Chapter 3 | 17 Februari 1990

11 2 0
                                    

Vote, komen, follow dulu yukkk~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vote, komen, follow dulu yukkk~


Hanya butuh dua minggu para orang tua itu menyiapkan pesta pernikahan saya dan Ayu. Terkesan sangat terburu-buru, tetapi saya juga tidak punya alasan untuk meminta mereka mengulur waktu. Mereka sudah menentukan segalanya tanpa berdiskusi dengan saya terlebih dahulu. Seolah pernikahan ini hanyalah tentang mereka, sedangkan saya dan Ayu hanyalah pion-pion bisnis yang mereka mainkan. 

Meski begitu, saya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Inilah hal terkecil yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan bisnis Ayah yang selama ini telah menghidupi kami berdua beserta karyawan-karyawan kami. 

Namun, sejujurnya beberapa hari terakhir ini, saya terus berpikir tentang Ayu. 

Belum, saya belum mencintai Ayu. 

Hanya saja, kilatan mata Ayu masih terbayang jelas dalam ingatan saya. Rasanya tidak mungkin saya tidak bersimpati padanya. Saya tidak punya teman wanita yang bisa saya tanyakan, tetapi saya mencoba memposisikan diri saya sebagai Ayu. Menerka-nerka apa yang ada dalam pikirannya, apa yang ia rasakan. Dan yang bisa saya simpulkan adalah Ayu menumpukan harapan pada saya untuk membebaskannya. 

Benar saja, setelah pernikahan yang berlangsung tadi siang, Ayu belum berbicara satu kata pun pada saya. Termasuk ketika kami berdua berada di kamar pengantin. Baik saya maupun Ayu, hanya terduduk diam di ranjang dengan posisi saling memunggungi. 

Sampai saya mendengar suara isakan, yang pasti bersumber dari Ayu. Suaranya samar-samar, tetapi karena kemampuan mendengar saya tajam dan suasana yang hening, saya bisa menangkap suara itu dengan begitu jelas. 

Ayu mungkin ketakutan. 

Tetapi saya juga tidak tahu cara menghadapinya. 

Saya sama sekali tidak pintar dalam berinteraksi dengan manusia. Saya belum pernah menenangkan seseorang, apalagi seorang wanita. 

Meski selama ini Ayah tidak pernah bisa membohongi ekspresi wajahnya ketika mengalami kesulitan, yang saya lakukan bukanlah menenangkan Ayah. Melainkan mencari solusi yang tepat untuk meringankan beban Ayah. 

Saya bisa merasakan apa yang Ayu rasakan. Tubuhnya yang gemetar, wajahnya yang berkeringat, memberi saya kepastian tentang apa yang saya duga. Tetapi saya tetap tidak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi Ayu. 

Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Atau memang sebaiknya saya tiap saja sambil memeluk atau menggenggam tangannya. Tetapi saya juga tidak tahu bagaimana cara memeluk, atau menyentuh orang lain. 

Saya tidak terbiasa dengan itu. Karena saya tidak dibesarkan dengan sentuhan orang tua saya. 

Saya mencoba untuk mengambil langkah, mendekat pada Ayu. Namun, tubuhnya semakin gemetar. Dia semakin ketakutan. 

Pun saya tidak ingin menyiksa Ayu lebih lama. Saya mengambil pakaian yang telah tersedia dalam lemari. Juga bantal dan selimut untuk saya tidur. Lalu melangkah keluar dari kamar pengantin. 

Dan di sinilah, di ruang kerja saya, saya menghabiskan malam pertama dari sebuah pernikahan yang tidak seorang pun dari kedua mempelai inginkan. 


Author's Notes:

Hehe sepi yaaaa~ Tapi gapapa, aku emang cuma iseng bikin cerita ini~

Happy reading!

See you<3



Reveries of You | YOUniverse #1.5Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang