Seorang pemuda berperawakan tegap itu tengah berdiri, menatap seseorang di hadapannya dengan tatapan yang begitu mencekam. Ia berdiri di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan keheningan.
Keheningan yang palsu. Padahal, hati dan pikirannya kini tengah beradu.
"Life is choices. Hidup itu pilihan. Mau jadi apa kamu, ya, itu pilihanmu. Kalau itu bener yang kamu mau, ya, kamu harus berusaha," ujar seseorang di hadapan pemuda yang mengenakan kacamata itu.
"Tapi ... bagaimana caranya? Aku bahkan tidak memiliki teman untuk membantuku. Mereka semua telah pergi, dan aku tersesat sendirian di dunia yang fana ini." Pemuda bersurai kecoklatan itu tampak begitu kebingungan dan kacau saat ini.
"Untuk apa seorang teman jika satu-satunya yang dapat mengubah hidupmu adalah aku?"
"Memangnya, apa yang bisa kupercayai darimu?"
"Hei! Semua harapanmu, semua impianmu, dan semua hidupmu adalah aku. Tak ada yang berhak menentukan semua itu kecuali aku!"
"Bagaimana dengan Tuhan? Apa kamu melupakannya?"
"Tentu tidak. Jangan sampai kamu melupakan-Nya! Apa kamu akan melupakan Dia yang telah memberimu kehidupan?" Pemuda itu tampak menggeleng lesu.
"Justru kamu yang melupakan-Nya! Mengapa kamu bertindak seolah-olah orang yang paling bijak di depanku?"
"Karena kamu adalah aku, dan aku adalah kamu. Tidak ada yang bisa menguatkan dirimu kecuali aku." Akan tetapi, pemuda tersebut malah menyeringai menyeramkan.
"Aku bahkan sudah tidak percaya lagi padamu. Kamu terlalu banyak memberiku luka."
"Bukan aku yang memberi luka, namun, kamu yang terlalu berharap pada semua yang tidak pasti."
"Apa kamu sekarang menyalahkanku?"
"Bukan itu maksudku. Aku hanya tidak ingin kamu kembali kecewa pada sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi. Jika bukan karena kehendak Ilahi, apa kamu akan dapat mengubah takdir sesukamu? Tentu tidak, bukan?"
"Munafik! Jika membenci diriku, benci saja selamanya. Tak perlu susah payah menasihatiku agar menjadi lebih baik, lalu pada akhirnya, kamu kembali menyakitiku!"
"Hei, ada apa denganmu?"
"Jiwaku telah hancur lebur akibat ulahmu. Jadi berhenti untuk berbicara denganku! Aku hanya akan terlihat menyedihkan di matamu, bukan?"
"Maafkan aku ... aku mungkin terlalu menyakitimu selama ini. Tapi, aku tetap kamu, dan kamu tetap aku, kita harus berjuang menghadapi semuanya bersama-sama."
"Kita? Aku bahkan tidak ingin ada kata kita antara kamu dan aku lagi."
"Bisakah kamu memberiku satu kesempatan terakhir?"
"Berapa kali lagi kesempatan yang harus kuberi untukmu? Kamu selalu saja menyia-nyiakan semua itu."
"Lantas, apakah kamu masih membenci diriku?"
"Ya! Aku membenci dirimu!"
"Benarkah? Sekecewa itukah kamu padaku? Lalu, bagaimana caranya kamu tetap hidup?"
"Dengan tetap menjadi BAJINGAN!" Pemuda itu lantas pergi.
Mengapa selalu ini yang ia dapatkan? Rasa sedih, marah, kecewa, semuanya jadi satu. Dan ditambah oleh kehilangan orang-orang terdekatnya. Dia tentu tidak marah pada mereka yang meninggalkannya, tetapi ia sangat kecewa pada sosok yang tadi diajaknya bicara.
Jiwanya sekarat. Raganya seperti menolak untuk ditempati oleh jiwa yang telah hancur itu. Otaknya bahkan terlalu rumit memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. Antara hidup dan mati. Ia harus memilih antara keduanya. Tak ada lagi yang bisa ia harapkan dan diharapkan dari dirinya sendiri.
Apakah ... ini titik terendah manusia? Membenci dirinya sendiri? Lantas, bagaimana sekarang? Apa setelah semuanya pergi, ia juga harus pergi?
Pemuda itu hanya bisa menangis dalam diam di sebuah ruangan gelap yang begitu pengap. Sebuah kamar dengan jendela dan pintu yang tertutup semenjak 2 hari lalu.
Matanya menatap sekitar, menemukan sebuah bingkai foto yang terdapat foto dirinya dan kedua sahabatnya. Tangannya mengepal kuat hingga uratnya kelihatan. Matanya kembali memanas melihat senyuman bermekaran di sana.
Ia mendekat ke arah bingkai tersebut, meraihnya lalu melempar benda itu dengan kuat ke dinding, menyebabkan kaca pada bingkai tersebut pecah menjadi beberapa bagian. Namun, tidak dengan foto di dalamnya.
Napas pemuda itu terdengar memburu. Dia kembali mendekati bingkai tersebut. Bukannya meraih foto yang masih utuh itu, dia malah meraih sebuah pecahan kaca yang tajam. Dia menggenggam kuat pecahan kaca tersebut yang membuat darah begitu saja keluar dari telapak tangannya.
Melihat banyaknya darah, pemuda itu sama sekali tak gentar dan malah meraih pecahan berikutnya. Kemudian, dengan kesadaran penuh, dia menyayat pergelangan tangan kirinya. Beberapa kali, hingga akhirnya dia puas melihat darah yang terus mengalir tanpa henti.
Dia merasa lemas karena terus kehilangan banyak darah. Dia terduduk lemah di lantai dan perlahan pandangannya mulai menggelap. Dia tak sadarkan diri di ruangan itu. Sendirian dan tak ada seorang pun yang tahu keadaannya yang memilukan saat ini.
𝐒𝐎𝐕𝐄𝐋𝐘-𝐆𝐋𝐎𝐖 𝜗𝜚˚⋆ ©Arai_Rai
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgiven Mi • Davin Xodiac
FanfictionE-book project X-BLISS' author by [SOVELY-GLOW 𝜗𝜚˚⋆ ©Arai_Rai] A Kim Dabin fanfiction. [A. Friendship Mental ill] ִֶָ𓂃 ࣪˖ ִֶָ་༘࿐ Melawan diri sendiri atau melawan takdir? Kira-kira mana yang lebih baik? Ini kisah 3 remaja yang baru lulus dari SM...