i. Senja dan Fajar

1.4K 14 0
                                    

"Kamu di mataku itu seperti bintang, terlihat tapi tak tergapai. Kamu di jemariku itu bagai angin, terasa tapi tak tergenggam."

–dariku yang berteman hujan dikala senja-

---

Hujan pukul enam sore kala itu menghalangi bias cahaya mentari yang tengah berpulang ke peraduannya, mengganti indahnya rona merah lengkung langit menjadi megamendung.

Meski begitu, senja tetap datang, setengah gelap sesudah matahari terbenam saat itu, berganti menjadi setengah malam yang benar-benar gelap.

Tak seperti senja-senja di sore bulan September tahun-tahun sebelumnya, senja September tahun ini benar-benar janggal, hujan masih saja rajin mengguyur titik-titik di ibukota. Awan tebal kumulonimbus menjatuhkan kumpulan air hujan dengan derasnya.

Bagi sebagian orang, hujan mungkin menjadi malapetaka yang menyulitkan. Tapi bagi sebagian lainnya, hujan justru menjadi anugerah, dari hujan mereka bisa makan esok hari.

Kedua mata Gista memandang sekitar sebelas atau dua belas orang anak yang tengah berlalu-lalang di hadapannya. Usia mereka mungkin sembilan atau sepuluh tahun, dengan sebuah payung besar yang menaungi tubuh mereka kala itu meski tubuh dan pakaian mereka sudah basah kuyup.

"Ojek payungnya, Mbak?" begitu mereka mengulang barisan kalimat tersebut. Terus diulang hingga ada seseorang yang mengiyakan.

Gista menghembuskan napasnya pelan, kakinya menghentak seirama dengan mulutnya yang bersenandung perlahan.

"Ojek payungnya, Mbak?"

Gista menoleh ke sumber suara, seorang laki-laki berdiri di sebelahnya, tak cukup dekat, namun tak juga terbilang jauh. Jarak dua atau tiga langkah memisah gadis itu dan laki-laki yang saat ini tengah menyodorkan sebuah payung lipat ke arahnya.

"Bikin kaget kamu, Bi," ujar Gista, setengah tersenyum sambil kembali mengalihkan pandangannya ke depan, hujan masih mengguyur bumi dengan derasnya.

Laki-laki bernama Abi itu ikut mengulum senyum, disandarkannya payung basah di tangannya dekat bangku sebuah halte tempat ia dan Gista berdiri saat ini, kemudian matanya ikut menelusur ke arah pandang Gista.

Seorang anak sedang berlindung di bawah payung besarnya, dengan wajah ceria dan mulut yang komat-kamit cekatan menghitung sejumlah rupiah di tangannya, mungkin kalau diperkirakan, jumlahnya tak lebih dari sepuluh atau dua puluh ribu, tapi senyum penuh syukur di wajah anak itu menunjukkan bahwa jumlah itu sudah lebih dari cukup.

"Sesuatu yang untuk kita kurang, bisa menjadi lebih kalau ada di tangan orang lain."

Abi mengangguk, menyetujui kalimat yang baru saja dilontarkan Gista. Ia kemudian menambahkan, "La in syakartumla azidannakum, sesungguhnya jika kamu bersyukur," – "niscaya Aku akan menambah nikmatKu kepadamu," sambung Gista.

Keduanya kemudian saling melempar senyum.

Lima menit selanjutnya berlalu tanpa ada satupun yang bersuara.

Abi menghela napas, kedua matanya menatap lantai tempatnya saat ini berdiri, tempias air hujan mengenai ujung-ujung sepatunya, meninggalkan bekas basah yang pasti akan membuatnya repot karena harus mengeringkan sepatunya nanti malam supaya bisa dipakai esok harinya.

"Hatimu apa kabar?" Setelah mengumpulkan keberanian, Abi akhirnya bersuara.

Tatapannya beralih ke arah Gista, sebuah senyum terbentuk di bibir gadis yang tengah berdiri canggung di sebelahnya, seraya membenarkan letak kacamatanya, Gista kemudian mengeluarkan sebuah tawa sumbang.

Senja (Kumpulan Cerita Pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang