“Kalian dukung tim yang sama, loh… masa sih saling gak suka gitu?” Jingga menyilangkan dua tangannya.
Ia tahu Laurens sangat tidak bisa untuk cepat berbaur, namun dalam pengalamannya mendekati gadis itu, ia pikir dengan membahas tentang hal yang ia sukai akan berbuah manis. Jika tidak untuk lomba, setidaknya mereka dapat berteman baik di dalam kelas.
Laurens dan Rain terlihat memikirkan kalimat dari Jingga, padangan mereka sama-sama tertuju pada keramik putih yang terdapat berbagai jenis sepatu menginjaknya. Rain sendiri tidak tahu apa penyebab Laurens tidak menyukainya, apa sebab hari itu dia mengganggu saat bertanya di mana keberadan Jingga? Tapi bisa kah seseorang langsung tak menyukainya karena hal tersebut? Sekali lagi dia tidak tahu, yang penting sekarang ia harus menurunkan egonya demi kelas yang ia pimpin.
“Maaf, kalo aku pernah ada salah sampai kamu gak suka aku.” Dia menghadap pada Laurens yang masih termenung melihat lantai.
“Aku harap, kita bisa berteman baik, seenggaknya untuk sama-sama seorang Cityzen.” Kini tangannya mengulur, membuat gadis di sampingnya tertarik untuk menoleh.
Tentunya ada alasan mengapa Laurens tidak menyukai Rain, bahkan gadis itu tengah mengingatnya sekarang saat matanya tertuju pada tangan Rain yang mengulur. Hari di mana pertama kali masuk sekolah, di mana dari rumah ia sudah meyakinkan diri untuk menjadi seorang yang ramah dan banyak senyum kemudian berbaur dengan cepat. Namun begitu sampai sekolah ia dipertemukan dengan seseorang yang berlalu begitu saja saat dirinya sudah tersenyum dengan ramah. Belum sampai setengah hari, niat awalnya sudah terkubur.
Laurens menyambut tangan tersebut, keduanya bersalaman.
“Lain kali, kalo orang nyapa dengan ramah, kalo gak mau senyum seenggaknya ngangguk. Kita hidup di Negara yang rata-rata orang di dalamnya ramah-ramah.” Laurens sedikit menekan kalimatnya.Dengan begitu Rain seketika mengingat kejadian yang mungkin saja membuat Laurens tidak suka padanya.
“Kamu berhasil.” Elsa mengacungkan satu jempolnya pada Jingga.
Gadis itu berhasil membuat diskusi yang panjang itu selesai dengan cepat, bahkan orang yang tadinya saling tidak suka menjadi saling memaafkan. Meski sebenarnya dirinya sendiri belum memaafkan satu orang yang kini tengah sibuk dengan game dan ponsel miringnya. Dia menatap tajam tanpa sadar, Kalandra tetap hidup tenang meski sebelumnya membuat Jingga begitu banyak pikiran.
Tapi Jingga kini tak peduli, tak ada yang terjadi, dan yang paling penting dia mulai melihat percaya diri dari Keenan.
Dari pagi menjelang siang, cuaca hari itu terus mendung, matahari tak bersinar seperti biasanya. Ruangan yang biasanya memilki pencahayaan yang bagus karenanya—menjadi temaram. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk sebab awan abu-abu menutupi.
Telinga Jingga kini disumpal oleh earphone kabel berwarna putih, alunan nada minor terdengar sangat pas dengan keadaan seperti itu, ditambah buku fiksi tentang vampire yang takut matahari.
Kemarin sore mungkin saja ia membuat hari mendung tersebut menjadi cerah karena kuning dari jaket dan laki-laki di sampingnya. Namun itu semua tak bertahan lama sampai ia bertemu dengan kedua orang tuanya di rumah. Mereka mengajaknya untuk berbincang banyak tentang alasan mereka membuat kehidupannya sepi, namun egoisnya, gadis itu tetap merasa bahwa mereka tidak peduli padanya.
Yang ada dipikiran mereka hanya kerja, kerja, dan bekerja! Mereka manusia gila kerja!
Dari sana mulai terpikir, menjadi dewasa sangat menakutkan, harus melakukan sesuatu untuk bertahan hidup, menukar segala yang dimiliki untuk mendapatkan hal yang di inginkan. Kesalahan melangkah, keputusan yang tidak tepat, keberuntungan yang berlaku, semua itu berada di bawah jembatan tipis yang akan dilewati.
Dari apa yang dialaminya, konsep kehidupan mulai ia bangun meski prakteknya nanti ia tetap meminta bantuan dari Tuhan.
Otaknya kini tak berfungsi dengan baik, kepalanya hanya berisi tulisan tanpa bisa membuat bayangan tentang buku yang dibacanya. Lalu seketika tulisan tersebut buyar saat earphone sebelah kirinya diambil tanpa permisi. Dia menengok dengan cepat untuk melihat siapa pelakunya.Lelaki berhidung mancung yang tadi pagi baru saja berbaikan dengan teman sebangkunya. Dia turut mendengarkan Stop Crying Your Hear Out begitu earphone sebelah kiri milik Jingga berpindah padanya.
Dia mengangguk mengikuti irama, “Cocok sama cuaca hari ini…” suaranya berbisik.
Jingga berdecak, “Lain kali bawa sendiri.” Ia kembali mengumpulkan fokus untuk membaca buku fantasinya.
Rain mulai merasa heran, gadis itu bisa dengan cepat mendamaikan perang antara dirinya dengan Laurens. Tapi mengapa Jingga masih terlihat ketus jika bersamanya? Kejadian di alun-alun hari itu sudah cukup lama, Rain memang belum sempat meminta maaf, karena selalu ada saja gangguan saat ia ingin menemui Jingga.
“Soal hari itu, aku minta maaf.”
Gambaran tentang vampire dan srigala yang tengah berperang, susah payah Jingga ciptakan, hal tersebut kembali buyar saat Rain bersuara.
“Yang mana?”
Rain sedikit terkekeh, “Kamu sendiri sampai gak inget, tapi ketusnya masih berkelanjutan.”
“Aku gak ketus?”
“Tapi aku ngerasa kamu gitu.”
“Ya—udah, maaf."
Dengan begitu keadaan hening kembali di antara mereka, ruangan menjadi dingin alami tanpa pendingin udara. Langit di luar menggelap setelah hampir setengah hari mendung. Setelahnya hujan tumpah, begitu cepat disertai angin yang cukup kencang. Rain dan Jingga sama-sama menghadap jendela untuk melihat keadaan di luar, mengerikan. Perpustakaan tersebut menjadi sangat gelap, setiap lorong dan rak buku terlihat menyeramkan.
Dan lagu yang kini berputar adalah Only Time, lagu yang menjadi lagu persahabatan bagi para korban serangan 11 September. Musik dengan harmoni seperti paduan suara itu membuat keduanya merinding sekaligus. Dengan cepat, Jingga mencabut earphone tersebut dari ponselnya.
“Lagian kenapa lagunya itu sih?” Rain sedikit sewot.
“Mana aku tau? Ini shuffle, Spotify aku gak premium.”
Jingga terus bangkit dan membereskan barangnya, tidak beres jika dia terus berada di sana, setiap saat dia akan merinding.
“Kemana?”
“Kelas lah."
“Tung—“
“AAKK!”
Kilat menyambar sampai langit dan semua yang ada di bawahnya begitu terang, memang belum ada guntur yang bergemuruh setelahnya, namun Jingga sudah histeris.
“Baru kilatnya, Ji.”
“Abis ini pasti petirnya!”
Jingga sudah siap menutup kedua telinganya, begitu pun Rain, dia sama-sama menggunakan kedua tangannya untuk menutupi telinga Jingga.
Beberapa detik berlalu, gemuruh tersebut datang, namun tak begitu membuat suara yang keras di sana. Jingga bernapas lega.
“Kenapa gak tutup telinga kamu sendiri?!” gadis itu baru sadar tangan Rain berada di atas tangannya untuk sama-sama menutup telinganya.
“Oh—“ tangan tersebut pindah ke telinganya sendiri.
“Kan udah gak ada petirnya!”
“Oh…”