Tuhan beriku restu lepasku merayu (bagian 1) [KIM WONPIL]

124 1 0
                                    

Mahendra Bumi Wicaksana.

Orang bijak di luar sana pernah berkata, bahwa saat kau berdoa, memohonlah dengan serinci-rincinya. Aku, tadinya, malu tuk melakukan hal itu, sebab, siapa aku pinta sesuatu yang mungkin saja dipikir-Nya tak pantas untuk dapat itu? Namun, itu sebelum aku bertemu Bumi.

Sesaat setelah jatuh dalam pesona Bumi, aku sering-sering merayu Tuhan. Barangkali Ia bermurah hati tuk beri Bumi untukku, yang tentu diakhiri dengan kalimat pamungkas "....namun, kalau memang Bumi bukan yang terbaik menurut-Mu, wahai Sang Pemilik Alam Semesta, maka kupasrahkan semua pada ketetapanmu semata."

Tak ingin aku jadi insan yang tak tahu diri untuk menentukan mana yang dimataku terbaik. Ada saatnya aku merasa bahwa kehadiran Bumi di hidupku memang hanya tuk sementara, ada masanya aku merasa lelah menghadapi Bumi dengan segala sunyinya.

Aku ini perempuan berisik, bahkan dalam pikiranku masih saja ribut sendiri. Riuhku berbanding terbalik dengan sepinya Bumi. Kadang kala, aku ingin Bumi sekencang aku, kadang kala aku ingin Bumi tak hanya merespon ceritaku dengan kata ya, tidak, oke atau hanya senyum diiringi elusan ringan di pucuk kepala.

Seperti hari itu, saat aku tengah dihinggapi rasa senang yang membuncah karena berhasil memenangkan pertarungan dengan jutaan fans lainnya di seluruh dunia untuk menonton konser idolaku yang melakukan tur dunia tiap lima tahun sekali.

"Bumi, aku berhasil menang war! YEAAAY!" kataku sambil mengangkat kedua tangan yang terkepal di udara, berkata dengan raut wajah gembira dan binaran di mata.

Bumi — yang sebelumnya tengah fokus pada ponselnya — mengangkat kepala, menatapku sambil beri senyum tipis.

Beberapa detik kutunggu reaksi lain darinya. Tapi nihil. Bumi hanya ingin membalas ucapanku dengan senyum tipisnya, tanpa disambut ucapan kata selamat atau bertanya bagaimana bisa.

"Sumpah, tadi aku deg-degan banget, webnya tuh sempet down, tau gak sih. Ya ampun, aku berdoa terus sepanjang waktu biar kedapetan. Mana tiket yang standing tuh cepet banget lakunya! Astaga, capek aku." keluhku panjang kali lebar sambil menggeret kursi hingga berada tepat di sisi kanan Bumi.

Bumi menoleh, mencubit pipiku pelan, "Keren."

Lalu lelaki itu kembali sibuk pada ponselnya.

Ada rasa sakit yang mencubit perasaanku kala itu. Respon Bumi — yang memang selalu seperti itu — kali ini membuatku jengah. Aku akan pergi ke konser itu bersama Jingga, sohibku sejak jaman putih biru. Kuberitahu kalian, sebab sepanjang aku bercuap-cuap dalam hati, Bumi nampaknya tidak begitu peduli dengan hal yang kusenangi.

Lain Bumi lain Ghani. Ghani adalah suami Jingga.

Aku satu kantor dengan Jingga, maka aku tahu Jingga langsung menelepon Ghani sesaat setelah kami mengamankan tiket.

Jingga beriku headset sebelah kiri, berbagi reaksi prianya dengan aku.

Ghani bersorak, seperti seharusnya.

"DEMI APA KAMU DAPET?! YA AMPUN, SELAMAT YAA SAYANG! Nontonnya jadi sama Saski, kan? Konsernya dimana sih? Aku lupa. Sekalian pesen hotel deket sana, sayang, biar nggak capek dan bisa dateng duluan. Aku pesenin, ya?" begitu respon pertama Ghani mendengar kabar baik dari wanitanya.

Aku, dengan naifnya, berharap yang demikian dari Bumi.

Ekspektasiku yang melambung tinggi inilah justru yang menjatuhkan diriku sendiri. Karena Ghani adalah Ghani dan Bumi adalah Bumi.

Aku menghela nafas kasar.

Bumi menatapku, bertanya.

Lihat? Bahkan lelaki itu tak mau repot-repot ucapkan barang satu kata tuk tanyaku kenapa.

          

Aku menggeleng, bergegas meninggalkan Bumi di ruang televisi sendiri.

Aku langsung pergi ke kamar mandi, mengunci diri sambil menangis di dalam sana. Disaat-saat seperti ini, aku mulai mempertanyakan apakah keputusanku untuk menikahi Bumi adalah pilihan terbaik, mempertanyakan apakah sosok laki-laki seperti ini yang akan temaniku hingga rambutku memutih nanti?

Bahkan membayangkan untuk tua bersama Bumi dengan sifatnya yang gini-gini aja membuatku pusing sendiri.

Menikah itu isinya ngobrol, kata mereka yang dulu tak kuhiraukan saking terlalu cinta mati pada Bumi.

Nah, lihat kan, makan hati sendiri sekarang pasangannya nggak bisa diajak ngobrol.

Setelah puasku menangis sambil showeran — biar tambah drama — , akupun keluar.

Kulihat Bumi sudah duduk di sudut kamar, ditemani dengan secangkir teh hangat yang asapnya masih mengepul dan buku bertemakan sejarah dalam genggaman. Bumi adalah pecinta sejarah, meskipun dalam pekerjaan, ia selalu berkecimpung dengan angka dan hitungan.

Kujamin otak Bumi setiap hari nggak pernah istirahat, dipake mikir terus sama yang punya.

Mata kami sempat bertemu, yang buru-buru kupaling muka dan beranjak naik ke atas kasur.

Kebiasaan kami sebelum tidur adalah bercerita tentang apa saja yang terjadi seharian ini di kantor. Yah, meskipun 90% isinya hanya aku yang cuap-cuap. Sepuluh persen sisanya, Bumi yang cerita. Itupun aku harus dalam mode wartawan alias nanya terus.

Biasanya, sembari menunggu Bumi menyesap habis tehnya, aku skincarean atau kalau lagi malas, paling hanya main hp. Rata-rata, Bumi membutuhkan waktu tujuh sampai sepuluh menit untuk menghabiskan tehnya.

Tapi, berhubung aku lagi ngambek, aku nggak mau nungguin Bumi. Aku nggak mau juga ngobrol sama Bumi sebelum tidur. Aku mau langsung tidur.

Belum ada dua menit aku coba tidur duluan, sudah ada pergerakan yang gerasak-gerusuk di sisi kasur tempat Bumi biasa tidur.

"Saski." panggil Bumi pelan sambil goyang-goyangin badanku.

Aku masih mingkem.

"Saskiara." lagi, Bumi panggilku dengan kata pertama namaku yang lebih lengkap.

Aku masih tutup mulut.

Bumi menghela nafas panjang, "Saskiara, kamu belum cerita sebelum tidur."

Aku masih setia dengan diamku. Tuh, telen sendiri diammu, Bumi.

"Saski." Bumi menepuk-nepuk punggungku.

Ganggu!

Setelah itu, Bumi nyerah. Dia kembali ke sudut sana, lanjut baca buku dan minum tehnya. Lihat, kan? Dia masih mentingin baca buku sambil ngeteh ketimbang bujuk-bujuk aku.

Duh, Seskiara, begini amat nasibmu.

Besok paginya, aku hanya melenggang pergi waktu Bumi sudah duduk manis di meja makan dengan roti bakar selai blueberry dan segelas susu dingin yang dibuatnya tadi.

Bumi memang kebagian tugas bikin sarapan, karena jarak antara kantor Bumi dengan rumah kami memang lebih dekat ketimbang jarakku ke kantor. Jadi, yang punya waktu lebih luang di pagi hari, itu yang bikin sarapan.

Aduh, sabar ya perutku, meskipun selai blueberry itu benar-benar menggoda, tapi pagi ini kita terpaksa sarapan nasi kuning dulu, ya.

Gengsi lah aku duduk dan makan bareng Bumi pagi ini, aku kan masih marah. Jadi mohon pengertiannya, ya, perut.

Sudut Pandang [KUMPULAN ONESHOT AU]Where stories live. Discover now