"Mama dan Papa pergi dulu ya, kamu jaga Dina ya kalau Mama pulangnya telat."
Suara lembut ibunya masih terngiang di telinganya, penuh kehangatan dan kasih sayang. Ibunya tersenyum, menyentuh lembut kepala Dion sebelum berbalik menuju pintu.
"Tenang aja, Dion bisa kok... Dion kan udah besar. Apalagi Dina udah tambah sehat, ya kan, Dina?"
Dion berusaha terdengar percaya diri, meskipun ada sedikit rasa cemas yang tak bisa ia jelaskan. Dina yang duduk di sofa kecil tersenyum lemah, mengangguk pelan. "Iya," jawabnya dengan suara kecil yang hampir tenggelam.
Pintu rumah tertutup pelan. Langkah kaki mereka terdengar semakin menjauh, dan perasaan sunyi yang asing mulai menyelimuti ruangan.
Beberapa jam kemudian, ketukan di pintu membangunkan Dion dari lamunannya.
"Permisi..."
Suara berat seseorang terdengar dari balik pintu, membuat Dion merasakan dadanya sesak tanpa alasan yang jelas. Tangannya gemetar saat dia meraih gagang pintu dan membukanya perlahan.
"Iya, ada apa?" tanyanya dengan suara serak, pandangannya tertuju pada dua orang polisi yang berdiri di ambang pintu.
Polisi itu melepas topi polisi lalu memeluknya, seolah bersiap mengucapkan kata-kata yang akan mengubah segalanya.
"Apa benar ini kediaman Pak Raymond?" tanya salah satu polisi dengan nada penuh kehati-hatian.
"Iya, kenapa?" jawab Dion cepat, detak jantungnya mulai tak teratur, perasaannya memburuk setiap detik.
Polisi itu menarik napas panjang sebelum berkata, "Maaf... tapi kedua orang tuamu sudah meninggal."
Kring... kring...
"Mimpi itu lagi..."
Suara alarm menggema di kamar Dion, memaksa matanya terbuka setelah semalaman hampir tidak tidur.
Dengan tubuh terasa berat dan mata yang masih setengah tertutup, Dion berdiri dari ranjang. Rasa kantuk seolah menariknya kembali, tapi keadaan memaksanya untuk tetap melanjutkan rutinitas harian. Sekolah, pekerjaan, dan beban hidup yang tak pernah berhenti.
Dia berjalan pelan menuju kamar Dina, adiknya yang berusia 12 tahun. Suara napas halus gadis kecil itu terdengar lembut dalam kegelapan ruangan. Di bawah selimut tebal, tubuh kecil Dina terlihat rapuh, membuat hati Dion terasa sesak. Senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat adiknya tertidur lelap. Namun, senyum itu segera memudar, diiringi kenyataan pahit yang terus menghantuinya. Dina tidak bisa hidup normal seperti anak-anak lain—penyakitnya menghalangi setiap harapan untuk masa depan yang cerah.
"Dina pantas mendapatkan lebih dari ini..." pikir Dion, sebelum ia menarik napas panjang dan berbalik meninggalkan kamar adiknya.
Hari ini dimulai seperti hari-hari sebelumnya. Walaupun rasa cemas menggantung di dadanya, dia tetap ke sekolah seperti biasa. Menyembunyikan beban di balik wajah tenangnya, Dion melewati pelajaran tanpa banyak bicara, pikirannya melayang-layang, membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Sore harinya, Dion kembali ke pekerjaan kasar sebagai kuli bangunan. Dengan tangan yang sudah mulai dipenuhi kapalan, ia memindahkan batu bata, pasir, dan semen. Namun, tidak seperti biasanya, hari itu ia lebih sering melirik ponselnya, menanti sesuatu.
Lalu, tiba-tiba, saat dia sedang membersihkan sisa-sisa puing di lokasi kerja, ponselnya bergetar. Dion segera mengeluarkannya dari saku, dan sama seperti yang dia pikirkan. Sebuah pesan anonim muncul di layar, dengan tulisan singkat:
"Datanglah ke lokasi ini. Sebuah klinik di sebelah utara, dekat gedung yang sudah ditinggalkan."
Lokasinya berada di sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Dion tidak mengenali tempat itu, tetapi lokasi tersebut tidak terlalu jauh. Ia memutuskan untuk segera pergi sebelum keraguan semakin menyelimutinya.
"Apa yang sebenarnya aku lakukan?" pikir Dion, gemetar. Tetapi tetap melanjutkan langkahnya.
Sesampainya di sana, klinik itu terlihat sepi. Bangunan tua dengan cat kusam membuat suasana terasa aneh. Tidak ada tanda-tanda aktivitas, hanya sebuah lampu neon yang berkedip samar-samar, dan pintu yang tampaknya sudah lama tak diperbaiki. Dion menelan ludah dan merasakan dingin di tengkuknya, tapi kakinya terus melangkah maju.
Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Suasana di dalam ruangan terasa kontras dengan lingkungan luar yang sunyi dan terbengkalai. Di dalam, semuanya bersih dan tertata rapi, dengan aroma samar lilin wangi yang memenuhi udara. Dion memperhatikan ruangan itu dengan cermat, namun perhatiannya segera tertuju pada sosok di balik meja resepsionis.
Seorang gadis dengan rambut panjang berwarna hitam pekat duduk di sana, mengenakan pakaian mewah serba hitam yang membaur dengan suasana gelap di sekitarnya. Matanya berkilauan, memperlihatkan sesuatu yang asing dan berbahaya. Meskipun tampak seperti remaja sebaya dengan Dion, ada aura aneh yang terpancar darinya—seolah waktu tidak berlaku sama baginya seperti manusia biasa.
"Dion, kan?" Gadis itu—Eva, sesuai dengan nama yang tertulis di lencana kecil di dadanya—tersenyum tipis. Senyuman yang terlihat sopan di permukaan, namun mata merahnya memancarkan kehangatan yang ganjil, seperti sedang mengamati lebih dalam daripada yang seharusnya.
"Ya, itu aku," jawab Dion, suaranya sedikit serak, sambil tetap menjaga tatapan mereka yang terasa aneh.
Dion berdiri canggung di depan meja resepsionis, mencoba menenangkan rasa was-was yang perlahan menguasai pikirannya. Tatapan Eva masih tertuju padanya, seperti seorang pemangsa yang mengamati mangsanya. Namun, senyum di wajahnya tetap terpajang, tidak berubah sedikit pun. "Kamu sudah siap untuk donor?" tanya Eva dengan nada lembut yang entah bagaimana terdengar menusuk di telinga Dion.
"S-siap," jawab Dion, meskipun dalam hatinya ia ragu. Eva bangkit dari kursinya dengan gerakan yang begitu halus dan cepat, hampir tidak terlihat. Tanpa berkata lebih lanjut, dia melangkah ke samping, memintanya untuk mengikutinya ke pintu di belakang meja. Langkahnya begitu ringan, hampir seolah tidak menyentuh tanah. Dion mengikuti di belakang, merasakan udara di sekitarnya semakin dingin.
Ketika pintu terbuka, Dion disambut oleh pemandangan sebuah ruangan kecil, lebih terang dibandingkan ruang depan, dengan satu kursi di tengah ruangan dan alat-alat medis sederhana yang tertata di sekelilingnya. Tidak ada suara, hanya detak jantung Dion yang semakin keras di telinganya. Eva memutar tubuhnya perlahan, memandangi Dion sekali lagi. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini tidak akan memakan banyak waktu... atau rasa sakit," ucapnya dengan senyum samar yang kini terasa jauh lebih mengancam.
Eva memandang Dion dengan senyum yang semakin aneh, matanya yang merah menyala seakan-akan menembus pikirannya. "Duduklah di sana sebentar. Seseorang akan datang," ucapnya, suaranya terdengar lebih tajam dari sebelumnya. Eva tetap berdiri tegap di samping pintu, tidak bergerak, hanya memandang Dion dengan tatapan yang sulit diartikan. Dion menurut, melangkah menuju ranjang rumah sakit di tengah ruangan dan duduk. Hening menyelimuti mereka, dan suasana menjadi semakin canggung. Hanya ada dengungan alat-alat medis dan napasnya yang tak teratur.
Beberapa menit berlalu tanpa ada tanda-tanda orang lain. Dion semakin gelisah, duduk sendirian di ruangan dengan wanita yang tak ia kenal, yang tak berhenti memandanginya. Namun, suasana tegang itu akhirnya terpecah ketika seorang pria tinggi masuk ke ruangan. Pria itu setidaknya dua meter, mengenakan jas hitam rapi dengan dasi merah mencolok, rambut hitamnya disisir ke belakang, memberikan kesan elegan namun misterius. Langkahnya mantap, dan aura tenangnya langsung memenuhi ruangan.
"Dion, ya?" Pria itu berbicara dengan nada ramah, tetapi formal. "Apakah kau sudah lama menunggu?"
"T-tidak, aku baru beberapa menit di sini," jawab Dion, meski suaranya terdengar lebih gugup dari yang dia harapkan.
"Maaf atas keterlambatannya," pria itu tersenyum tipis sambil mengenakan sarung tangan medis. "Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Mari kita mulai." Dengan gerakan yang tenang dan profesional, pria itu segera memulai prosedur, mempersiapkan peralatan untuk mengambil darah. Dalam waktu singkat, kantong darah pertama sudah terisi. Dion hanya bisa terdiam, perasaan campur aduk antara lega dan takut masih menguasainya.
Pria itu melepaskan sarung tangannya, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih, semuanya telah selesai dengan satu kantong darah berkualitas..." Suaranya terdengar puas, namun agak ragu. "Aku juga akan memberikan bingkisan kecil berisi snack dan minuman. Uangnya bisa kau dapatkan dari Eva," lanjutnya, melirik ke arah Eva yang masih berdiri di samping pintu. "Akan kutunggu donor berikutnya."
Dion merasa tubuhnya lemas, meski rasa sakit di lengannya hanya samar. Pikirannya lebih fokus pada kata-kata pria itu—'donor berikutnya.' Seolah hal ini bukanlah sekali selesai, seolah dia diharapkan untuk kembali lagi.
"Donor... berikutnya?" tanya Dion, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Pria itu menatapnya dengan tajam, senyum di wajahnya tak berubah. "Tentu saja. Jika kau ingin terus mendapatkan uang seperti ini, kau harus rutin mendonorkan darah. Bagaimana lagi kau akan membayar biaya pengobatan adikmu?"
Kata-kata itu menusuk seperti pedang. Dion menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Mereka juga mengetahui tentang kondisi adikku.
"Tentu, aku akan... mempertimbangkannya," kata Dion pelan, meski di dalam hatinya dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain.
Saat pria itu pergi, Dion menghela napas lega, tetapi kegelisahan belum sepenuhnya hilang. Ia kemudian berdiri dan melangkah mendekati Eva yang masih berdiri tegak di samping pintu, matanya masih menyala merah.
"Kau bisa mengambil uangmu sekarang," ucap Eva dingin, sambil menyerahkan amplop tebal. Dion menerimanya tanpa banyak bicara. Ini memang 10 juta. Meskipun uang itu ada di tangannya, rasa aneh tentang apa yang baru saja dia lakukan tak bisa dia abaikan.
Dion keluar dari ruangan dengan langkah yang sedikit gontai, efek dari donor darah tadi membuat tubuhnya terasa lemas. Saat tangannya menyentuh gagang pintu klinik, pintu itu tiba-tiba terbuka dari luar. Dion terkejut sejenak, melihat seorang wanita yang tampak berwibawa masuk dengan anggun. Wanita itu mengenakan mantel bulu hitam, gaun biru yang menghiasi tubuhnya dengan sempurna, dan di sampingnya berdiri dua orang bodyguard berpakaian jas hitam lengkap.
Wanita itu memancarkan aura kekuasaan yang kuat, dan kecantikannya nyaris membekukan Dion di tempat. Wajahnya pucat sempurna, dengan mata biru dingin yang tampak menusuk. Rambut panjang berwarna hitam pekat mengalir lembut di atas mantelnya. Setiap langkahnya terdengar ringan namun penuh makna, seperti seorang ratu yang memasuki istananya.
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩMakasih udah baca