12

2.5K 246 30
                                    

Munich, dua minggu kemudian

     Becky sudah merasa putus asa. Satu minggu lebih dia berkeliling ke tempat-tempat di mana Freen dulu menghabiskan waktu selama kuliah. Dia bahkan menghabiskan waktu tiga hari untuk berkeliling Universitas Ludwig tempat Freen dulu belajar, namun tetap saja dia tidak mendapatkan satu pun petunjuk yang menunjukkan tanda-tanda bahwa Freen mengalami pengalaman buruk selama Freen kuliah.

Mungkin Flo benar, Freen tidak mendapatkan traumanya di German. Tapi masa iya di rumah. Memangnya siapa yang sudah memperlakukan Freen dengan buruk.

"Kamu memikirkan apa?"

Pertanyaan Freen sedikit mengejutkan Becky namun gadis itu enggan memberikan tanggapan. Dia memperhatikan Freen yang meletakkan semangkuk besar salad sayur di hadapan Becky. Wanita itu bergerak dengan gesit menyiapkan makan malam mereka. Becky malah tidak tahu jika sepupunya ini ternyata pandai memasak.

Tidak ada asisten rumah tangga, mereka terpaksa mengerjakan semuanya sendiri, dalam hal ini Becky tidak bisa diandalkan. Jadi Freen lah yang lebih banyak bekerja.

Becky masih memperhatikan Freen sampai wanita itu melepas apron lalu bergabung bersamanya.
Fettuccini saus Bolognese dengan toping salmon panggang di atasnya, Freen sungguh berbakat. Dia bahkan menyajikan menu itu mirip dengan sajian di restoran.

"Wah, Vice president Xanders Group ternyata memiliki bakat terpendam," komentar Becky yang takjub dengan menu makan malam yang Freen sajikan. Dia bahkan sudah melupakan tentang trauma yang dialami sepupunya itu.

Gadis itu sudah tidak sabar ingin mencicipi masakan dari Chef Freen.

"Wah, ini lebih enak dari La Pasta yang ada di Perancis," seru Becky gembira. Rasa saus Bolognese itu meleleh di lidahnya, potongan-potongan dagingnya juga masih terasa chewy, ini berbeda dengan saus-saus Bolognese yang sering dia makan.

"Aku membuat sendiri sausnya," sahut Freen datar. Dia sama sekali tidak merasa bangga oleh pujian yang diberikan Becky.

"Lebih baik kamu membuka restoran saja," tambah Becky.

"Makanlah dengan tenang, otakmu butuh nutrisi untuk memikirkan sesuatu yang mencurigakan."

Becky cemberut mendengar sindiran Freen, namun tidak mengurangi nafsu makannya. Gadis itu melahap suapan demi suapan dengan semangat.
***

Becky baru saja selesai mengeringkan rambutnya, seperti biasa ketika akan bermain . Dengan langkah pelan, dia mendekati Freen. Di ruangan yang baru ini, Becky tidak begitu gugup, mungkin karena interior ruangannya yang di dominasi warna grey jadi terasa lebih lembut, atau karena mainan Freen tidak sebanyak yang ada di Manhattan. Saat ini Becky memiliki banyak keberanian.

"Aku tidak menyuruhmu datang," ucap Freen.

"Bisakah kita melakukannya dengan normal?" ucap Becky pelan, dia menatap netra coklat terang milik Freen, mencoba untuk melemahkan pemiliknya dengan tatapannya.

"Kamu tidak memiliki hak untuk bernegosiasi," sahut Freen.

"Kita bisa berkompromi." Becky mengalungkan lengannya di leher Freen membuat wanita itu mengatupkan rahangnya tidak terima.

"Singkirkan tanganmu," ujarnya dingin.

"Freen, aku tidak tahu apa yang menguasaimu. Kamu sangat berbeda ketika kita melakukan ini. Maukah kamu berbagi kepadaku, apa yang terjadi denganmu. Maukah kamu bercerita apa yang sudah kamu alami."

Satu kesalahan Becky adalah gadis itu terlalu terburu-buru. Dia tidak berpikir bahwa ucapannya membangkitkan kenangan buruk yang sudah Free  pendam sejak lama.

Wanita itu mendorong kasar tubuh Becky membuat sang gadis terlempar. Tubuh Becky terjatuh menghantam lantai. Gadis itu meringis menahan rasa sakit tapi dia tidak memiliki waktu untuk memikirkan rasa sakitnya. Becky langsung menegapkan tubuhnya mengantisipasi kalau-kalau Freen akan menyiksanya. Bagaimana pun dia sudah membuat Freen marah.

PET METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang