Minggu siang menjelang sore, setelah naik bis dan berganti angkot, sampailah Farah di sebuah wilayah Gunung Kidul. Di pinggir jalan besar yang aspalnya rusak disana-sini, di salah satu pelosok wilayah dimana jarang ada bangunan di sepanjang jalan, hanya beberapa rumah yang jaraknya berjauhan satu sama lain, sisanya cuma sawah dan perbukitan sejauh mata memandang. Farah menenteng tas berisi keperluanya, sedikit uang terakhir yang ia punya, dan secarik kertas di genggamanya. Ia berdiri di depan sebuah gang diantara persawahan. Gang tersebut adalah jalan setapak ke arah kaki gunung. Sebuah palang kayu yang sudah lapuk dengan tulisan yang mulai memudar ia baca.
"Wila...yah...dus...un...wati...ngi--...", ejanya dengan ujung kata yang sudah hilang dari gapuknya papan itu.
Ya benar itu alamat yang ditunjukkan oleh kertas yang ditulis oleh Bu Siti. Dusun Watingin, sebuah dusun pelosok dikaki gunung kidul dengan wilayah yang mayoritas lahannya adalah persawahan, hutan, bukit, dan sisanya adalah kampung dusun itu sendiri. Namun peta yang dituliskan oleh Bu Siti tidaklah melewati gapura utama masuk Dusun Watingin. Farah harus melalui salah satu jalan alternatif setapak yang menuju ke arah perbukitan. Karena tujuan Farah adalah kediaman Mbah Jenggot, seorang dukun sakti yang mampu membantu perjanjian dua alam berupa pesugihan, yang berada di lereng gunung kidul.
Untungnya tak jauh dari tempat Farah berdiri ada pangkalan ojek, bukan pos ojek yang sering ia lihat di tv tapi cuma gubuk berisi tiga orang pengojek.
"OJEK MBAAK?!", tawar seorang pengojek berkumis yang berseru dari kejauhan.
"Wueelhadalah... Ayu tenan bro!", celoteh seorang pengojek lain yang bertubuh bantet.
"Mana? Mana to?", seorang temannya lagi yang botak gelagapan bangun dari tidurnya, "Uediaaan! Montok meen!", sambil mengucek matanya dan memainkan selipan rumput di mulutnya.
"Huu! Matamu kuwi ngacengan!", seloroh si bantet sambil menoyor jidat si Botak.
"Yo matamu kuwi yang picek! Cewek bahenol gitu apa kowe ndak liat?!", Si Botak kini membalas mencengkeram kepala si Bantet dan membelalakan matanya untuk melihat sosok Farah di kejauhan. "Tuh liat, ndak cuma ayu tapi Susune guede! Bodyne jugak gede duwur...! Apalagi itunyaa lho... wuiiih semok meen!", ucap si botak sambil menatap tubuh Farah seolah tanpa berkedip.
"Widiiih, yoi Bro! Ckckck, ayu tenaan... itu bener manusia apa bidadari yo? atau jangan-jangan bangsa lelembut?!"
"Lelembut kontolmu bisulan! Mana ada setan siang siang panas gini! Tapi kalopun dia setan, aku mau ngawini, khahahaha".
"Ah persetan kowe kowe pada! Yang penting sekarang giliranku narik, Mangkaaaat..... "KRRRUUUUNGGG"...", tak mempedulikan dua temanya yang masih takjub, si pengojek berkumis langsung ngegas motor dua tak-nya mendekati Farah.
"Wooo dasar bandot!", seru kedua temannya berbarengan.
"Mau kemana mbak ayu? hehehe", setelah sampai di dekat Farah, sambil cengengesan si Kumis menawarkan tumpangan. Si pengojek kumis ini nampaknya sudah cukup berumur, namun gairah lelakinya tetap bergejolak begitu melihat sosok Farah. Farah yang kala itu mengenakan tank top putih ketat yang diselimutinya dengan cardigan putih semi transparan bercorak batik karena hari itu lumayan panas, memang tampak menggoda. Ditambah celana jeans yang membungkus ketat paha dan bokong montoknya sangat terlihat seksi. Namun sejatinya yang membuatnya tampil menarik perhatian bukanlah bajunya, melainkan tubuhnya yang aduhai. Melihat gelagat si pengojek yang melihati tubuhnya dari atas sampai bawah, Farah jadi rada takut.
"Tenang mbak ayu, saya cuma tukang ojek, bukan kucing garong, hehehe...", jelas si kumis sambil mengelusi kumisnya yang tidak tercukur rapi.
"Mm... saya....", belum sempat Farah selesai bicara, tiba-tiba dua motor lain ikut mendekati Farah.
"Wis mbak, sama saya saja... jangan sama dia, si bandot tua ini motornya udah tua, bentar lagi mau ditaroh musium, Mbak", Seru si pengojek botak yang mematikan mesin motornya kemudian menyilangkan tanganya bertumpu pada kepala motornya.
"Bandot gundulmu! Ini kan giliranku narik, ngapain kalian berdua kemari? Huss huss sono pergi ah!", Si kumis mengusir temannya.
"Yah Yon, kowe kan wis punya istri, anakmu juga sudah gede, ndak baek kalo kowe diliat boncengin wanita lain...", tambah si pengojek bantet yang turun dari motornya.
"Ini lagi bantet, malah ikut-ikut... yo namanya kerjaan, ndak ada urusan sama anak istri. Bilang aja kalian berdua ini kesengsem sama mbak e yang ayu ini... heleh, ya to?", sergah si kumis sambil mencibir dua temannya.
"Huehehehe....", keduanya ketawa bebarengan.
Seperti halnya si kumis, kedua temanya begitu melihat sosok Farah dari dekat langsung menelan ludah. Apalagi pada belahan dada Farah yang nampak mengintip akibat digencet tanktopnya. Terutama si bantet yang berdiri di dekat Farah, tingginya yang hanya sampai sebahu Farah membuat matanya sejajar dengan lengan dan area di bawah ketiak Farah yang nampak menerawang. Diamatinya pori-pori kulit Farah yang bersih dan kulitnya yang mulus. Sungguh pemandangan yang sanggup membuat tiga pengojek kampung itu menelan ludah.
"Nama saya Yono mbak, hehe...", si kumis menjulurkan tanganya untuk bersalaman.
"Ndak nanya!", sahut si bantet sambil menampik tangan si kumis dan menyerobot tangan Farah lebih dulu, "Anu... hehe Saya Gembul Mbak... Tapi kalo mbak mau manggil saya Embul juga ndak papa biar kliatan imut, hehehe..."
"Kalo saya Boy mbak!", seru si botak yang masih nangkring diatas motornya, nampaknya agak sedikit malas untuk turun dari motornya. Namun dengan genitnya mengedipkan satu matanya.
Farah yang melihatnya jadi merasa lucu geli dan tersenyum kecil. Mungkin si botak ini pikir dia semacam Don Juan, karena yah... dibanding dua motor temanya, motor si botak memang membuat pengendaranya terlihat macho di jamannya. Sebuah motor dua tak berkopling dengan tangki di depan yang berisik kalau lewat. Mungkin karena itu juga dia menamai dirinya Boy seperti tokoh sinetron yang lagi digandrungi orang-orang itu. Entah siapa nama aslinya Farah tak peduli, tapi melihat tingkah polah ketiga pengojek kampung yang saling menghina, berlomba menarik perhatian Farah seperti dagelan, membuatnya tersenyum-senyum.
"Hihihi, saya Farah mas..."
"Hah? Apa? Farah... Susu?" si Botak berlagak tidak mendengar dengan meletakan telapak tanganya di telinga sambil sedikit mencondongkan badan.
"ES U ES I, SU-SI. FARAH maas...", kata Farah mempertegas.
"Hehehe kirain Susu...", kata si botak yang kembali memainkan selipan rumput dimulutnya.
Sedangkan Gembul yang masih belum mau melepaskan jabatan tangan Farah yang lembut, sengaja menggoyang-goyangkan tanganya keatas kebawah dengan sedikit kencang hingga membuat lengan Farah ikut memantul. Dan bukan hanya itu, saking kencangnya sampai tubuh Farah ikut bergetar dan membuat payudara jumbonya ikut sedikit berguncang. Tak ayal pemandangan nan indah itu jadi santapan mata-mata liar para pengojek.
"Salam kenal mbak Farah, hehehe....", ucap Gembul dengan mata yang menatap nanar ke arah bulatan daging yang mentul-mentul di depanya.
"HOEH! Kalo kenalan yang diliat wajahe, bukan Susune!", gertak Si kumis Yono sambil menyingkirkan tangan Gembul. Seketika langsung meraih pergelangan tangan Farah dan menariknya untuk menaiki motornya.
"Wis Mbak Farah, ndak usah diladeni dua curut cabul itu! Sekarang giliran saya yang narik, ayo naik!", ajak Yono dengan membimbing Farah. Sementara Farah sendiri asal menurut saja karena bingung.