***Dua tahun kemudian.
Sofia sudah berada di Surabaya. Menikmati kesendirian nya di sana bersama keluarga dari Almarhum Papanya. Tidak banyak yang dilakukan oleh Sofia, dia hanya membantu menjaga toko roti milik Tantenya, Citra.
Ini bukan lagi sedih sebab berpisah karena restu lagi. Tetapi, berpisah karena beda alam. Sofia setiap saat merindukan Auriga yang sudah tenang di alam sana. Apa yang laki-laki itu lakukan sekarang?Sofia menarik napas pelan, Sofia melihat foto anaknya yang sudah lancar berjalan dan mengoceh itu. Anak yang dulu sangat di sayang oleh Auriga, anak yang memang bukan darah daging laki-laki itu tetapi perlakuannya melebihi memperlakukan anak kandungnya.
Sofia berdiri, berjalan ke arah kaca yang memperlihatkan seluruh tubuhnya. Penampila nya sudah cukup dewasa, kini usianya sudah memasuki dua puluh satu tahun. Wajahnya yang biasa hanya diolesi make up yang sangat amat tipis, sekarang sudah berbeda. Dia sudah berpenampilan beda, aura kedewasaannya terpancar. Rambut yang dulu hitam pekat, sekarang bercampuran berwarna golden brown.
Dua tahun lamanya Sofia sudah tidak melihat Auriga, memeluk Auriga dan mencium aroma tubuh Auriga. Sofia hanya melihat foto-foto kebersamaannya dua tahun silam bersama Auriga.
Angga, laki-laki yang mengungkapkan perasaannya saat perpisahan di bandara itu pun sudah beberapa bulan ini tidak menghubungi Sofia. Biasanya, Angga selau menelfon Sofia saat malam. Menceritakan bagaimana kesehariannya dan keadaan Ratih yang sekarang sedang sakit. Sofia pun sudah mencoba untuk menghubungi Angga, tetapi ponsel laki-laki itu tidak pernah mengangkat telfon dari Sofia.
"Sofia!"
Perempuan berambut panjang itu menoleh cepat ke arah pintu kamarnya, di sana Citri membuka pintu itu sambil mencari keberadaan Sofia yang duduk di depan meja rias dengan memegang Foto Auriga dan dirinya. "Sayang, hari ini Tante sama Om bakalan pergi. Mungkin beberapa hari di sana, kamu di rumah sama Savira enggak papa, kan?"
Sofia mengangguk pelan. "Iya, Tante. Enggak papa. Tapi kok mendadak banget, sih? Biasanya Tante ngabarin Sofia dua hari sebelum Tante jalan."
"Iya, sayang. Biasanya juga pihak kantor Om ngabarin lebih dulu, tapi enggak tau kenapa mereka mendadak kasih kabar dan enggak bisa di tunda hari ini," jelas Citra, memegang kedua bahu Sofia sambil berdiri.
"Kamu di rumah hati-hati, ya? Kalau kamu mau buka toko boleh, enggak buka juga enggak papa tergantung dari kamu gimana," lanjutnya.
Perempuan berkulit putih itu kembali mengangguk, menyentuh tangan Citra yang ada di pundak perempuan itu. "Iya, Tante."
"Yaudah, Tante berangkat. Ingat, jangan ke mana-mana sendirian. Suruh Gavin anterin kamu dan Savira, Savira udah mulai keluar malem terus Tante lihat, Tante enggak mau kalian kenapa-napa."
Jangan kemana-mana sendirian.
Perempuan itu mengangguk. Ucapan Citra barusan membuatnya terdiam. Kata-kata itu adalah kata-kata yang sering Auriga ucapkan saat Auriga hendak meninggalkannya sampai-sampai Sofia pernah membalas ucapan itu jika dirinya bosan mendengarkan ucapan itu.
Sekarang, Sofia merindukan larangan itu.
"Mama."
Sofia menoleh melihat ke arah pintu yang masih terbuka itu. Setelah Citra pergi dari sana, Ratu datang dengan wajah yang sudah kotor dengan selai coklat dan hanya menyisakan matanya saja yang bersih. Sofia membulatkan matanya, kaget dengan penampilan Ratu yang satu bulan lagi berusia 3 tahun. "Ratu, ya ampun!"
"Mama kan cuma suruh kamu minum susu di bawah sama Om Gav–"
"GAVIN!!"
*****
"Sofia!"
Gavin mendengus, perempuan berambut panjang itu sama sekali tidak menghiraukan panggilannya dari tadi. Gavin berlari, meraih pergelangan tangan Sofia tetapi dengan cepat Sofia menepis tangan Gavin. "Ya, ampun. Gue bercanda doang."
"Gue enggak sengaja tadi, lagian Ratu nurut mulu kalau sama gue."
Sofia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu toko roti yang belum terbuka itu. "Enggak sengaja?"
"Maksud lo? Oh.., jadi walau pun Ratu nurut sama lo terus lo suruh Ratu makan batu lo juga bilang itu enggak sengaja?" marah Sofia.
Gavin mengatup bibirnya, berusaha untuk tidak tertawa di depan Sofia. Tetapi perempuan berkulit putih itu tahu jika Gavin sedang menahan tawa.
"His! Lo tu nyebelin tau enggak?!" teriak Sofia.
Sofia dengan cepat membuka toko Roti itu dengan gerakan yang menggebu-gebu, ditambah dengan Gavin yang selalu mencoba untuk merayunya agar tidak marah. Laki-laki itu memang selalu membuatnya naik darah. Sejak dia datang sampai dua tahun ini. "Eh, eh. Sofia, gue minta maaf. Jangan marah, dong!"
"Gavin!" seru Sofia saat Gavin membuatnya bingung.
"Maafin gue dulu baru gue pergi."
Sofia berdecak, capek dengan tingkah laki-laki yang berusia dua enam tahun itu. Sama sekali tidak ada kata dewasa untuk Gavin yang selalu mengganggu Sofia.
"Ok. Pergi sekarang," ucap Sofia dengan malas.
"Enggak!" seru Gavin.
"Apaan, sih!" balas Sofia.
"Bilang, iya Gavin yang ganteng, kesayangan ku, gue maafin lo kok, ganteng."
Sofia mengernyit, "dih!"
"Ya kalau gitu gue enggak bakalan pergi," bantah Gavin dengan memasang wajah menyebalkannya itu.
Sofia menarik napas sambil memutar bola matanya dengan sangat amat malas.
"Iya, Gavin yang ganteng, kesayangan ku. Gue maafin lo kok, ganteng."
Gavin terkekeh, "gitu dong!"
Laki-laki itu memutari meja kasir itu sambil tersenyum sumringah. Dia melambaikan tangan ke arah Sofia yang berdecak saat menatap tatapan jahilnya itu, Gavin merasa puas sudah membuat Sofia marah-marah malam ini.
Gavin menarik pintu kaca itu tanpa menatap ke depan, dia terus melihat ke arah Sofia yang membersihkan meja kasir itu.
Langkah Gavin terhenti saat menghadap sepenuhnya ke depan. Gavin terdiam saat menatap laki-laki yang mungkin seumurannya itu berdiri pas di hadapannya sekarang Sofia yang merasa Gavin belum juga pergi, Sofia melepaskan fokus pada meja kasir itu dan melihat ke arah Gavin yang berdiri berhadapan dengan laki-laki di pintu masuk itu.
"Ada Sofia?"
Gavin menaikan satu alisnya. "Siapa lo?"
"Oh, lo yang ada di dalam foto itu?"
Sofia mematung tepat di belakang Gavin. Matanya memanas, menampung banyak air mata yang siap jatuh kapan saja. Tangannya bergetar dengan kaki yang lemas itu. Jantung yang seakan-akan berhenti berdetak saat melihat laki-laki yang tidak bisa dia percayai sekarang ada di hadapannya.
"Auriga?"
– End –
KAMU SEDANG MEMBACA
Sofia
Romance[SELESAI] SUDAH REVISI, TANDAI JIKA ADA TYPO! . . . "Apapun masalalu mu, itu bukan urusanku. Kamu milikku." - Auriga Mahasakti. Sofia Himawari Putri. Perempuan yang Auriga kenal berusia 19 tahun tapi mempunyai 1 orang anak. Mendengar cerita kisah hi...