Berhubung pagi kemarin Anjani tetap kena omelan Mama Ajeng meskipun sudah akting kesakitan macam gadis habis digauli, maka pagi ini ia bangun di jam enam. Ditemani suara kicauan burung Cucak Ijo dalam sangkar yang digantung di teras belakang, Anjani sibuk mengolah bahan makanan. Ia membuat ramen-iya, betul, tak salah baca. Betulan ramen yang dibuatnya sepagi ini. Pasalnya semalam sahabat yang sudah naik status jadi suaminya itu, alias Danu, meminta nasi goreng. Lah kok? Suka-suka Anjani, dan yang paling ia suka adalah tampang sebal Danu saat menemukan menu di meja.
Lelaki dalam balutan kolor lusuh dan kaos partai warna kuning mentereng itu duduk dengan tampang ditekuk. Ia embuskan napas berat seolah seluruh masalah manusia di muka bumi Danu yang menanggungnya. Namun, meski menunjukkan ekspresi agak kecewa, tangannya tetap bergerak mengambil sumpit dan mulai menyuap lembaran mie. Bukannya Danu tidak bersyukur dimasakin Anjani, mana ramen enak begini, cuma masalahnya adalah dia enggak begitu doyan mie. Bagaimana pun jenisnya, yang mahal sekalipun. Itulah alasan ia request nasi goreng.
Namun, kendati tahu diisengi Anjani, Danu tetap bilang, "Thanks, Ja. Enak kayak biasanya." Tak pernah lupa ia mengapresiasi apa pun yang Anjani berikan dan lakukan untuknya. "Baju di kasur, lo yang nyiapin?" Tadi Danu bangun-bangun langsung mendapati satu setel baju ditata rapi di ranjang. Kaos polo putih dipadu slim fit denim. Cocok baginya yang hari ini memiliki rencana sesi foto singkat di studio. Itu adalah sepasang pakaian andalannya sebagai professional photographer. Ia bisa tetap kelihatan rapi dan ganteng maksimal meski tampil dalam busana gaya kasual-Danu cuma nggak sadar aja visualnya yang memesona itu bisa membuat semua baju tampak bagus begitu dipakainya. Kaos partai dengan foto calon presiden yang tengah Danu kenakan sekarang misalnya. Di tahap ini harusnya Danu sungkem ke Bunda Arin karena telah mewariskan muka cakepnya secara plek-ketiplek ke Danu.
Perihal kaos partai, Danu punya total lebih dari selusin di lemarinya. Hasil mengumpulkan sejak tiga tahun lalu, mengikuti jejak Anjani yang sudah terjun terlebih dulu menjadi kolektor kaos gratisan itu. Tiap musim pemilu tiba, Danu dan Anjani serasa ketiban durian runtuh. Apalagi Anjani, sebab ayahnya adalah ketua RT-sosoknya dianggap punya pengaruh lumayan besar untuk menghasut warga se-RT. Jadi Anjani kadang maling dua kaos dari tumpukan kaos di pojok dapur yang hendak dibagi-bagikan. Anjani memiliki berbagai warna dan bahan, mulai dari yang tipis macam keresek dan bikin ketek bau bangkai, sampai yang tebal dan adem ketika dipakai.
"Siapa lagi," balas Anjani.
"Thanks lagi."
Anjani berdecak. "Kayak sama siapa aja sih, Nu. Nyiapin pakaian kerja lo kan sekarang kewajiban gue—asik ... haha ... ternyata gue beneran jadi bini orang sekarang." Tiba-tiba sensasi itu mendera pipinya. Namun, yang terasa hangat bukan sebatas pipi, melainkan juga seisi dada. Anjani berdeham kecil sebelum kembali menyantap mie-nya.
"Bini gue," gumam Danu, lalu ketawa kecil. Agak merinding. Merasa tidak familier dengan panggilan tersebut.
"Geli ya, Nu?" Anjani cengengesan.
Danu menunduk, fokus ke makanan, lalu mengangguk dengan senyuman tipis. "Biasanya kan kita manggil satu sama lain nyat-nyet gitu ya, Ja. Terus tiba-tiba lo jadi bini gue," kata Danu.
"Plot twist," gumam Anjani.
Danu kembali mengangkat tatapan, senyum gelinya terbit samar-samar melihat rambut Anjani yang sebatas pinggang itu digerai dan berkali-kali jatuh dari bahunya. Nyaris masuki mangkuk. Danu tertawakan Anjani, padahal kondisi rambutnya pun tak rapi sama sekali. Masih mencuat ke sana-sini sebab pasca bangun tidur langsung melesat ke dapur. "Ke toko nggak hari ini, Ja?" tanyanya sambil bangkit dan melangkah ke belakang Anjani. Digapainya ikat rambut pada pergelangan tangan Anjani, lantas ia ikat helaian hitam legam nan lembut perempuan itu. Ikatannya cukup rapi karena ini adalah kebiasaan yang ia lakukan sejak keduanya masih SMP.