"Kak Bible.." Suara lembut itu mengalun indah. Sebenarnya, tidak ada yang salah. Apalagi senyuman secerah matahari yang terukir diparas manis lelaki yang lebih muda.
Langkah pasti itu menuntunnya, membawa ia memasuki ruang kerja manusia dingin yang sepertinya murka. "Kok lihat Biu kayak lihat hantu." Mulutnya mencebik kesal. Namun ia tak berhenti, justru kini dirinya telah duduk tepat dihadapan sang pemilik ruangan.
"Aku sedang banyak pekerjaan. Untuk apa kau kemari setiap hari?" Nada ketus itu sudah biasa Biu dengar. Sejujurnya itu membuat Bible terlihat lebih menawan dimatanya.
"Biu belum makan siang lho." Gumamnya sembari menempelkan tubuh depannya pada meja kerja Bible.
"Lalu? Apa aku harus menyuapimu?" Sindir yang lebih tua dengan pedas.
"Boleh.." Biu cekikikan ketika mendapat tatapan maut dari wakil direktur itu.
"Pergilah, aku benar-benar sedang lelah."
"Tidak sebelum kita makan bersama." Bible menghela nafas. Jika saja dihadapannya bukan anak dari rekan kerja ayahnya, mungkin ia sudah membalikan meja.
Mengenal Biu bertahun-tahun tidak berarti membuat Bible menemukan cara menanganinya. Bocah itu sangat menyebalkan, membuat ia kesal namun tak bisa melakukan apa-apa.
"Paman bilang kak Bible bisa diajak makan siang. Makanya Biu kemari." Tanpa dosa, Biu memamerkan senyum lesung pipi andalannya. Sayang seribu saya hanya dengusan yang menjadi jawaban dari Bible. Pria itu sama sekali tidak terpesona.
"Aku tidak bisa."
"Tapi papaku dan paman Sam menunggu kita."
"Apa?" Bible menengakan tubuhnya seketika. Mengalihkan fokus dari berkas yang sedang dipelajarinya. "Papamu? Papamu ada di sini?"
"Iya, menunggu di bawah untuk makan siang bersama."
"Bukannya papamu sedang ada di Australia?"
"Sudah pulang." Biu mengedikan dahinya. "Mungkin pekerjaannya sudah selesai."
Bible menatap putra semata wayang Bara Puttha beberapa saat sebelum bangkit berdiri, mengambil jasnya yang tergantung dibelakang tubuhnya. "Kenapa tidak bilang dari tadi kalau paman Bara menunggu."
"Ini bilang." Biu mencebik. "Kalau ada papa saja semangat, kalau Biu yang ajak makan siang tidak peduli."
"Aku akan menyuapimu. Ayo jangan banyak bicara." Bible melangkah lebih dulu, tak peduli pemuda yang duduk di ruangannya berteriakan kegirangan.
"Kak Bible benar mau menyuapi Biu?!" Pekik Biu senang sembari melompat-lompat.
"Di mana papamu menunggu? Di lobi?" Tanya Bible mengalihkan pembicaraan.
"Tunggu dulu," Biu menarik tangan yang lebih tua hingga keduanya berhenti melangkah. "Benar mau menyuapi Biu?"
"Iya." Bible menjawab cepat. "Jadi di mana papamu?"
"Ayo Biu antar." Biu memeluk tangan kekar yang lebih tua tanpa canggung. Melingkarkan tangannya di sana dengan nyaman.
Bible sendiri tidak terlalu peduli, asalkan bisa bertemu Bara, apa pun akan ia lakukan.
Sebagai pebisnis, tentu saja Bible tahu, Bara Puttha adalah manusia yang harus ia jadikan partner bagaimana pun caranya.
Ayah dari bocah manja yang bergelayut ditangannya itu adalah tiket emas menuju puncak kejayaan yang ia idam-idamkan.
***
"Begitu paman, aku akan melakukan presentasi resminya segera."
Bara Puttha mengangguk setelah mendengar sekilas mengenai rencana bisnis yang ditawarkan oleh putra dari sahabatnya.
"Kau sangat cerdas, seperti ayahmu." Pria tua itu terkekeh. "Baiklah mari kita bicara mengenai pekerjaan lain waktu. Hari ini paman akan meneraktir ayahmu dan kau untuk urusan lain."
"Tentu saja Bar," Ayah Bible tertawa canggung. Sebab putranya yang langsung menembak Bara dengan masalah bisnis. "Hari ini kita santai saja."
Senyum diwajah Bible luntur, pria itu akhirnya mengangguk setelah ayahnya menendang kakinya di bawah meja.
"Sam, terimakasih sudah menjaga Biuku." Pria paruh baya itu menepuk pundak sahabat seperjuangannya. "Meninggalkan dia berminggu-minggu membuatku hampir mati karena khawatir. Untung kau dan Bible mau merawatnya."
"Tidak perlu begitu Bar, Biu sudah seperti putraku sendiri. Lagi pula dia sangat manis dan menyenangkan." Sambut ayah Bible.
"Apa pun itu, terimakasih. Sampaikan juga terimakasihku pada istrimu."
Sam mengangguk. "Baiklah, ah dia minta maaf karena tidak bisa menemuimu hari ini."
"Biu, bilang terimakasih pada paman Sam dan kak Bible."
"Sudah kok." Biu tersenyum lebar.
"Ayo bilang lagi."
"Baiklah, baiklah." Biu melirik Sam dan Bible bergantian. "Calon ayah mertua, calon suami, terimakasih sudah menjaga Biu selama papa di Australia."
"Hei, katakan dengan benar." Bara mencubit pipi gembul anaknya.
"Ih!" Biu merenggut. "Itu sudah benar."
"Astaga anak ini." Bara memijat pelipisnya. "Pasti dia sangat merepotkan dengan tingkahnya. Sam, Bible, maafkan Biu ya."
"Tak apa paman." Jawab Bible meski dengan wajah datar.
"Biu begitu terang-terangan." Bara kembali mencubit pipi gembil itu. "Padahal Bible tidak menyukaimu. Membuat papa malu saja."
"Kata siapa kak Bible tidak suka." Biu melotot. "Kak Bible bukan tidak suka pa, tapi belum suka."
Bara mengusap tengkuknya lalu tertawa. "Serius sekali anakku. Sudah, Biu mau pesan apa sayang?"
Biu mencebik, matanya lalu mendelik pada Bible. "Kak Bible memang tidak suka pada Biu?"
Bible tersedak, air minum yang baru saja melewati tenggorokannya kembali naik keatas.
Pria itu terbatuk kencang.
"Jadi benar tidak suka? Bukan belum?" Tuntut Biu lagi.
Suasana seketika menjadi canggung.
"Suka." Jawab Bible sekenanya. "Kita duduk di dalam, papamu dan ayah mungkin ingin merokok." Mengakhiri pembahasan aneh menurutnya itu, Bible lalu menuntun Biu dengan lembut untuk pindah meja.
Sementara Biu tak bisa
"Kami makan di dalam saja ayah, paman." Pamitnya.
Dua mata lelaki paruh baya tidak bisa lepas dari putra mereka. Bible selalu nampak dingin, semua orang tau itu. Tetapi jika itu Biu, ia menjadi lunak. Entah pria itu sadar atau tidak.
"Mereka sudah bersama sejak kecil, apa putraku punya kesempatan Sam?" Tanya Bara tanpa melihat sahabatnya itu.
"Bukankah aku yang harus bertanya itu, apa Bible bisa kau terima?"
***
"Jangan membahas hal aneh di depan orang tua kita." Bible membawa Biu ke toilet. Pria itu memegang pundak yang lebih muda dan menatapnya tajam.
"Hal aneh apa?"
"Hal aneh seperti tadi. Untuk apa membahas perasaan denganku. Kau bocah kecil."
"Tapi kak Bible bilang suka pada Biu."
"Tentu saja tidak." Bible berdecih. "Sudahlah, kau dimataku hanya seperti adik. Tidak lebih. Mari lupakan perasaan cinta monyetmu itu Biu."
Telapak tangan Biu mengepal, dalam sekejap mata air mata berkumpul dikelopak indahnya. "Jahat." Gumamnya dengan suara bergetar.
Melihat reaksi Biu yang diluar bayangannya, Bible panik seketika. "Kau mau menangis? Biu? Jangan menangis!"
Biu menunduk, wajah putihnya memerah.
Bible kira si manis akan mengamuk, tentu melihat Biu menangis tidak ada dalam rencananya.
Satu air mata jatuh. Membasahi lantai yang dingin. Untungnya toilet siang itu sepi tanpa lalu lalang. Jika tidak mungkin Bible akan dikira melukai balita.
"Jangan menangis.." Bible menangkat dagu si manis dengan tangannya. Namun Biu segera menepisnya.
"Biu tidak akan menginap lagi di rumah kak Bible. Kita cerai."
Bible mengernyit. "Kapan kita menikah?" Tanyanya heran.
"Pokoknya Biu marah."
Bible ingin kembali mendebat Biu, namun ekor matanya menangkap seseorang berjalan mendekat.
"Sial." Gumamnya.
Wajah Biu penuh air mata, dan orang itu semakin mendekat.
"Awas Biu mau ke pa—"
Dunia berputar.
Biu tidak mungkin terbang ke awan.
Tetapi apa ini surga.
Dua tangan kokoh idamannya itu memeluk tubuh rampingnya.
Deru hangat nafas pria yang ia cinta sejak lama berhembus dilehernya. Bible menelusup di sana.
Merenggut keinginan Biu untuk beranjak.
"Maaf, jangan menangis." Bisik Bible membawa lemas pada sekujur tubuh si manis.
Biu tak berdaya. Bible memulai tipu daya.
***
Helo gais!
Aku nulis disela-sela kerja, jadi maapkan kalo ada typo xixi
Luve all 😍🫶🏻