"Kamu ngga mau ngadep aku?" pinta Shani disela tangisnya.Gracia menggeleng tapi ekor matanya berlari ke arah Shani.
Beberapa saat hening sebelum akhirnya Shani menarik tangan sebelah kanan Gracia, membalikan badan itu untuk menghadap ke arahnya.
"Ci, tolong ya ini tangan aku infusan semua." Gracia protes tapi manut untuk tetap menghadap kesayangannya.
"Kamu kenapa?" selidik Shani selagi mencari teka teki di mata Gracia. Kadang di sana Shani dapat melihat, kapan adik kesayangannya itu jujur, kapan dia sedang menyembunyikan sesuatu.
"Kenapa apanya?"
"Tiba-tiba bicara seperti ini? Seolah-olah kamu ngerti posisi dan perasaan aku. Apa yang bikin kamu bisa mikir ke situ?"
"Dari langkah pertama aku ninggalin kamu semalam, entah kenapa seluruh ruangan di rumah kamu kaya tiba-tiba berubah menjadi layar gede. Gede banget, Ci bahkan tidak menyisakan celah sedikitpun. Di sana ada kilas balik kita. Waktu kita bertemu pertama kali setelah lima tahun, pertama kali kita tidur di bed yang sama lagi, pertama kali kamu tau aku sakit, pas kamu bela-belain ninggalin Koko sama Enzo buat rawat aku, pas kamu diemin aku tapi masih tetap care, waktu kamu marah gede banget karna aku pulang larut, dan ujung-ujungnya kita masih tetap baikan. Terus tadi aku sama Anin, kamu bisa nahan itu padahal kamu belum aware akan keberadaan dia diantara kita. Ga ada pemakluman sebesar yang udah pernah kamu kasih ke aku, Ci. Bahkan sampe sekarang aku masih mikir, aku masih mau apalagi sih sebetulnya dari kamu? Dan akhirnya bikin aku sadar kalo ngga ada validasi lebih nyata selain apa yang sudah kamu lakuin untuk aku."
Gracia mengambil napas untuk membuang separuh sesak di dadanya. Bulir di mata kanannya semakin deras menyebrangi pangkal hidungnya bersatu dengan bulir mata sebelah kiri menuju bantal.
"Aku minta maaf, Ci. Maaf karna terlambat mengerti kamu." Lanjut Gracia lagi mulai tak jelas di telinga Shani. Terhalang oleh isakan yang mulai hilang kendali.
Sementara Shani dibuat gamang, kenapa pengertian Gracia tidak membuat dia senang? Kenapa lebih banyak takut daripada leganya?
"Ge?" Shani benar-benar kehilangan kata. Seperti ia tahu ini arahnya akan ke mana.
"Kamu mau kan, Ci lepasin aku? Aku ngga bisa ninggalin kamu gitu aja tapi tetap berada di dekat kamu jujur aja aku udah ngga sanggup. Aku ngerti kamu tapi perasaan aku yang lain engga." Gracia mulai berguncang menangisi perih di ulu hatinya. Seperti ada ribuan sayatan di sana. Kenapa masih sesakit ini sih rasanya?
Shani menggeleng dengan luka sama besarnya. Kehilangan Gracia bukan sesuatu yang akan ia izinkan begitu saja.
"Kamu mau aku ninggalin Kevin? Aku bisa, Ge." Isakan Shani mulai rapat sekali ritmenya. Perihnya hingga ke Gracia juga.
"Kamu kalo lepasin aku, cuma satu yang akan hancur. Tapi kalo kamu lepasin Koko, semuanya akan hancur termasuk kehidupan kamu yang sudah sangat sempurna itu."
"Tapi kalo aku kehilangan kamu, aku Ge yang akan hancur."
"Itu akan disembuhkan Enzo, Ci. Meskipun kamu pilih aku juga belum tentu besok aku masih hidup."
"Selalu ngomongnya kaya gitu!"
"Ya lagian konyol aja pemikirannya. Biasanya juga kamu paling realistis."
"Ngga bisa kalo konsekuensinya harus kehilangan kamu lagi."
"Jadi, Cici sayang aku?" tanya Gracia selagi menatap teduh perempuan dihadapannya itu.
Sementara Shani mengangguk patuh seperti orang bodoh. Logikanya sudah tidak berfungsi baik sama sekali. Kehilangan Gracia benar-benar ketakutan terbesar sekaligus ia benci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil'sist
General FictionBersama Shani, adalah jenis hubungan paling Gracia suka. Menemukan sosok saudara perempuan yang tidak ia miliki di rumah rasanya seperti ini adalah berkat dari betapa baiknya Tuhan kepada dirinya. Begitu juga sebaliknya. Memiliki Gracia di hidupnya...