24. Backstreet || 21+

321 6 0
                                    

Selama proses syuting dengan Mas Kun, energi gue selalu full. Gue diajak latihan dance digedung agensinya. Disela-sela lengahnya orang-orang di sekitar, Mas Kun selalu mencuri cara agar bisa sekadar menggenggam tangan gue.

Seperti sekarang, dia dengan monitoring di ponsel pelatihnya untuk memantau perkembangan latihannya hari ini. "Tangannya agak dikasih power, itu poin utamanya." Gue ikut nimbrung karena gue penasaran saja. Tak tahunya malah dibuat kesempatan buat Mas Kun. Awalnya gue menolak, tetapi genggaman Mas Kun terlalu erat.

Sampai suara Mas Jo membuat kami sadar. "Vin, gue kebelet nih, lo bisa handle kamera kan?"

Yayan tidak ikut syuting ini. Mas Jo memasang dua sudut kamera di depan dan sudut kanan. "Nanti lo tinggal atur aja, kan lo asisten produsernya."

"Bisa kan?"

Gue menghampiri Mas Jo. "Bisa, Mas."

"Kita di sini cuma mau sedikit ambil gambar kan?" Gue mengangguk. Di ruang latihan ini kami akan sedikit wawancara untuk mengambil gambar.

Proses syuting juga sudah sedikit longgar. Mungkin, tempat ini bakal menjadi tempat terakhir syuting sebelum malam konser itu tiba.

Proses latihan tidak harus diliput semua. Butuh beberapa film saja.

"Mau istirahat dulu? Sekalian hafalin gerakannya." Suara pelatih Mas Kun mengintrupsi ruangan.

"Boleh," jawab Mas Kun.

"Gue keluar sebentar," pamit pelatih Mas Kun.

Di ruangan ini tersisa gue, Mas Kun, dan Pak Gagah, menajer Mas Kun.

Dia menghampiri gue yang tengah mematikan kamera. "Udah banyak gambarnya?" tanya Mas Kun dari belakang gue.

"Udah, lumayanlah. Ini tempat syuting terakhir kan," kata gue.

Setelah ini, gue bakal jarang bertemu Mas Kun lagi di tempat syuting. Kami akan disibukkan dengan kesibukan masing-masing.

"Aku sidang minggu depan. Kamu ke sana kan?"

"Nunggu perintah aja sih. Kan ada tim lain yang ngikutin kasus kamu," jawab gue.

Padahal aku ingin menyaksikan sidang akhir Mas Kun. Sidang akhir yang menentukan apakah dia bersalah atau tidak setelah berbulan lamanya kasus ini berjalan. Mas Kun memang masih melakukan kegiatan syuting, tetapi dia masih dalam pengawasan kepolisian. Kasus Mas Kun juga sudah menemukan titik terang yang dinilai bakal menang besar dalam kasusnya.

Kalau dia terlihat mesum dengan gue akhir-akhir ini, mungkin bisa dibilang kasus ini memang adanya. Mas Kun bisa saja melakukan hal ini kepada perempuan yang diduga korban. Namun, adanya speak up Nessie soal Richard, bisa jadi Mas Kun yang jadi pemenangnya.

Gue enggak berharap banyak. Meskipun, perasaan ini sudah tumbuh kembali. Melihat keyakinannya yang bakal menang dalam sidang ini, gue yakin dia yang bakal menang. Bukan berarti gue membela kasus pelecehan, tetapi melihat keyakinan Mas Kun, dia bakal menang.

"Aku pengin kamu menyaksikan kalau aku enggak seburuk itu," ujarnya di depan gue. "Aku kangen peluk kamu deh."

Dia memeluk dan mengalungkan tangannya di leher gue. "Ada Pak Gagah." Gue melapas pelukannya.

"Berarti kalau enggak ada, aku bisa bebas peluk dan cium kamu di sini dong." Mas Kun memainkan kedua alisnya yang tebal.

"Pak, bisa beliin kopi di bawah enggak?" titah Mas Kun yang buat gue melotot ke arahnya. Benar-benar si raja modus dia.

"Hem," sahut Pak Gagah manajer sekaligus asisten pribadinya. Meskipun, Pak Gagah lebih tua, tetapi dia seolah mau-mau saja diperintah oleh Mas Kun.

Di bawah gedung ini ada coffee shop yang ramai.

"See, kita bisa pelukan sepuasnya," ucapnya menakutkan.

Karena gue juga kangen dia, gue menghampirinya dan menyambut pelukannya yang penuh damba. Kadang cinta bisa membuat orang hilang akal.

"Pengin cium," ujarnya.

"Ngelunjak," manja gue.

"Biar semangat pas latihan tanpa kamu di sini."

Padahal belum ada ikatan apapun. Tetapi, kami melebihi orang pacaran. Gue menerima ciumannya yang begitu lembut di bibir gue. Bibirnya yang kenyal terus menyesap bibir bawah gue.

"Akhh."

Desahan gue lolos. Ciuman penuh napsu dan rindu beradu. Lidah Mas Kun bahkan menyusup ke dalam mulut gue. Gue tambah menekan tengkuk Mas Kun supaya ciuman kami lebih dalam lagi. Pertemuan lidah kami yang kian memanas membuat Mas Kun hilang kendali. Dia bahkan menyingkap kaos gue sedikit ke atas dan tangannya menangkup kedua bongkahan daging kenyal. Dua bongkahan gading itu diremas halus sampai gue menggelinjang  kaget.

"Ahhh." Desahan Mas Kun juga lolos dari mulutnya.

Dia melepaskan ciumannya. Dia sedikit ketawa saat menyadari tangannya masih menyusup ke dalam payudara gue. "Tangan nakal," ujarnya membuat gue tertawa. Dia melepaskan tangannya dari sana.

"Aku takut keblabasan. Berabeh kalau kita ngewe di sini."

Mata gue melotot. Astaga, gue enggak salah dengar kan kalau dia ngomong sefrontal itu. "Mulut kamu Mas, kaya enggak sekolah aja," tegur gue. Kalau boleh jujur, gue juga suka dia sefrontal itu.

"Maaf, kebawa napsu habisnya."

Kejadian yang terjadi secara singkat tadi benar-benar panas. Beruntung setelah itu pelatih dan Mas Jo baru masuk. Kemesuman Mas Kun sepertinya di dukung oleh semesta.

Setelah latihan beberapa jam di ruangan ini, saatnya kami sedikit wawancara. Ini bukan hari pertama latihan dengan gue. Perkembangannya akan terus dipantau di depan kamera, tetapi gue enggak melulu di sini, masih ada job lain gue.

"Kameranya mati?" tanya Mas Jo.

"Iya, tadi istirahat dulu. Ini juga belum dimulai," kata gue kikuk. Untung tidak ketahuan.

Hubungan kami tidak ada yang mengetahui selain Pak Gagah. Mas Jo hanya tahu kalau gue dan Mas Kun hanya sekadar mantan saja.

Dan, kalaupun kami nanti balikkan, gue enggak mau publish ke siapapun. Gue ingin hidup tenang.

Siapa sangka hubungan kami semakin membara saja setelah sekian lama putus.

____

Pulang terjebak macet. Motor gue yang sudah melewati banyak kenangan sampai juga di depan kos. Gue sudah melaporkan semua hasil kerjaan ini ke kantor.

Baru saja gue membuka pintu kamar, pesan masuk membuat gue penasaran.

Mas Kun
Udah sampe?
Aku kangen

Me
Baru nih
Dih, alay

Mas Kun
Kapan-kapan kamu nginep di rumah. Rumah ini sepi banget.

Me
Biasanya kan, sepi. Dari dulu juga sepi.

Mas Kun
Kaku ramein dong.
Pengin peluk

Me
Yakin peluk doang?

Gue menendang-nendang udara. Sialan, pesan gue seolah menggoda dirinya.

Tak lama dari itu, Mas Kun menghubungi gue. Gue melempar ponsel sialan ke kasur. Otak gue sudah rusak gara-gara Mas Kun. Bahkan, ucapan frontak Mas Kun masih terbesit di kepala gue.

Best Day Ever Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang