu satu jam... sebelum kereta yang melintas sepanjang Pulau Percha itu sampai ke Lembah Harau. Tengoklah cakrawala yang memerah oranye lantaran tibanya fajar. Meutia Beureuh sedar tadi tampak tengah menatap sayu pemandangan—pemikirannya mungkin paling berbeda di antara seluruh penumpang kereta. Dari renungannya, ia menyimpulkan satu hal juga. Apa itu? Ya... di alam yang katanya Alternate Universe ini semua telah berubah termasuk bagaimana eksistensinya. Ada kemungkinan sebagian besar insan yang sebelumnya mengenal Meutia kini melupakannya.

Tidak, ada kebimbangan lain pada jiwa Meutia. Dia skeptis akan fenomena tatkala ini, apakah semua orang di dunia ini hanyalah fatamorgana semata? Lantas mana yang asli. Saking pusing kepalanya ia hampir tidak bisa mengontrol hasrat untuk membunuh. Entah kenapa 'birahi' untuk membunuhnya kian meningkat semenjak dirinya siuman. Apakah orang-orang yang berharga baginya sekarang sudah melupakannya begitu saja? Atau mungkin... pikiran liarnya mengatakan apa jangan-jangan memang benar dunia ini diisi hanya oleh fatamorgana.

"Bagi yang hendak mengakhiri perjalanan di Stasiun Harau dipersilakan untuk turun dengan tertib dan memastikan tiada barang yang hilang."

Di sisi lain pada pagi itu, seorang pria yang menjadi salah satu perwira Badan Kedigdayaan Negara (BKN) tengah mendapatkan sinyal waspada dari pusat beriring tersebarnya informasi pembunuhan di tenggara Bantul. Namun kepiawaian koordinasi pemerintah, organisasi non-pemerintah, perusahaan gadang, dan jaringan media—berita demikian mampu direduksi sehingga hanya dapat diakses secara eksklusif saja.

"Syafik... Sumayyah." gumam perwira itu seraya bergegas meninggalkan markas.

Sambil mengendarai mobil militernya dengan penuh waspada, ia tiada henti memikirkan dua anak yang ia sebut namanya tadi. Panggilan telepon rumah tidak diangkat oleh mereka, bagaimana mungkin? Sementara ini kan sudah pagi. Apa mungkin pembantu rumah tangga tidak masuk hari ini? Lalu siapa yang mengantar dua anak itu sekolah?

Di rumah tampaknya Syafik dan Sumayyah sudah mengenakan seragam sekolah dan hendak berangkat. Tetapi langit menjadi mendung dan membubuhkan gerimis. Mereka berdua tetap diam di depan gerbang rumah—menunggu salah satu pembantu rumah tangga di sana— sambil membaca buku dan mengoreksi PR. Oh iya, perlu diketahui rumah si kembar itu masih satu lingkungan komplek dengan markas "Neo-Remake" di situ. Ya markas baru itu telah berdiri sekalipun legalitasnya masih dipertanyakan, syukurnya pengelola utama—yang tadi tampil sebagai anggota BKN—Rosyid Chaniago mampu mempertahankannya.

MeutiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang