#1. Hingga Fajar Menyingsing

133 4 0
                                    

Karena Seon-u telah menjadi pelayan sekaligus sahabat Gim Hwa-yeong sejak kedua gadis itu berusia 10 tahun, Seon-u tahu betul kisah cinta Hwa-yeong dengan Bak Gi-jeong.

Hwa-yeong dan Gi-jeong bertemu untuk pertama kalinya pada musim semi tiga tahun lalu, ketika Gi-jeong baru saja lulus dari Seonggyungwan, akademi Konfusianisme nomor satu di Dinasti Joseon.

Mereka adalah pasangan yang serasi.

Bagi Gi-jeong, Tuan Gim Seok—ayah kandung Hwa-yeong—adalah tokoh idola dan pahlawannya. Tuan Gim Seok merupakan seorang cendekiawan sekaligus guru besar Seonggyungwan.

Dan, bagai gayung bersambut, Tuan Gim Seok pun menyukai Gi-jeong. Pemuda itu cerdas dan gigih mengejar cita-citanya menjadi seorang Daesaheon (Inspektur Jenderal).

Bak Gi-jeong memang putra seorang bangsawan. Tapi, ayah Gi-jeong yang bernama Bak Eon-ji, lahir dari rahim seorang gisaeng (wanita penghibur).

Eon-ji tidak mendapatkan warisan dan diasingkan ke Nagan oleh kelima kakaknya. Oleh sebab itulah Gi-jeong tidak lahir dan besar di Hanyang, ibukota saat ini.

Pada usia sembilan belas tahun, Gi-jeong tiba di Hanyang.

Atas jerih payahnya sendiri, Gi-jeong diterima sebagai pelajar Seonggyungwan yang seleksi penerimaan pelajar barunya terkenal paling sulit seantero negeri.

Meskipun menyandang nama keluarga Bak yang terpandang sejak zaman Silla, Gi-jeong berjuang lebih keras dibanding pelajar lain demi mendapatkan beasiswa berupa biaya hidup selama tinggal di Hanyang.

Prestasinya yang cemerlang serta pribadinya yang sederhana membuat Tuan Gim Seok bersimpati pada Gi-jeong. Tuan Gim Seok pun banyak membantu Gi-jeong sampai pemuda itu menuntaskan studinya. Tuan Gim Seok juga menjodohkan pemuda itu dengan putri semata wayangnya, Hwa-yeong, yang seusia Gi-jeong.

Hwa-yeong gadis yang ceria serta ramah pada siapapun. Hwa-yeong tidak pandai menulis dan menyulam (biasanya kedua tugas itu dikerjakan oleh Seon-u, pelayannya), tapi dia pandai menyanyi dan menari. Hwa-yeong juga senang bermain peran.

Tentu saja, masih segar dalam ingatan Seon-u hari perdana ketika Gi-jeong bertemu dengan Hwa-yeong.

Hari yang sempurna, pasangan yang sempurna.

Hwa-yeong sendiri yang menyambut Gi-jeong di pintu masuk, lantas mengantar tuan sarjana muda itu ke ruang tamu untuk bertemu dengan Tuan dan Nyonya Gim.

Hwa-yeong dan Gi-jeong ternyata sama-sama lugu dan pemalu. Bahkan, pada saat berbincang-bincang dengan Tuan dan Nyonya Gim, Bak Gi-jeong yang biasanya pandai bicara dan percaya diri, mendadak berubah menjadi pemuda yang pendiam dan canggung.

Gi-jeong sangat gugup. Dia bahkan tak mampu mengangkat kepalanya yang tertunduk karena tak berani menatap langsung wajah Hwa-yeong.

Agar mereka menjadi akrab, setelah acara makan siang, Tuan Gim Seok memerintahkan Hwa-yeong menemani Gi-jeong jalan-jalan di taman kota.

Sambil mengobrol ringan—tepatnya berbisik-bisik dan tertawa malu-malu—mereka menyusuri bebatuan jalan setapak di antara beodeunamu (pepohonan willow) yang ranting-rantingnya menggantung seperti tirai dengan langkah-langkah lambat sampai senja tiba.

Tak disangka, pada saat makan malam, di hadapan Tuan dan Nyonya Gim, Gi-jeong bersimpuh dan melamar Hwa-yeong dengan suara lantang.

Pemuda yang sebelumnya tampak konyol karena kegugupannya itu mendadak berubah menjadi seorang pria jantan yang menawan.

Tentu saja lamaran Gi-jeong langsung diterima oleh Hwa-yeong dan orang tuanya.

Pernikahan mereka ditangguhkan sampai Gi-jeong diterima sebagai anggota Saheonbu (departemen penegak hukum nasional). Setelah bergabung dengan Saheonbu, kehidupan Gi-jeong pun benar-benar sibuk. Namun, tak peduli sesibuk apapun, Gi-jeong selalu menyempatkan diri mengunjungi tunangannya, setidaknya dua pekan sekali.

Seon-u tahu, Gi-jeong benar-benar mencintai Hwa-yeong, demikian pula sebaliknya.

Pasangan itu selalu tampak sangat bahagia ketika mereka bersama.

***

Bagaimanapun, takdir bisa memberikan kejutan, bukan?

Suatu pagi, Nyonya Gim menyuruh Seon-u mengajari pelayan baru tentang peraturan rumah tangga serta tugas-tugas si pelayan baru di kediaman Gim. Maka, tak seperti biasanya, Hwa-yeong belanja ke pasar seorang diri, tanpa Seon-u menemani.

Seon-u tak menyadari bahwa hari sudah gelap sementara Hwa-yeong masih belum kembali. Ketika Seon-u mulai khawatir dan berencana menyusul Hwa-yeong, tiba-tiba sepasang polisi datang.

"Apa kamu mengenali benda ini?" tanya salah seorang polisi sambil menunjukkan selembar sapu tangan kepada Seon-u.

Begitu melihat sapu tangan sutra bersulam nama Hwa-yeong itu, jantung Seon-u langsung berdebar cepat, sementara tubuh gadis itu mendadak gemetar dan lututnya terasa lemas.

Tanpa mempersilakan kedua polisi tersebut masuk, Seon-u bergegas menemui Nyonya Gim di kamar beliau.

"N-Nyonya! Sepertinya sesuatu yang buruk terjadi kepada Nona Hwa-yeong!" lapor Seon-u dengan perasaan yang tak menentu. "Tolong cepat ikuti hamba!"

Nyonya Gim yang sedang membordir sapu tangan, melempar peralatan jahitnya, dan berlari dengan panik mengikuti Seon-u ke gerbang rumah.

"Apakah Nyonya mengenali benda ini?" tanya polisi itu sekali lagi, kali ini dia menunjukkan sapu tangan itu kepada Nyonya Gim.

"Y-ya. Itu milik puteri saya," jawab Nyonya Gim ketakutan. "Apa yang terjadi?"

"Pada pukul tiga sore tadi, kami menemukan puteri Anda di salah satu gudang di pasar ikan... sayangnya, dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Kami menduga puteri Anda... dirampok dan dibunuh—"

Belum selesai polisi itu menjelaskan perkaranya, Nyonya Gim sudah ambruk tak sadarkan diri.

"Nyonya!" jerit Seon-u.

Air mata yang dibendungnya sekuat tenaga pun tumpah.

Seon-u memeluk Nyonya Gim dengan erat dan meraung, "NYONYAAA!"

***

Sudah berjam-jam Bak Gi-jeong duduk di hadapan altar kematian Gim Hwa-yeong. Beliau tampak terlalu tenang untuk seseorang yang sedang berduka. Pemuda itu bahkan masih bisa tersenyum menyambut para tamu dan berbicang ringan dengan mereka.

Meski sibuk hilir-mudik menghidangkan makanan dan minuman untuk para tamu, sesekali Seon-u memperhatikan tuan muda itu dengan khawatir.

Seon-u tahu Gi-jeong belum makan apapun sejak jenazah Hwa-yeong ditemukan 36 jam yang lalu. Seon-u pun tahu, Gi-jeong hanya mengisi perut kosongnya dengan sebotol arak. Seon-u mendengar tuan muda itu muntah-muntah tadi pagi.

Gi-jeong tampak sakit. Wajahnya pucat pasi. Badannya banjir keringat.

Larut malam, setelah tamu-tamu pulang, Gi-jeong masih bergeming di hadapan altar Hwa-yeong. Seon-u semakin mengkhawatirkan kondisi sang tuan muda. Seon-u pun memberanikan diri menghampirinya dengan membawa semangkuk sup nasi.

"Tuan." Seon-u berlutut dan meletakkan mangkuk sup itu di depan Gi-jeong. "Maafkan kelancangan hamba, tapi Tuan harus makan. Hamba mohon."

Selama beberapa saat Gi-jeong tidak menanggapi permohonan Seon-u, tetapi kemudian Gi-jeong menghela napas berat dan menatap Seon-u.

"Seon-u-ya." Gi-jeong tersenyum getir. "Semua ini terasa seperti mimpi buruk, ya? Kuharap seseorang membangunkanku."

Seon-u membalas tatapan Gi-jeong dan tak sanggup berkata-kata.

Sebutir demi sebutir air bening menetes-netes dari sepasang mata sayu Gi-jeong yang kemerahan karena kurang tidur.

Memalingkan wajahnya yang basah, pemuda itu menarik napas dalam-dalam sekali lagi.

"Ini semua salahku," sesal Gi-jeong. "Seharusnya aku segera menikahinya."

"Tidak, Tuan, ini salah hamba!" Seon-u lekas bersimpuh. "Seharusnya hamba menemani Nona Hwa-yeong hari itu!"

Seon-u pun menangis tersedu-sedu.

"Hamba tidak pantas hidup..." isaknya. "Kesalahan hamba tidak pantas diampuni..."

Gi-jeong membisu. Sang tuan muda hanya menyandarkan kepalanya yang pening ke dinding ruang duka yang dingin. Bersama Seon-u, pelayan Hwa-yeong yang setia, Gi-jeong membasuh lara dengan air mata hingga fajar menyingsing.

[Akhir Bab 1]

Calon Gundik Tuan Besar (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang