Di tengah suara angin yang berhembus lembut dan sinar matahari yang hangat, Lia berdiri di depan altar kecil di kebun belakang rumah orang tuanya. Bunga-bunga liar yang tumbuh tak teratur menjadi saksi bisu pernikahan mereka. Tamu yang hadir tidak banyak, hanya keluarga dekat dan beberapa sahabat yang mengenal perjalanan cinta mereka dengan baik. Di antara senyum-senyum bahagia, ada kesedihan yang samar, tapi tak seorang pun ingin membicarakannya hari itu.
Lia memandang Damar, lelaki yang berdiri di hadapannya dengan mata penuh cinta dan ketulusan. Di balik pandangan itu, Lia bisa merasakan sesuatu yang dalam—sesuatu yang melampaui waktu, melampaui janji yang akan mereka ikrarkan. Tangan mereka bersentuhan, dingin dan hangat bercampur menjadi satu, seolah-olah mereka menahan segalanya di antara jemari mereka.
"Aku tidak pernah membayangkan pernikahan ini akan seperti ini," bisik Lia, matanya berkilauan karena emosi yang tak mampu ia sembunyikan.
Damar tersenyum, tatapannya teduh. "Tidak perlu ada yang sempurna, Li. Kita hanya butuh satu sama lain."
Kata-katanya begitu sederhana, namun begitu dalam. Lia tahu, inilah yang ia butuhkan—seseorang yang melihat melewati ketakutan, melewati keterbatasan waktu, dan hanya fokus pada cinta yang mereka bagi saat ini.
"Aku takut, Mar," ucap Lia akhirnya, suaranya hampir hilang dalam keramaian sepi. Mereka berdiri di tengah kebahagiaan dan kesunyian yang berselimutkan janji.
Damar menggenggam tangannya lebih erat, seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk menenangkan kegelisahan Lia. "Aku juga takut, tapi aku memilih untuk tidak lari. Karena bersamamu adalah satu-satunya tempat di mana aku ingin berada, tak peduli berapa lama kita punya waktu."
Lia terdiam, merasakan setiap kata yang mengalir dari mulut Damar seakan menjadi selimut bagi hatinya yang rapuh. Pernikahan ini adalah permulaan, namun juga sebuah akhir yang tak bisa dihindari. Tapi di dalam dada mereka, harapan terus bergetar meski penuh keraguan.
Kedua tangan mereka menyatu dalam satu genggaman yang erat, mata mereka bertemu, dan janji itu akhirnya terucap. "Aku berjanji untuk bersamamu, dalam setiap suka, dalam setiap duka, dalam setiap momen yang kita punya. Aku tidak tahu berapa lama, tapi aku akan membuat setiap detik berarti," kata Damar dengan suara yang bergetar, namun tegas.
Lia tersenyum, meski air mata mulai mengalir pelan di pipinya. "Aku juga berjanji, Mar. Aku tidak tahu apakah aku bisa memberimu masa depan, tapi aku akan memberikan segalanya—setiap bagian dari diriku, setiap momen yang kita miliki bersama."
Tamu-tamu di sekitar mereka diam, seolah waktu berhenti di tengah-tengah kalimat mereka. Tidak ada suara lain selain angin yang berhembus, memeluk mereka dalam keheningan penuh makna. Saat cincin itu melingkar di jari manisnya, Lia merasa seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, dan janji yang tidak perlu lagi diucapkan. Janji itu telah ada di hati mereka sejak lama, tak terlihat namun selalu terasa.
Setelah upacara singkat itu selesai, mereka duduk di sudut taman, terpisah dari keramaian kecil yang tersisa. Matahari mulai tenggelam di cakrawala, menciptakan cahaya lembut yang membuat segalanya terlihat lebih hangat, lebih damai. Tapi di balik kedamaian itu, Lia merasakan sebuah kekosongan yang perlahan mendekat.
"Bagaimana kita akan menjalani semua ini, Mar?" Lia bertanya pelan, menatap matahari yang perlahan tenggelam. "Aku ingin bahagia, tapi aku takut tidak bisa. Waktu terasa seperti sesuatu yang tak bisa kita genggam."
Damar menoleh ke arah Lia, wajahnya tenang meskipun Lia tahu di dalam hatinya, ia juga menyimpan ketakutan yang sama. "Kita akan menjalani ini dengan satu hari pada satu waktu, Li. Kita tidak perlu tahu semua jawaban sekarang. Yang penting, kita di sini. Bersama. Di bawah langit yang sama."
Lia terdiam, memikirkan kata-kata itu. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kesederhanaan ucapan Damar, seolah dia tidak menuntut lebih dari apa yang bisa diberikan. Hanya bersama, meski dunia terasa semakin tidak pasti.
Mereka duduk di sana sampai malam tiba, di antara bintang-bintang yang perlahan mulai bermunculan, seperti titik-titik kecil harapan di langit yang gelap. Dalam pelukan Damar, Lia merasa sedikit lebih tenang, meski tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan waktu akan menjadi musuh yang harus mereka hadapi.
"Aku mencintaimu, Damar," bisik Lia pelan, suara yang hampir seperti doa.
"Aku juga mencintaimu, Lia. Selalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoetryLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...