Bocah kecil

573 77 14
                                    

"Kak Bible.." Suara lembut itu mengalun indah. Sebenarnya, tidak ada yang salah. Apalagi senyuman secerah matahari yang terukir diparas manis lelaki yang lebih muda.

Langkah pasti itu menuntunnya, membawa ia memasuki ruang kerja manusia dingin yang sepertinya murka. "Kok lihat Biu kayak lihat hantu." Mulutnya mencebik kesal. Namun ia tak berhenti, justru kini dirinya telah duduk tepat dihadapan sang pemilik ruangan.

"Aku sedang banyak pekerjaan. Untuk apa kau kemari setiap hari?" Nada ketus itu sudah biasa Biu dengar. Sejujurnya itu membuat Bible terlihat lebih menawan dimatanya.

"Biu belum makan siang lho." Gumamnya sembari menempelkan tubuh depannya pada meja kerja Bible.

"Lalu? Apa aku harus menyuapimu?" Sindir yang lebih tua dengan pedas.

"Boleh.." Biu cekikikan ketika mendapat tatapan maut dari wakil direktur itu.

"Pergilah, aku benar-benar sedang lelah."

"Tidak sebelum kita makan bersama." Bible menghela nafas. Jika saja dihadapannya bukan anak dari rekan kerja ayahnya, mungkin ia sudah membalikan meja.

Mengenal Biu bertahun-tahun tidak berarti membuat Bible menemukan cara menanganinya. Bocah itu sangat menyebalkan, membuat ia kesal namun tak bisa melakukan apa-apa.

"Paman bilang kak Bible bisa diajak makan siang. Makanya Biu kemari." Tanpa dosa, Biu memamerkan senyum lesung pipi andalannya. Sayang seribu saya hanya dengusan yang menjadi jawaban dari Bible. Pria itu sama sekali tidak terpesona.

"Aku tidak bisa."

"Tapi papaku dan paman Sam menunggu kita."

"Apa?" Bible menengakan tubuhnya seketika. Mengalihkan fokus dari berkas yang sedang dipelajarinya. "Papamu? Papamu ada di sini?"

"Iya, menunggu di bawah untuk makan siang bersama."

"Bukannya papamu sedang ada di Australia?"

"Sudah pulang." Biu mengedikan dahinya. "Mungkin pekerjaannya sudah selesai."

Bible menatap putra semata wayang Bara Puttha beberapa saat sebelum bangkit berdiri, mengambil jasnya yang tergantung dibelakang tubuhnya. "Kenapa tidak bilang dari tadi kalau paman Bara menunggu."

"Ini bilang." Biu mencebik. "Kalau ada papa saja semangat, kalau Biu yang ajak makan siang tidak peduli."

"Aku akan menyuapimu. Ayo jangan banyak bicara." Bible melangkah lebih dulu, tak peduli pemuda yang duduk di ruangannya berteriakan kegirangan.

"Kak Bible benar mau menyuapi Biu?!" Pekik Biu senang sembari melompat-lompat.

"Di mana papamu menunggu? Di lobi?" Tanya Bible mengalihkan pembicaraan.

"Tunggu dulu," Biu menarik tangan yang lebih tua hingga keduanya berhenti melangkah. "Benar mau menyuapi Biu?"

"Iya." Bible menjawab cepat. "Jadi di mana papamu?"

"Ayo Biu antar." Biu memeluk tangan kekar yang lebih tua tanpa canggung. Melingkarkan tangannya di sana dengan nyaman.

Bible sendiri tidak terlalu peduli, asalkan bisa bertemu Bara, apa pun akan ia lakukan.

Sebagai pebisnis, tentu saja Bible tahu, Bara Puttha adalah manusia yang harus ia jadikan partner bagaimana pun caranya.

Ayah dari bocah manja yang bergelayut ditangannya itu adalah tiket emas menuju puncak kejayaan yang ia idam-idamkan.

***

"Begitu paman, aku akan melakukan presentasi resminya segera."

The Heirs Where stories live. Discover now