25: Puncak Hilangnya Harapan 2

Mulai dari awal
                                    

#####

Setelah sampai, kami memilih meja di sudut yang agak tersembunyi, jauh dari pengunjung lain. Chika memesan minuman favoritnya, dan aku memesan kopi hitam, mencoba mengalihkan perasaanku yang berkecamuk.

Aku masih terdiam, mataku tertuju pada Chika yang dengan tenang menikmati kopinya. Aku mencoba meredakan kekacauan dalam pikiranku, tetapi rasanya seperti badai yang tak kunjung reda. Pandanganku tetap tertuju padanya, berharap bisa mendapatkan jawaban atas semua kegelisahanku.

Tanpa peringatan, Chika mengajukan pertanyaan yang membuat jantungku berdetak lebih kencang. "Kak, apa kakak mencintai Gito? Atau hanya sebagai pelampiasan obsesi kakak? soal kakak yang merasa sempurna dan merasa semua yang kakak inginkan harus jadi milik kakak?"

Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk dadaku. Aku terkejut, dan untuk sesaat aku kehilangan kata-kata. Namun, aku tahu aku harus menjawabnya.

"Iya," jawabku singkat, meski hatiku terasa sesak.

Chika tersenyum, senyum yang sedikit mengejek, seolah dia tahu sesuatu yang aku sendiri belum menyadarinya sepenuhnya.

"Iya," lanjutku, suaraku mulai terdengar lebih tegas. "Aku begitu terobsesi dengan apa yang aku inginkan. Dan yang aku inginkan hanya Gito. Apa pun akan aku lakukan untuk bisa memilikinya. Apa pun itu."

Chika menatapku dengan intens, seolah sedang menilai setiap kata yang aku ucapkan. "Lalu, bagaimana denganmu, Chika? Apa kau punya perasaan dengan Gito?" tanyaku, mencoba membalikkan pertanyaannya.

Dia tertawa, tawa yang terdengar sedikit menantang, dan kemudian mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Keliatan banget ya," jawabnya dengan nada yang sulit diartikan.

Jantungku berdetak lebih kencang. Apakah Chika benar-benar mencintai Gito? Jika iya, apakah Gito akan memilihnya dibandingkan aku?

Namun, sebelum aku sempat melanjutkan pikiranku, Chika kembali tertawa, kali ini dengan lebih antusias.

"Hahaha. Huh-huh," tawanya terputus-putus, seperti ada sesuatu yang lucu baginya.

"Tak lah kak. Kakak tenang saja. Hubungan aku dengan Gito hanya sebatas teman sejak kecil. Aku menganggapnya sebagai adikku, dan dia juga menganggapku sebagai adiknya. Sebatas itulah hubungan kita." Jelas Chika

Aku menatapnya, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan di wajahnya. "Aku tak yakin kamu jujur, Chika. Lalu, di mana sekarang Gito? Apa kamu juga tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Kenapa sampai-sampai dia cuti dari kuliahnya?"

Chika hanya tertawa lagi, kali ini dengan nada yang terdengar lebih sinis. "Anda benar-benar lucu, Nyonya Natio. Saya sudah jujur banget nih, lho."

Kesabaranku mulai habis. "Apa yang terjadi dengan Gito?" tanyaku dengan nada yang hampir putus asa. Rasa frustrasi merambat di suaraku, dan aku tak lagi bisa menahan emosi yang membara di dalam diriku.

Senyum dan tawa Chika tiba-tiba hilang, wajahnya berubah serius. "Dia sedang tak baik-baik saja sekarang, Kak. Jangan merasa paling sengsara, keadaan Gito tak lebih buruk dari kakak."

"Apa maksudmu? Apa yang terjadi?" tanyaku lagi, perasaan khawatirku semakin dalam.

Chika menatapku dengan pandangan yang sulit dibaca. "Soal itu, aku minta maaf. Aku sudah berjanji untuk tidak memberi tahu siapa pun."

Jawaban itu membuatku semakin frustasi. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa Chika, yang seharusnya hanya seorang teman, tahu lebih banyak tentang keadaan Gito daripada aku, pacarnya?

"Tapi," lanjut Chika, "mungkin beberapa hari lagi aku bisa pastikan dia kembali ke kakak. Namun entah kembali ke samping kakak atau," dia berhenti sejenak, menimbang-nimbang kata-katanya, "atau berpamitan."

Kata-kata itu menamparku keras, lebih menyakitkan dari apa pun yang bisa aku bayangkan. Gito... berpamitan? Apa maksudnya? Apakah ini akhir dari hubungan kami? Kenapa Chika yang menyampaikan ini, bukan Gito sendiri?

Tanpa memberikan kesempatan untuk bertanya lebih lanjut, Chika berdiri dari kursinya, bersiap untuk pergi. "Kak, aku harap kamu bisa bersabar. Semuanya akan baik-baik saja, atau setidaknya aku harap begitu."

Dengan kata-kata terakhir itu, dia melangkah pergi, meninggalkan aku yang masih duduk terpaku, terjebak dalam lautan emosi dan kebingungan.

Saat chika mulai bangkit, ia teringat sesuatu. Ia kembali duduk menghadap shani yang terlihat sangat terpuruk.

***


"Oh ya, aku lupa sesuatu. Tapi sebelumnya, boleh tidak aku bertanya, sebenarnya kak shani cinta dengan gito atau tidak?"

Aku yang masih merasa tertekan dan mendengar pertanyaan itu, tentunya aku belum kuat berbicara. Aku hanya mengangguk saja sebagai jawaban.



"Lalu siapa Marchel itu kak?"






















Hy kawan....

Beberapa minggu tak jumpa....

Tak terasa udah lumayan jauh juga ya cerita ini....

Boleh gak ya, kalo gue minta vote dong...

Suka atau pun tidak...

Karna, di sini apresiasinya hanya ngevote doang....

Itu juga buat gue lebih bahagia....

Boleh gak? Kalau gua minta vote totalnya 2000?....

Kalau belum sampai 2000 aja...

Gua pending dulu nih cerita....

Bye....

CERITA DIBALIK KONTRAK (GITSHAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang