"CA, kemaren lo keren banget!"
"Keren apanya? Gue telat gitu," bantah Alicia sambil fokus menyapu lantai kamar mereka.
"Ih, telat apanya coba?"
"Harusnya gue beritahu mereka semua dari awal, jadi nggak bakal ada drama kecoak terbang sana-sini."
"Yaelah kirain apaan, Ca. Itu doang ternyata. Yang penting kemaren itu lo keren banget. Kata Mia semalam kalau lo nggak ngajak Ali dan Khai buat nyamperin dia dan Viktor, pasti Kak Roza bakal disalahin sama semua orang," ujar Moon.
"Bener banget kata Moon. Kamu keren banget," puji Iman sambil bertepuk tangan kecil, begitu juga dengan kedua personil kamar lainnya yang berada disana.
"Hmm ... terserah kalian," sahut Alicia yang berusaha merendah. Kini, tangannya yang menggenggam sapu mulai memindahkan debu dan kotoran ke dalam penadah sampah dan membuangnya ke tempat sampah. "Moon, sekarang giliran lo buat ngepel lantai."
"Oke, udah siap, kok," sahut Moon sambil mengacungkan ibu jari dan melesat keluar kamar untuk mengambil alat pel. Alicia menyudahi kegiatannya kemudian duduk di kasurnya sendiri, di samping Iman.
"Hmm ... Alicia ..." panggil Iman.
"Kenapa?"
"Tentang Kak Shania. Malam itu ... dia emang beneran nggak tahu kalau itu ulah temannya atau dia sebenarnya tahu dan mungkin adalah pencetus ide untuk menjatuhkan Kak Roza? Dari raut wajahnya semalam ... kayaknya dia ketuanya ..."
"Feeling gue, sih, dia pencetusnya, Man ... karena dia emang nggak suka sama Kak Roza dari dulu ..." jelas Alicia.
"Emang Kak Roza ngapain, ya? Sampai orang itu benci banget sama Kak Roza? Padahal orangnya baik banget sama semua orang. Walaupun dia agak pendiam, tapi sekalinya diajak ngobrol sama orang, dia ramah dan humble banget," gumam Iman dengan tanda tanya besar di kepalanya.
Alicia diam, belum menjawab. Ia tahu kejadian apa yang membuat Shania sebegitu bencinya pada Roza. Tapi, Alicia yang menjadi saksi kejadian itu tahu, jika semuanya sebenarnya adalah murni kesalahan Shania, bukan Roza yang tidak sengaja terseret.
"Menurut kamu gimana, Ca?" Iman meminta pendapat pada Alicia yang sedari tadi melamun.
"Eh ..." Alicia nyaris tersentak kaget, "Kalau menurut gue, biasanya pasti ada kejadian yang bikin Kak Shania itu nggak suka sama Kak Roza. Di kejadian itu, kita nggak tahu siapa sebenarnya yang salah, tapi yang pasti setelahnya, Kak Shania jadi begitu. Ini menurut pendapat gue, ya? Mungkin di suatu tempat yang kita nggak tahu, mereka nggak sengaja ketemu, dan kejadian itu terjadi disana."
"Hmm ... iya juga," gumam Iman sambil mengusap tangan kirinya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh! Panggilan kepada Iman Shafiyyah Mumtazah, diharapkan untuk segera datang ke depan Kantor Pembinaan sekarang juga. Sekali lagi, kepada Iman Shafiyyah Mumtazah, diharapkan untuk segera datang ke depan Kantor Pembinaan sekarang juga. Terima kasih."
"Man? Lo dipanggil apaan? Dijenguk?"
Iman mengerutkan kening mendengar pertanyaan dari Moon yang baru saja datang, "Lho? Bukannya aku udah beritahu semalam ya?"
"Haaaah? Masa, sih?" Moon menggaruk tengkuknya.
"Iya, Moon. Tanya aja sama semua orang yang ada di kamar ini."
"Memangnya apa, sih?" tanya Moon lagi.
"Moon ... Iman itu mau pergi hari ini, sama Kak Zass dan Kak Ana," sahut Rara, salah satu personil kamar mereka yang kebetulan sedang mengelap jendela luar.
Moon menepuk jidatnya, "Oh iya, deng. Kok, gue bisa lupa, ya? Hehehe ... maaf, Man. Gue lupa."
Iman menggelengkan kepalanya melihat Moon, kemudian beralih mengambil tas punggung kecil yang berada di ranjangnya serta jam tangan yang berada di atas lemarinya, "Pergi dulu, ya, gaes ..."
"Hati-hati," ujar Alicia singkat.
Iman mengacungkan ibu jarinya, kemudian dengan cepat sudah menghilang dari balik kamarnya, meninggalkan keempat temannya yang baru saja selesai bersih-bersih.
"Numpang, ya, Ca ..." Moon duduk di samping Alicia untuk meluruskan kakinya yang pegal.
"Ya, silahkan ..." Alicia membiarkan Moon duduk di ranjangnya, kemudian beralih menatap ranjang yang berada di sudut ruangan yang kosong. Itu ranjang Iman.
"Kira-kira Iman kemana, ya? Lo tahu, nggak?" tanya Moon.
Alicia hanya mengangkat bahu. "Semalam kalau nggak salah, dia bilang ada urusan keluarga gitu. Makanya, dia bareng sama Kak Ana dan Abangnya."
"Urusan keluarga? Mereka bukannya tinggal di luar kota, ya?"
"Wah, kurang tahu kalau itu, sih. Semalam Iman bilang gitu."
"Ih, kok, gue jadi curiga, ya?" Moon mengusap dagunya seperti sedang berpikir.
"Masa curiga sama temen sendiri, sih, Moon?"
"Bukan curiga yang aneh-aneh, kok," bela Moon, "Curiga karena ... mungkin memang beneran ada urusan keluarga, tapi dalam hal lain."
"Maksud lo, Moon?"
"Mungkin ... tentang tangan dia yang sering lebam tiap minggu."
"Kenapa gue nggak kepikiran sampai sana, ya?" Alicia jadi ikut berpikir juga selepas mendengar Moon, "Iya, sih. Biasanya kalau hobi nyakitin diri itu ada sebabnya, salah satunya gangguan mental. Tapi, masa, sih, temen kita kayak gitu?"
"Urrm ... iya, sih. Cuma, gue penasaran aja. Kenapa tiap minggu kita pasti pernah lihat tangannya lebam. Dulu waktu masih kelas 7 dan 8, baik-baik aja, tuh. Pas mulai kelas 9, lo pasti ngerasa, kan, waktu Iman kesini? Anaknya jadi cenderung diam, lebih diam daripada sebelumnya? Dia jarang ngobrol sama orang kecuali sama kita, teman terdekatnya."
"Plus Ali, Khai, Rudy, Kak Mika, dan Kak Roza. Karena emang kita juga udah temenan dari lama. Dulu anaknya lumayan ramah ke semua orang," timpal Alicia.
"Apa kayaknya terjadi sesuatu sebelum kita kelas 9?" pikir Moon.
"Yah ... gue nggak mau berpikiran aneh-aneh, Moon. Gue juga pengen nanya dia lagi, tapi dia selalu ngelak. Gue sempat mikir, kalau emang keadaannya benar-benar parah, baru kita tanya," sahut Alicia sambil membaringkan dirinya di atas kasur.
"Parah? Tapi, Ca ..."
"Kebangetan? Gue tahu. Tapi, ya ... mau gimana lagi. Biasanya kalau udah parah banget, baru dia bilang."
"Jangan bilang parah, dong. Kalau beneran kejadian gimana?"
"Astaghfirullahaladzim."
***
Fang terduduk di saung, dengan raut wajahnya yang menunjukkan jika dia sedang jengkel. Tangannya menggenggam ponsel yang menyala, dengan panggilan yang tersambung disana.
Kaizo, abangnya, mulai berceramah lagi. Mengingatkannya untuk fokus belajar agar bisa kuliah dan mendapat beasiswa, selain itu juga untuk sedikit mengomelinya karena dirinya yang acuh tak acuh tiap kali Kaizo memberikan wejangan.
"Lo jangan sampai bolos les, gue udah capek biayain idup lo dan sekolah lo, sekarang gue juga harus biayain les lo. Jadi, jangan sampai lo sia-siain kesempatan yang udah gue berikan."