30

490 34 26
                                    

Hyunjin berlutut, tidak memperdulikan pakaiannya yang kotor. Memberi salam sebentar pada kedua orang tua Felix. Barulah ia berpamitan, tidak ingin mengganggu waktu keluarga Felix berkunjung.

Ia bisa datang dilain waktu, untuk bisa menemani Felix disini. Untuk sementara, Hyunjin hanya akan melakukan itu. Tidak apa tidur di pemakaman sendirian. Yang penting ia bisa lebih dekat dengan Felix.

“Hyunjin, sepertinya tidur dari semalam?” tanya Jisung dengan curiga.

“Dia juga sama seperti kita, wajar saja kalau ingin lebih dekat dengan Felix.” Bangchan menjawab.

Jisung mengangguk, ia lantas lebih memfokuskan diri pada Felix.

“Hai, Dek. Kami semua datang.”

Jisung berusaha sekuat mungkin menahan air mata, kali ini ia harus datang dengan senyuman. Tidak ingin, adiknya merasa terbebani karena ia yang tidak bisa mengikhlaskan.

“Maaf, kami datang terlambat.”

Angin berhembus lembut, seolah-olah seseorang menjawab sapaan Jisung.

Mereka berbicara satu persatu menyapa Felix, menyapa Felix yang mungkin mendengar dalam peristirahatannya. Berharap adiknya bisa tenang di alam sana.

“Bahagia, Dek. Kakak dan aku akan berusaha bahagia juga, walaupun tanpamu kami akan kesulitan menjalani semuanya.” Jisung menghapus air matanya pelan. Terkekeh kecil, mengusap dadanya. Di dalam sana ada Felixnya juga, yang selamanya akan hidup bersamanya. Jantung Felix yang berdetak, membuat Jisung yakin kalau sang adik akan menemaninya selama ia hidup.

***

Untuk sementara Min Ji dirawat di rumah sakit gila. Butuh penanganan serius, karena mengalami delusi dan depresi secara bersamaan.

Keluarga sedih dengan itu, rasa bersalah Min Ji membuat perempuan cantik itu, menganggap bantal yang Felix gunakan sebagai pengganti Felix. Menimangnya dengan sayang, nyanyian lembut terdengar mengalun.

Kalau ada yang mengambil bantal darinya, Min Ji akan mengamuk, bisa memecahkan barang atau menyakiti seseorang. Alhasil, dengan kejadian itu Min Ji harus dirawat demi kebaikan.

Bangchan dan Jisung, tetap datang ke rumah sakit. Untuk menjenguk, tidak membiarkan sang ibu kesepian, atau nantinya merasa ditinggalkan.

Kalau Bangchan berkunjung, ibunya akan tersenyum. Lantas mengatakan, “Nak, titip Felix yah. Kamu jaga dia sebentar, Ibu harus menjaga Jisung.”

Kalimat yang dulu sering ibunya katakan, ketika harus menemani Jisung di rumah sakit.

***

Waktu berlalu dengan cepat, kehilangan Felix memang cukup menggoyangkan rumah hangat mereka. Meja makan jadi lebih sepi, rumah yang awalnya penuh teriakan Felix, menjadi sunyi.

Bukan hanya keluarga yang merasa kehilangan, bahkan para pelayan yang cukup dekat dengan Felix mereka menangis tiada henti.

Felix itu ibaratnya matahari mereka, yang memberi sinar paling terang, memberi mereka cahaya dari kegelapan.

Tentu sosoknya yang periang selalu dirindukan. Bangchan dan Jisung kerap kali datang ke kamar Felix, berharap setiap pintu terbuka sosok mungil sang adik meringkuk di tempat tidur. Namun, melihat kamar yang mendingin dengan sisa aroma tubuh Felix, membuat mereka dipukul kembali dengan kenyataan. Felix sudah tidak ada di dunia ini, Felix sudah pergi.

Air mata itu sudah sering terjatuh, meringkuk di tempat tidur, berselimutkan selimut hangat. Mengecup setiap pagi potret yang terpasang di dinding, berdoa supaya Felix mendapatkan kebahagiaan lain di surga.

Ultimul cadouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang