4

590 54 1
                                    

"Roti ini enak sekali, roti di penjara tidak ada rasanya" gumam Kim sambil menjilati jari-jarinya yang belepotan dengan krim cokelat.

"Jangan berbuat seenaknya di apartemenku" Jeon menatap Kim seperti akan meremukannya dengan tatapannya itu.

Kim tetap diam dan tetap memakan rotinya, menganggap seperti Jeon tidak pernah ada.

Beberapa saat kemudian, Jeon baru saja selesai mandi. Jeon merenung, bagaimana bisa dia membiarkan seorang tahanan berada di apartemennya? Pemuda manis itu berusaha untuk memikirkan solusinya. Jika dia memberitahu pada Yohan, tentu saja Yohan akan menangkap Kim, dan komplotan Kim di luar sana pasti akan bergerak untuk membunuh keluarganya. Apalagi, komplotan Kim mungkin sudah mengantongi identitas keluarganya. Karena Jeon dengar-dengar dari berita dan beberapa kali rapat dengan kepolisian beberapa tahun lalu, komplotan Kim adalah kelompok pembunuh bayaran elit yang bergerak dengan profesional. Untuk mencari identitas sebuah keluarga, apalagi keluarga biasa seperti Jeon, pasti mudah dilakukan.

Pemuda manis itu mondar-mandir di depan toilet.

Bagaimana jika dia menyuruh keluarganya untuk pergi ke suatu tempat dulu? Atau bersembunyi di suatu tempat?

Tapi Jeon kembali menggeleng, keluarganya mempunyai sebuah toko baju yang lumayan laris dan keluarganya terus-terusan memantau itu, tidak mungkin keluarganya meninggalkan bisnisnya. Ditambah, bagaimana caranya Jeon menjelaskan jika ada seorang tahanan lepas yang tiba-tiba mengancamnya? Pastilah keluarganya panik dan melapor polisi, Jeon kenal betul dengan perangai ibunya. Jika ada suatu masalah yang menimpa anaknya, pasti sang ibu akan melakukan apapun dengan keras kepala dan tidak bisa dicegah. Jika itu terjadi, mungkin Kim memang akan masuk ke penjara lagi  berkat laporan ibunya. Namun, sebuah komplotan pembunuh bayaran pasti akan mengejar keluargany. Tidak, Jeon tidak mau itu terjadi. Dia buntu. Dia terkena skakmat.

Pemuda manis itu kemudian memilih untuk pergi ke kamarnya dengan pikiran kacau. Tapi, sesampainya di kamar, pikiran Jeon bertambah kacau lagi.

Kim tidur di atas kasurnya dengan merentangkan tangan dan kakinya, berlagak seperti telah memiliki apartemen itu berikut dengan isinya.

"Kau tidur di kamar tamu" jelas Jeon.

Kim menatap Jeon dengan pandangan kosong—seperti pandangan biasanya ketika dia dipenjara.

"Bukankah kita bisa tidur bersama?" suara serak Kim mengambang di udara dan menyakiti telinga Jeon.

Set!

Tak!

Dan sebuah vas bunga langsung menghantam wajah Kim, membuat hidung mancungnya berdarah.

"Sial,  kemampuan menghindarku sudah tumpul" Kim langsung terbangun—duduk di pinggir kasur sambil mengusap hidungnya yang berdarah dengan lengan baju tahanan yang berwarna abu. Sementara, Jeon mengeraskan rahangnya.

"Keluar" suara pemuda manis itu penuh dengan tekanan.

Mata gelap Kim menatap tajam ke arah manik biru Jeon yang berkilat marah.

"Awas saja kau" gumam Kim, hampir tidak terdengar, namun Jeon bisa melihat dari gerakan bibirnya. Pemuda bermata gelap kemudian berjalan keluar dari kamar Jeon, melewati sang pemuda manis dengan gerakan cepat.

Kim's POV

Aku meninggalkan kamar sipir itu, namun aku tidak merasa marah. Malahan, aku merasa gemas. Tidak tau kenapa, apa aku terpengaruh omongan Alan? Tidak, tidak. Aku tidak menyukainya. Jujur, aku hanya tertarik dengan parasnya yang imut. Selebihnya tidak.

Oh Alan, bagaimana keadaannya sekarang? Kemana dia melarikan diri? Semoga saja dia tidak ditangkap kembali oleh para polisi, karena ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk tidak menahan diri  di penjara, apalagi apa yang dilakukan Alan menurutku sudah benar; mengirim seorang penjahat seksual ke neraka. Alan patut diberikan mahkota, bukan sebuah baju tahanan.

CRIME WITH VICLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang