(Chapter ini sudah tersedia versi booknya)
Selesai mengajar di kelas kalkulus, (Nama) berhenti sejenak untuk mengecek silabusnya. Ia perlu menyiapkan diri, setidaknya dengan meminjam modul ajar terbaru punyanya temannya. (Nama) memang cenderung kurang peduli akan perbaharuan teknik mengajar, selama yang menjadi bahasan, sebetulnya itu-itu saja. Meluangkan waktu demi literatur dengan tata kelola berbeda, tapi isinya sama? (Nama) menolak tegas. Namun, terkadang, supaya ia terlihat berpenampilan meyakinkan dan tidak diremehkan mahasiswanya, (Nama) butuh menenteng setidaknya satu edisi buku suspensi listrik dan macbook berstiker fakultas dimana ia mengajar, supaya kelihatan sedikit nasionalis terhadap kampusnya.
Itu masalah pribadinya. Dituduh tidak kredibel karena visualnya sama sekali tidak menunjukkan bahwasanya ia seorang master teknik elektro, yang di nama depannya, terselipkan gelar Insinyur.
Sedikit informasi menarik, mahasiswa (Nama) rata-rata berambut panjang. Laki-laki gondrong.
(Nama) mengecek map di pelukannya sambil berjalan. Ia mencari silabus mengajarnya, karena pertama, ia tidak ingin digoblok-goblokin mahasiswanya, dan kedua, ia ingin profesional. Si wanita perfeksionis lebih baik mengundur jadwal kelasnya ketimbang tidak taat silabus.
Brak!
Tanpa sadar, (Nama) menabrak seseorang. Rupanya, itu teman sesama dosennya, Vargoba. Ia dan Vargoba diangkat menjadi dosen di waktu yang sama, dan faktanya, mereka berada dalam satu angkatan kelulusan—hanya saja, mereka kurang akur karena perbedaan umur dan gagasan hidup.
Kebetulan, Vargoba sedang membopong alas kawat jeram dan dua unit amperemeter DC. Alat-alat praktikum di prodinya. (Nama) kurang mengetahui sejelas-jelasnya bagaimana benda itu bekerja dan mengapa Vargoba membawanya di sepanjang lorong menuju ruang kuliah tutor. (Nama) tidak tahu terlalu banyak soal pekerjaan orang-orang di jurusan fisika terapan, dan seberapa mahal alat praktik mereka.
Vargoba hampir menjatuhkan benda di pelukannya, tapi karena Vargoba bisa meraih kembali keseimbangannya, alat-alat itu selamat dari maut. (Nama) menghela napas lega, karena jika alatnya rusak, urusannya akan panjang, dan (Nama) malas bersentuhan dengan denda.
Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang mahasiwa tingkat akhir yang menjadi anggota badan eksekutif mahasiswa tengah sibuk mempersiapkan shooting. Kampus mereka namanya melejit naik akhir-akhir ini. Mereka ialah institut sains dan teknologi terbaik di Malaysia, dan nomor dua paling baik di Asia setelah universitas teknologi Nanyang.
Namanya Adudu. Seorang anggota badan eksekutif mahasiswa yang ditugaskan prodinya untuk merekam video promosi. Mengiklankan kampus.
Adudu merapikan dasi bergarisnya, dan ia telah siap mewajahi kamera. Begitu si kameramen mengangguk, mengisyaratkan Adudu agar mulai bernarasi, Adudu mendadah, "Halo semua! Selamat pagi. Nama saya Adudu, dari prodi aktuaria. Kalian semua, pasti sudah mendengar tentang Institut Teknologi Pulau Rintis, 'kan? Kali ini, kita menyediakan 1000 slot saja untuk mahasiswa baru."
Adudu kemudian menyulam senyum ceriwis, "Nah, sekarang, mari ikut saya tour, siapa tahu, karena fasilitas di sini bagus-bagus, kalian jadi tertarik untuk join."
Si kameramen berjalan ke gedung rektorat, gedung sentral dimana biasanya, setelah sidang skripsi, mahasiswa institut akan beswafoto di sana dengan samir beludru.
"Ini gedung rektoratnya." Kata Adudu, menjelaskan. "Gedung ini mengebawahi lima belas fakultas. Tapi, institut kami hanya punya jurusan sains terapan, teknologi dan matematika. Tidak ada ilmu seni liberal. Hanya ada sains komputer, sains murni, cabang fisika, sains astronomi. Tidak ada seni, tidak ada medis. Nah, sekarang, mari ikut saya pergi ke fakultas paling bergengsi di institut."