Jilid Ketigapuluh Dua

188 34 18
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Luka hati memang tidak memiliki obat yang pasti, selain berserah dan berdamai akan takdir Sang Illahi."

Hamna membuka matanya secara perlahan saat mencium aroma yang cukup menyengat di sekitar indra pembaunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hamna membuka matanya secara perlahan saat mencium aroma yang cukup menyengat di sekitar indra pembaunya. Dia berusaha untuk menarik diri dengan bantuan Hamzah, sampai akhirnya bisa duduk bersandar di sofa.

"Sa-sa-ya harus menemui gadis itu, A saya harus menemuinya sekarang juga. Mulut saya sudah sangat jahat menghinanya, bahkan saya menyeret paksa dia untuk keluar dari balai desa, padahal saya tahu kakinya sedang terluka. Saya ibu yang buruk, say---"

Hamzah memeluk Hamna agar istrinya berhenti meracau tak jelas. Dia elus lembut punggungnya, berharap bisa sedikit memberi rasa tenang. Tapi, isakan pilu justru kian semakin kencang.

"Saya akan membawa Harastha pulang dan tinggal bersama kita. Sudah ya, Na, jangan nangis lagi," tutur Hamzah seraya menyeka air mata Hamna.

Deheman kencang yang berasal dari Hamizan menginterupsi keduanya. "Papa sama Buna berhutang penjelasan sama Hamizan!"

"Ham, Na, saya rasa kami harus pamit sekarang," ungkap Dipta merasa sangat tidak pantas untuk lebih berlama-lama lagi di sana.

"Masih ada hal yang harus kita bahas ihwal Hamizan dan juga Naqeesya. Tapi, saya harap kalian mau sedikit bersabar untuk memberi kami waktu, menuntaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara saya dan juga Hamizan," sahut Hamzah.

Dipta mengangguk singkat. "Perlukah kami keluar terlebih dahulu?"

Hamzah menggeleng. "Nggak perlu, Dip."

Setelahnya pandangan Hamzah fokus pada sang putra. "Maaf kalau harus dengan cara seperti ini kamu mengetahuinya. Kamu terlahir kembar, tapi karena satu dan lain hal membuat saudari kembar kamu dirawat oleh orang tua mendiang Om Haikal. Papa tahu, ini sangat amat keliru. Merahasiakan sebuah fakta, yang seharusnya sudah Papa ungkap dari sejak lama."

Digenggamnya erat tangan Hamna. "Abang, kan tahu kalau Buna sangat menginginkan anak perempuan, ya karena Buna ingin tetap merasakan kehadiran kembaran kamu. Tapi, Allah nggak mengizinkannya, kan? Papa memutuskan untuk merahasiakan ini dari kamu, Hazman, dan juga Hazami karena Papa nggak siap untuk menerima banyak pertanyaan dari kalian. Kesehatan psikis dan mental Buna jadi hal paling utama bagi Papa, karena sampai detik ini pun Buna masih kerapkali dihantui rasa bersalah."

"Papa nggak mau Buna terus-menerus terbelenggu luka masa lalu. Selagi mencari waktu yang tepat untuk berterus terang pada kalian, Papa berusaha untuk mencari keberadaan kembaran kamu sampai akhirnya Papa bertemu dengan Harastha. Di pertemuan pertama Papa sudah merasa yakin, kalau dia memanglah putri kami. Namun, Papa belum cukup memiliki bukti, dan Papa nggak pernah memprediksi bahwa akan serumit ini akhirnya."

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang