12. Canggung

2 2 0
                                    

Malam pertama mereka sebagai suami istri dimulai dengan kecanggungan yang tak terelakkan. Setelah seharian penuh acara pernikahan yang melelahkan, Aya dan Aji akhirnya berada di kamar pengantin mereka. Keduanya merasakan keheningan yang aneh, hanya suara detak jantung yang terdengar keras di telinga masing-masing.

Aji teringat kembali pada malam pertama mereka bertemu di bar. Kekhawatiran menghantui pikirannya, takut jika Aya merasa tidak nyaman mengingat momen tersebut. Sementara itu, Aya juga merasakan kecanggungan yang sama. Mereka berbaring di ranjang, saling membelakangi, berusaha menemukan kenyamanan dalam posisi masing-masing.

Setelah beberapa saat yang terasa menegangkan, Aji akhirnya memecah keheningan. “Aya,” panggilnya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Bagaimana kalau kita berbicara tentang rencana kita ke depan?”

Aya mengangguk meski tidak menoleh. “Rencana seperti apa?”

“Aku berpikir, mungkin kita bisa tinggal di rumah lama keluargaku,” Aji mengusulkan, mencoba terdengar santai meski hatinya berdebar. “Rumah itu kosong, jaraknya dekat dengan rumah sakit tempat kamu bekerja dan kantorku.”

“Apa kamu yakin?” tanya Aya, sedikit ragu. “Itu rumah yang penuh kenangan, bukan?”

“Iya, banyak kenangan di sana,” jawab Aji, mengingat momen-momen indah yang pernah ia lalui. “Tapi itu juga bisa menjadi tempat baru bagi kita untuk membangun kehidupan bersama. Kita bisa mengubahnya menjadi rumah kita.”

Aya merenung sejenak. “Kedengarannya menarik. Aku selalu ingin memiliki tempat yang bisa kita huni bersama, tempat yang nyaman dan tenang.”

“Dan rumah itu bisa kita ubah sesuai dengan keinginan kita,” tambah Aji, berusaha meyakinkan Aya. “Kita bisa mendekorasi ulang, menata ulang. Semua itu bisa menjadi proyek yang kita kerjakan bersama.”

Akhirnya, Aya menoleh dan menatap Aji, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Kalau begitu, aku setuju. Aku ingin sekali bisa tinggal bersamamu di sana.”

Aji merasakan beban yang terangkat dari pundaknya. “Terima kasih, Aya. Itu berarti banyak bagiku.” Ia meraih tangan Aya, menggenggamnya lembut. “Kita akan melalui semuanya bersama-sama.”

“Ya, kita akan membangun kehidupan yang indah,” kata Aya, matanya berbinar. “Aku tidak sabar untuk memulai semua ini.”

“Begitu juga aku,” balas Aji, senyumnya lebar. “Kita bisa mengundang teman-teman untuk datang, mengadakan kumpul-kumpul kecil. Menjadikan rumah itu tempat penuh kebahagiaan.”

“Dan mungkin, setelah itu, kita bisa memikirkan tentang keluarga kita sendiri,” tambah Aya, dengan nada pelan.

Aji terdiam sejenak, meresapi kata-kata Aya. “Keluarga… itu adalah impian yang selalu kuinginkan. Bersama kamu, rasanya semua itu mungkin.”

Malam itu, keheningan yang semula menakutkan mulai tergantikan oleh rasa nyaman dan saling pengertian. Mereka berdua menatap langit malam melalui jendela, merasakan bahwa perjalanan baru mereka baru saja dimulai, dan itu akan dipenuhi dengan cinta, harapan, dan mimpi-mimpi yang ingin mereka capai bersama.

---

Pagi itu, Aya terbangun lebih awal dari biasanya, merasakan panggilan lembut untuk sholat subuh. Ia perlahan-lahan meninggalkan ranjang dan menuju kamar mandi. Aji yang setengah mengantuk merasakan pergerakan di sampingnya. “Aya, kamu mau sholat subuh?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih tertutup.

“Iya, Aji,” jawab Aya lembut, tersenyum kecil sambil melirik suaminya.

Aji menarik napas panjang, duduk, dan bergumam, “Aku ikut.” Walau kantuk masih menggantung di kelopak matanya, dia bangkit dari tempat tidur, mengikuti langkah Aya ke ruang tamu.

Pertemuan Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang