29. Gara-gara Saifah

232 40 8
                                    

Kesejukan pagi ini terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Cuaca sejuk kali ini membawa dingin yang lebih dalam, setelah hujan semalam mengguyur kota Bangkok.

Seorang pria yang berniat bangun lebih awal pun menunda rencananya. Ia memilih untuk tetap meringkuk, berselimut hangat bersama pemuda yang tidur di hadapannya. Tangan mungil yang hangat itu terletak dengan nyaman di dadanya yang bidang.

Namun, beberapa menit kemudian, pemuda dalam pelukannya mulai bergerak dan mengeluarkan suara khas bangun tidur, mengusik kedamaian pagi yang lembut.

"Uhm," geramnya, pemuda itu sedikit menggeliat.

"Pagi, tidurmu nyenyak?" sapa Phayu dengan tanya.

"Eum."

Phayu melonggarkan pelukannya, memberi ruang untuk keduanya. Rain yang merasakan adanya ruang pun, segera menggeser diri dan menggeliat lebih bebas. Fokusnya hanya meregangan tubuh, sampai-sampai ia tak sadar jika pria di belakangnya sedang memperhatikannya.

"Aku masih di sini, Rain."

"Aku tahu, memangnya kenapa?" tanyanya tanpa menoleh.

"Kamu sengaja melakukannya?"

"Hah? Apa maksudmu?" tanya Rain, merasa ada yang aneh dengan pertanyaan tersebut. Ia segera berbalik dan bertanya lagi, "apa?"

Mulut Phayu tidak menjawabnya, tetapi matanya menjawab dengan jelas. Mata yang tadi melihat punggung mulus milik Rain, kini berubah ke perut bagian bawah.

Menyadari ke mana tatapan itu, Rain segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. "Mesum," ucapnya dengan memicingkan mata.

"Lain kali perhatikan sekitarmu."

"Menggeliat di saat mata belum sepenuhnya sadar, dipaksa memperhatikan sekeliling kamar? Yang benar saja, Phi. Mana ada yang melakukan hal seperti itu."

"Maka, jangan menggeliat."

"Aneh, pergi sana. Aku tidak mau melihatmu."

"Maaf, aku hanya bercanda."

"Tidak lucu, pergi sana."

"Kamu benar-benar marah padaku? Aku hanya bercanda, Rain. Aku mengatakan itu karena ...."

"Alpha memang selalu tergoda jika melihat hal seperti ini, otak mereka 90% adalah seks."

"Itu tidak benar, Rain."

"Benarkah? Kamu yakin?"

"A–apa yang kamu lakukan?" Phayu tertegun, matanya melebar saat Omega itu dengan berani merangkak menaiki tubuhnya. Setiap gerakannya penuh keyakinan, seolah tidak ada keraguan dalam langkahnya.

Perasaan campur aduk—terkejut, kagum, dan sedikit gugup—menghantui pikiran Phayu, membuatnya sulit untuk bergerak atau berbicara.

Begitu pantat Rain berada tepat di atas penis yang terbalut celana dengan tatapan penuh tekad, Phayu merasa jantungnya berdegup kencang. Memikirkan konsekuensi dari hal ini, Phayu dengan cepat mengangkat tangannya, mencoba meredakan situasi.

"Ini tidak baik, Rain," ujarnya dengan nada tegas namun lembut, berusaha menenangkan Omega dan juga dirinya, "bagi sebagian Alpha perkataanmu adalah kebenaran, tetapi berlaku di saat rut. Begitu juga dengan Omega, di saat birahi kita hanya dikendalikan oleh hasrat memuaskan dan dipuaskan."

"Intinya?"

"Baik Alpha maupun Omega, mereka tetap dapat mengendalikan diri mereka karena sebuah tekad. Jadi, pikiran tak selalu tentang seks."

"Ya, baiklah. Tapi, Phi Phayu."

"Ada apa Rain?"

"Di tempatku duduk sekarang, membuatku tidak nyaman. Aku harus bagaimana?" bisiknya.

Mendengar bisikan tersebut, setelah menjelaskan hal yang berhubungan dengannya sekarang, menjadikannya malu, hingga dirinya harus menoleh ke samping, menghindari mata rusa milik Rain yang menatapnya.

"Bergerak perlahan, setelah itu ke kamar mandi, segarkan dirimu. Aku akan menenangkan diri di sini dan menyiapkan pakaian untukmu."

"Kalau ganti, apa ada yang sesuai denganku? Lalu, pakaian dalamnya?"

"Jangan khawatir, aku memilikinya, karena ibu salah membelinya saat berbelanja bersama Saifah."

"Ibumu?"

"Ya, ibu bilang ingin membelikan anak-anaknya pakaian, dan ternyata bukan hanya atasan dan bawahan, tapi pakaian dalamnya juga. Menurutku, akan sesuai untukmu. Jadi, Rain, turunlah."

Rain mengangguk, ekspresi wajahnya terlihat tidak terusik ataupun terlihat malu, sangat berbeda dengan Phayu yang berusaha tenang ketika hatinya berdegup dan penisnya berdenyut.

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ─── ─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

Suara keran yang berhenti mengalir dan langkah ringan Rain yang kembali ke ruangan menciptakan kesan sunyi, seolah-olah waktu di kamar mandi tidak memberikan perubahan.

Setiap kali Rain muncul dari balik pintu kamar mandi, rutinitas yang sama berulang, dan seakan-akan tidak ada yang berubah dari lingkungan sekelilingnya.

Meskipun tempat itu agak berbeda, suasananya tetap sama—dirinya, pakaian yang sudah disiapkan, dan benda-benda di dalam kamar.

Merasa sudah sudah terbiasa dengan rutinitas seperti ini. Dia mengenakan kaus biru yang cukup besar dan jins selutut, kemudian ia memastikan dirinya terlihat segar sebelum meninggalkan kamar.

Rain turun dengan hati-hati, ia melihat Phayu dan ibunya sedang menaruh berbagai macam hidangan. Sedangkan, Saifah dan ayahnya, berada di ruang keluarga. Meski mereka tidak berkumpul di satu tempat, Rain tetap merasakan kehangatan pada keluarga ini. Senyuman tulus yang mereka berikan padanya, menjadi sambutan selamat pagi yang hangat dan penuh syukur.

Namun, suasana kegembiraan pagi yang amat terasa memenuhi seisi ruangan, seketika berubah, ketika Saifah dengan nada bercanda berkata, "Kamu di atasku dengan sengaja!" Dia menirukan suara Rain dengan konyol. "Jadi, apa itu?" tanyanya.

Rain yang melangkahkan kakinya menuju meja makan untuk membantu Phayu dan ibunya pun berhenti. Sedangkan, Phayu dan ibunya tampak marah pada Saifah, begitu pula dengan kepala keluarga yang menatap tajam padanya.

"Aku mau keluar sebentar, Phi Phayu. Udara di luar kelihatannya segar," ucapnya, mengubah arah langkah kakinya.

"Aku akan menemanimu." Dia menyodorkan mangkuk sup yang sedang dipegangnya kepada ibunya, tapi Rain menghentikannya.

"Aku mau sendiri," kata Rain, tanpa memberi kesempatan untuk protes. Dia melangkah cepat menuju pintu keluar, meninggalkan suasana tegang di belakangnya.

"Ini semua karenamu, Fah!" tegur Phayu.

Saifah merasa bersalah, ia mencoba menjelaskan, "Aku hanya bercanda. Lagi pula, aku tahu itu bukan seperti yang kukira," jawabnya dengan nada cemas.

"Bercandamu keterlaluan, Saifah. Rain sedang hamil dan sangat sensitif di masa kehamilannya, apalagi dia mengandung anak kembar dan ibu tahu bagaimana rasanya." Ibunya berkata dengan tegas, mengingatkan Saifah akan kata-katanya semalam.

Keheningan kembali menyelimuti ruangan, sementara Rain menghilang di luar rumah, mencari ketenangan dari hiruk-pikuk yang baru saja terjadi.
















🌪🌧
☆Jangan jadi silent reader's, tinggalkan jejak dengan vote ★






🐻 : Saifah cari perkara nih, awas diamuk loh 👀

LOVE GEOMETRY ⊹⊹ OMEGAVERSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang