Anggur Merah

0 0 0
                                    


“Ah mungkin, suatu saat aku tak lagi memanggil kalian ‘kawanku’ tapi ’hei, besanku’.” Raja Holgan berkelakar, mencairkan suasana sepeninggal para pangeran dan putri yang berlalu meninggalkan kursi mereka.

“Tentu saja, siapa yang mau menolak bibit unggul putra dan putrimu yang mulia Holgan Markent.” sahut Raaja Wiliam yang disusul anggukan oleh yang lain. Ia mengangkat tangannya yang menggenggam segelas anggur sebagai ajakan untuk bersulang. 
Kedelapan raja dan ratu itu mengangkat gelasnya. Bersulang, lalu meminumnya perlahan.

Mulanya tak ada sesuatu yang aneh, sampai tiba-tiba raja Holgen melemparkan gelasnya kearah raja Stephen tanpa sebab menimbulkan bunyi pecahan yang nyaring dari peraduan gelas anggur yang berbentur dengan lantai istana.

Mata hijaunya kini menggelap. Seolah ia tengah berada dalam kegelapan hutan belantara yang rapat oleh dahan pohon besar yang tak mengijinkan cahaya barang setitik menerangi tanahnya.

Dan rupanya, itu tak hanya terjadi pada raja Holgen Markent dan tiga raja lainnya. Para Ratu kini telah bangkit dari kursi mereka untuk saling melukai dan bahkan mencekik kawannya.

Para prajurit yang menyaksikan peristiwa menegangkan itu tak langsung mengambil tindakan. Walau terasa konyol, mereka masih mengira bahwa itu adalah bagian dari makan malam keluarga kerajaan. Sebab baru beberapa menit para raja saling berkelakar dan rasanya tidak mungkin kerajaan yang telah bersahabat begitu lamanya mendadak malah saling menyerang satu sama lain.

Sampai beberapa menit kemudian, Patih kerajaan Athelstan yang mulai menyadari bahwa Raja dan Ratu yang seolah sedang dalam pengaruh lain, serta perkelahian mulai serius dan membahayakan, membuatnya bergerak mengerahkan penjaga untuk memisahkan keributan. Semua prajurit Athelstan dan beberapa prajurit dari empat kerajaan lain yang ikut berjaga bergerak cepat memisahkan perkelahian antar Pemimpin Kerajaan sahabat.

Perkelahian ini seolah khayalan. Raja Roderik yang semula tampak menyambut hangat kedatangan sahabat-sahabanya, kini malah berhadapan dengan Raja Holgan yang sedari tadi duduk dan berbincang hangat disisinya. Sementara Raja Wiliam kini tengah mengerahkan seluruh kekuatannya menghadapi Raja Stephen.

Mereka seolah memiliki kekuatan ganda sampai sampai kekuatan prajurit yang berjumlah lima kali dari jumlah mereka kesusahan untuk memisahkannya. Keadaan semakin lama semakin sulit untuk dikendalikan.

Para raja dan ratu seolah berada di bawah pengaruh dan berubah menjadi binatang buas.
Raja Roderik mendadak berteriak marah. Tangannya yang kekar memunculkan otot otot yang muncul ke permukaan tangannya. Ia seakan menyimpan dendam yang telah lama ia pendam. Tangan Raja Roderik yangsedari tadi terus meluncurkan pukulan ke arah Raja Holgan kini merebut tombak dengan ujung perunggu berbentuk kerucut yang tajam dan bersinar sinar dari genggaman pengawalnya.

Ia mengayunkan tombak perak itu ke arah Raja Holgan. Dan dengan kekuatan penuh menghunuskannya ke perut sahabatnya. Raja Holgan terkesiap. Ia tak siap saat ujung tombak yang lancip mengarah pada dirinya dan pada akhirnya menembus perutnya. Membuat darah mengucur deras dari lubang menganga di perutnya. Membasahi pakaian kerajaan yang telah ia siapkan berbulan bulan sebelumnya untuk acara makan malam keluarga sahabat.

Matanya yang menggelap kini kembali terang seperti semula. Kegelapan itu menghilang begitu saja seiring dengan darah yang merembes hingga ujungjemari kakinaya. Ia menatap wajah Raja Roderik yang masih di bawah pengaruh asing dengan tatapan tak percaya. Pemimpin kerajaan Markent itu akhirnya terjatuh dan tewas di tangan sahabatnya sendiri.

Sebaliknya, Ratu Emma, istri raja Roderik Athelstan kini juga tengah berada di cengkraman Ratu Kharisa Markent. Ia hampir kesulitan bernafas sampai sebuah tangan tiba-tiba menariknya. Atau mungkin menyeretnya menjauh hingga membuat tubuhnya terpelanting dan terseret di atas lantai yang bersimbah darah Raja Holgan. Begitu pula dengan Raja dan Ratu lain yang akhirnya telah berhasil dipisahkan untuk saling menjauh.

“Masukkan mereka ke Penjara Bawah tanah!. Pastikan jangan satukan mereka di tempat yang sama!. Kunci Mereka! Tidak ada pertanyaan! Lakukan sekarang.” Pangeran River Athelstan berteriak, mengacungkan jemarinya ke udara. Memberi titah yang harus dipatuhi oleh siapapun yang mendengarnya.

Ia menatap dari kejauhan mayat Raja Holgen yang terkapar bersimbah darah. Di sisinya, Pangeran Nadev terdiam. Ia menunduk dalam tanpa sepatah katapun. Sementara Putri Caren jatuh terduduk dalam dekapan ayahnya. Meraung menangisi kepergian sang ayah.
Sesungguhnya, tak jauh berbeda dengan kawan kawannya, River pun masih bingung dengan apa yang terjadi. Hanya saja, ia harus segera menentukan langkah yang harus ia ambil agar masalah tidak semakin meluas.

“Permisi Pangeran, ada surat yang baru saja datang.” River menoleh. Meraih gulungan kertas tebal yang dibawakan oleh pengawalnya yang berlari tergesa. Para pangeran dan putri turut merapat ke arahnya. Menatap surat yang kini tengah dibuka oleh River dengan jantung yang berdegup kencang.
Diatas kertas itu, tertulis dengan tinta perak dan tulisan yang rapi sederet kalimat yang mampu membuat para pangeran dan putri itu menggeram.

Kau pikir semua telah selesai yang mulia?” River meremas surat di genggaman tangannya dan membuangnya sembarang arah. Ia berteriak marah, “SIAPA YANG BERANI MENGIRIMKAN SURAT INI!!!” Ia bergegas menuju ke prajurit yang menjaga gerbang masuk diikuti oleh yang lainnya.

Sebab di sanalah kotak surat untuk menampung kabar di sediakan. Sebuah kotak kayu warna emas berbentuk persegi dengan lubang sempit di sisi depan. Kotak surat yang digunakan untuk menerima surat dari mana saja yang ingin menyampaikan pemikirannya untuk kerajaan.

Layan mendesis, matanya menyala membakar sorot humor yang biasanya tertanam di wajahnya. “Sial-n.!, rupa rupanya ada yang ingin bermain main.”

Pentagon (FA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang