Warning: This part may trigger people with trauma so if you don't want to remember your dark times, might just skip this part.
Peringatan: Bagian cerita ini mungkin akan menarik stimulus beberapa orang dengan trauma, jadi kalau kamu tidak mau mengingat masa kelam, disarankan untuk skip bagian cerita ini.Play song : Fix You - Coldplay
_____
Memangnya siapa yang bisa memilih lahir di rahim siapa ataupun di keluarga mana? Memangnya ada yang bisa melakukan itu? Kalau hal itu terjadi, sudah pasti ribuan anak, bahkan jutaan anak sudah lahir dari rahim orang-orang berada.
Semua tidak ada yang menyangka mereka akan lahir di mana, oleh siapa, dan siapa yang akan mengajarkan mereka banyak hal tentang dunia.
Bukan salah anak kalau mereka tidak sesuai apa yang diharapkan orang tua. Mereka tidak bisa memilih bagaimana mereka ingin lahir.
Tapi kenapa gadis ini selalu merasa bahwa memang benar ia mengambil keputusan yang salah untuk melanjutkan perjalanannya hingga terlahir di dunia.
Seseorang di suatu tempat pernah bilang, "Sebelum kamu lahir, Tuhan udah menunjukkan apa aja yang bakal kamu lalui. Dan kamu menerima dan menyanggupi itu semua. Maka jadilah, kamu yang sekarang berada di sini."
Tapi apa benar? Apa semua rancangan hidup itu pernah diperlihatkan kepadanya sehingga dia menyanggupi itu semua?
"Kamu selalu saja membuat saya marah! Kamu bisa pergi dari sini tidak sih?!"
Tidak ada kata lembut untuknya, hanya sapaan bernada keras yang selalu terdengar.
"Kamu bukan anak saya! Tidak usah mengaku berkali-kali, tidak akan mempan! Kamu bisa apa memangnya sampai mengaku mau jadi anak saya?"
Lagi dan lagi, rangkaian kalimat itu menusuk hatinya lebih keras dan lebih menyakitkan.
"Memang anak perempuan tidak pernah berguna! Hanya membuang-buang uang dan menyusahkan!"
Olivia berusaha menarik napasnya sedalam mungkin sambil menenangkan ritme jantungnya. Matanya itu tidak berani menatap hal lain kecuali lantai. Air mata terus berlarian keluar dari matanya.
Robert, ayah Olivia, kini kembali mengambil tangan gadis itu dengan kasar dan menyeretnya keluar dari ruangan kerja miliknya. "Kamu pikir, sepintar apa sih kamu sampai berani masuk ke sini? APA MEMANGNYA YANG KAMU BISA?"
Makian demi makian. Pukulan demi pukulan. Segalanya ia terima dengan diam tanpa mau membalas perkataan sang ayah karena emosi pria itu pasti akan semakin meledak jika mendengar suaranya.
Padahal niat Olivia tidak banyak, hanya menaruh teh dan camilan malam untuk ayahnya karena bibi yang biasa melakukannya sedang sakit. Dia ingin memberanikan diri untuk memunculkan wajahnya di hadapan ayahnya.
When you tried your best, but you don't succeed
Tapi memang seperti yang bisa ditebak, ayahnya itu sampai kapanpun tak akan pernah menerima keberadaan dirinya. Bahkan sejengkal jari pun.
"Pa..."
"Diam kamu! Berhenti memanggil saya, saya bukan ayah kamu!"
When you get want you want, but not what you need
"PAPA!"
Sosok lelaki berbalut kemeja dan jas yang sudah jauh dari kata rapi itu membuka pintu dengan paksa dan memanggil ayahnya dengan keras.
Matanya membesar melihat bagaimana kondisi adiknya kini sudah sangat jauh dari kata baik-baik saja.
When you feel so tired but you can't sleep
Di belakangnya, disusul sosok lagi satu berkacamata yang menggunakan kemeja juga. Mereka berdua sama-sama terdiam bisu sejenak melihat bagaimana kacaunya kondisi di dalam ruang kerja pribadi Robert.
"Papa apakan Olivia?!" tanya Sean begitu keras membuat seluruh pelayan yang memanggil mereka berdua untuk datang dengan cepat itu akhirnya mengundurkan mereka.
Stuck in reverse
Beberapa pelayan sangat khawatir melihat Olivia yang masuk ruang kerja Robert belum keluar lebih dari satu jam dan membuat mereka secara harus menelepon kedua kakak gadis itu. Karena tidak ada lagi yang dapat menghentikan Robert selain anaknya sendiri.
Olivia masuk ke ruangan Robert sendiri tanpa persetujuan kedua kakaknya meski mereka sudah membicarakan hal ini sebelumnya. Dia benar-benar ingin tahu apa yang ayahnya pikirkan tentang dirinya.
Dengan tergesa, Sean berlari ke arah Olivia yang dilepaskannya cekalan dari Robert. Mata itu penuh api dan dendam. Terdapat banyak luka dan kecewa yang menggambarkan raut lelaki itu.
Wilbert dengan cepat menarik Olivia menjauh dari sana walaupun kondisi gadis itu yang luar biasa kacau. Mereka berdua menyembunyikan Olivia tepat di belakang tubuh mereka.
And the tears come streaming down your face
Dengan tangisan yang akhirnya menguar, Olivia menahan diri sebisa mungkin untuk tidak bersuara di depan ayahnya.
"Tidak usah berlakon kamu!"
"Papa! Berhenti dan bicara saja sama Sean!" Mata lelaki yang sudah membara itu menatap ayahnya dengan jarak tidak lebih dari 10 sentimeter membuat suasana semakin menegang.
Sosok berambut putih yang sudah terlihat menua dengan kondisinya yang sakit itu menatap anak yang paling dibanggakannya itu dengan tatapan tidak percaya.
When you lose something you can't replace
Wilbert menahan seluruh tubuh Olivia yang tiba-tiba ambruk di tangannya. "Olivia!"
"Kakak... aku capek," bisik gadis itu dalam dekapan Wilbert yang mengerat.
Dia juga marah, sangat. Bahkan mungkin jauh lebih marah daripada Sean sekarang. Namun dia menahan segalanya karena ada Olivia di sini, dan ia tidak ingin gadis itu semakin merasakan ketakutan dengan bertengkarnya mereka.
Robert melepas kacamatanya dengan penuh tidak sabaran. " Bukankah sudah papa bilang kalau dia harus pergi dari sini sejak lama? Kenapa kalian malah membiarkan dia tinggal di sini terus?"
When you love someone, but it goes to waste
"Olivia anak papa! Dia lahir dari rahim yang sama seperti Sean dan Wilbert. Kami bertiga lahir dari tempat yang sama, pa! Kenapa papa selalu menganggap Olivia bukan anak papa, kenapa?!"
"Karena Olivia tidak berguna! Untuk apa lahir dengan penyakit-penyakit itu? Untuk apa menghabiskan jutaan bahkan milyaran hal untuk obat kalau dulu dia bisa saja meninggal?! Dia yang mengambil nyawa mama kalian!"
Could it be worse?
"PAPA!" Kini giliran Wilbert yang berteriak kencang mendengar Robert berbicara demikian.
Tidak pernah pria itu berbicara hal-hal yang begitu jahat sampai pada hari ini.
Dan kini, Olivia mengerti apa yang ayahnya inginkan. Olivia mengerti mengapa ayahnya tidak pernah menerima kehadirannya bahkan sejak pertama kali dia datang di dunia.
Belum sempat mendengar hal lain yang dibicarakan Wilbert, gadis itu sudah kehilangan kesadarannya dan membuat kedua kakaknya panik seketika.
* * *
Satu yang dia ingin, bertemu Rehan.
Hanya Rehan tempat dia bisa merasakan kasih. Hanya Rehan yang bisa memberinya kehangatan. Hanya Rehan yang bisa membuat dia ingin hidup. Hanya dia.
Dengan wajah masih dengan penuh peluh dan air mata yang tak kunjung berhenti, kini Olivia berdiri di depan kamar hotel Rehan pada waktu yang sudah larut.
Gadis itu tidak peduli. Dengan ponsel yang sengaja ia tinggal agar kedua kakaknya tidka dapat melacak kehadirannya, Olivia hanya berpegang pada keinganannya untuk bertemu Rehan.
Hal yang membuat lelaki itu terkejut setengah mati melihat gadis yang ia sayangi dan ia perlakukan seperti kapas, kini sudah memiliki banyak luka di sekujur tubuhnya.
"Olivia?"
Walaupun segala pertanyaan terkait luka-luka itu berteriak dan menginginkan mulutnya untuk berbicara, tapi Rehan menahannya. Dia hanya diam dengan tatapan penuh luka dan menarik Olivia ke dalam dekapannya dengan erat.
"Gue di sini."
Tiga kata yang membuat segala pertahanan Olivia runtuh. Kata yang membuat Olivia untuk entah keberapa kalinya, mempertimbangkan keputusan-keputusannya. Untuk gadis itu memiliki harapan dalam hidup.
"Gue di sini, Olivia." Rehan mengatakannya dengan tulus dan benar-benar menutup akses dunia melihat gadis dalam rengkuhannya sekarang. Hanya dia yang dapat merasakan bagaimana hancurnya Olivia walaupun gadis itu tidak berbicara apapun melainkan menangis.
Rehan setia mengelus punggung rapuh itu dan membiarkan Olivia menangis sekencang-kencangnya. Bahkan dalam kondisi seperti ini, Rehan masih mampu mengelus gadis itu begitu pelan karena takut menyakitinya secara tidak sengaja.
Karena Rehan takut gadis itu akan benar-benar hancur kalau dia memeluknya terlalu keras. Atau gadis itu akan pecah bila ia mengecupnya terlalu dalam.
Rehan tidak mau berbuat apapun selain mendengarkan suara isak tangis Olivia dan menunggunya untuk dapat menenangkan diri.
Karena hanya di hadapan Rehan, Olivia bisa menjadi diri sendiri yang sesungguhnya.
Olivia bisa mengekspresikan apapun tanpa takut karena dia tahu, Rehan akan selalu setia di sisinya.
Olivia bisa menangis sepuasnya tanpa diinterupsi karena lelaki itu mau gadisnya bisa mengeluarkan rasa sesak di dada setelah menahannya begitu lama.
Rehan ingin memastikan apapun yang bisa lakukan, adalah membuat Olivia nyaman.
Rehan hanya ingin memastikan kalau dunia bisa memperlakukan Olivia dengan sebaik-baiknya.
Karena Olivia atau siapapun di dunia ini, tidak ada yang pantas mengalami kesedihan dengan kesendirian berkepanjangan. Sudah cukup tahun-tahun menyedihkan itu.
Sebab Rehan yakin, ia tidak akan pernah mengizinkan Olivia untuk kembali ke tempat di mana gadis itu selalu hancur selain untuk mendengar permintaan maaf dari orang yang menyakiti gadisnya.
_____
to be continue...
agak berat ya jyujyur part ini... huhu semoga nge-feel deh cerita ini.
don't forget to voment yaa! see ya!