Malam semakin larut, udara dingin menyelimuti perjalanan mereka pulang setelah menyelesaikan kerja kelompok di rumah salah satu teman mereka.Jalanan sepi, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang redup. Azeela dan Biru berjalan berdampingan tanpa banyak bicara. Suara langkah kaki mereka bergema di trotoar yang basah oleh embun.
"Kamu suka kucing ya? Soalnya, aku pernah lihat kamu beli makanan kucing" tanya Azeela mencoba mencairkan suasana.
Tatapannya lurus ke depan, meski jantungnya berdetak tak menentu karena berada begitu dekat dengan Biru.
Biru menoleh sedikit, senyum kecil tersungging di wajahnya. "Oh enggak kok aku beli itu untuk mamaku, dia suka kucing"jawabnya
Azeela mengangguk paham, namun suasana hening kembali menyelimuti. Keduanya melanjutkan perjalanan dalam keheningan yang aneh, seolah-olah ada sesuatu yang ingin disampaikan, tetapi tak satu pun dari mereka tahu bagaimana memulainya.
Setelah beberapa saat, Biru berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang dan berat.
"Azeela, pernah nggak, kamu merasa hidup itu seperti ombak di lautan? Kadang kita terombang-ambing, nggak tahu ke mana harus berlabuh"
Azeela tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menoleh, menatap wajah Biru yang terlihat begitu tenang dalam gelapnya malam.
"Sering" jawabnya pelan. "Kadang aku merasa seperti orang yang tenggelam, tapi nggak ada yang tahu kalau aku butuh pertolongan. Semua orang hanya melihat permukaan" sambungnya.
Biru mengangguk, matanya menatap langit yang penuh bintang.
"Ya, orang sering nggak tahu apa yang sebenarnya kita rasakan. Mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat"
Azeela merasakan sesuatu berdesir di hatinya. Kata-kata Biru seolah menggambarkan apa yang ia rasakan selama ini, perasaan terjebak di rumah yang penuh masalah, dengan ayah yang tak peduli dan hidup yang penuh dengan luka yang tersembunyi.
Dia ingin bercerita lebih, ingin membuka semua yang selama ini disimpannya rapat-rapat, tapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan.
"Aku harap..."Azeela terdiam sejenak, menatap langkah kakinya yang pelan. "Aku harap suatu hari nanti, semua orang bisa melihat yang sebenarnya. Bukan hanya apa yang mereka kira" lanjutnya.
Biru berhenti sejenak, memandang Azeela dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Mungkin mereka akan melihat, atau mungkin juga mereka nggak akan pernah mengerti. Tapi, yang terpenting adalah... kamu tetap berjalan. Walaupun ombak terus datang, jangan pernah berhenti berenang"
Azeela menelan ludah, merasa kata-kata Biru menggema di dalam dirinya. Ia mengangguk pelan, meskipun hatinya ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu apa yang sebenarnya ada di balik semua yang Biru katakan. Namun, ia memilih diam. Karena mungkin, itu lebih baik.
Mereka tiba di persimpangan, tempat di mana mereka harus berpisah.
Azeela menatap Biru yang berdiri di depannya, senyumnya yang biasa tampak sedikit lebih lembut malam itu.
"Sampai besok, Biru,” ucapnya dengan nada ringan, mencoba menahan detak jantungnya yang semakin kencang.
Biru menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
"Sampai besok, Azeela"
Tanpa mereka sadari, mungkin itu adalah perpisahan terakhir mereka.
oOo
Sejak pertama kali melihat Langit Biru Samudra, Azeela merasakan sesuatu yang berbeda.
Bukan cinta pada pandangan pertama, melainkan sebuah rasa tenang yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Setiap kali dia melihat senyuman Langit, ada sesuatu yang lembut mengalir dalam dirinya, seakan beban hidupnya berkurang hanya dengan kehadiran sosok itu.
Langit selalu tampak begitu cerah dan tak terbebani, seolah hidupnya sempurna, sama seperti namanya seperti langit yang biru tanpa cela, dan samudra yang tenang di bawahnya.
Azeela tak pernah berani mendekati Langit. Dia tahu dunianya berbeda. Azeela hidup dalam kekurangan dan kesedihan, sementara Langit tampak seperti seseorang yang selalu dikelilingi cahaya.
Namun, justru dari kejauhan itu, Langit menjadi alasan Azeela untuk tetap bertahan. Setiap pagi di sekolah, melihat Langit sudah cukup membuat harinya terasa sedikit lebih baik, meski tanpa satu kata pun terucap antara mereka.
Langit adalah cahayanya yang diam, sebuah harapan yang tak pernah ia ungkapkan.
Di saat ayahnya pulang mabuk dan dunia di sekitarnya terasa runtuh, Azeela hanya perlu memejamkan mata dan membayangkan senyum Langit.
Dalam keheningan malam, saat semua terasa begitu berat, bayangan Langit membuat Azeela kuat, memberi alasan baginya untuk bangkit setiap hari, meski hidupnya terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca.
Namun, perasaannya harus selalu ia pendam. Azeela tahu bahwa dunianya dan dunia Langit Biru Samudra terlalu jauh, bagaikan dua garis yang tak pernah bertemu.
Baginya, mengungkapkan perasaan hanya akan membuat semuanya lebih rumit, apalagi dengan situasi hidupnya yang sudah cukup berat.
Dia memilih untuk memendam semuanya, mencintai dalam diam, karena meskipun rasa itu tak pernah terucap, cinta itu cukup untuk memberinya kekuatan.
Setiap hari, dia hanya bisa menyaksikan Langit dari jauh, mengagumi dalam keheningan.
Senyum Langit adalah penyemangat yang tak pernah gagal membuat Azeela bertahan.
Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang bercampur antara bahagia dan luka, bahagia karena dia bisa menemukan secercah harapan dalam hidupnya yang gelap, tapi juga luka karena harapan itu adalah sesuatu yang tak bisa dia genggam.
Walaupun begitu, Azeela harus terus berjalan. Setiap kali hatinya terasa lelah, dia kembali mengingat Langit Biru Samudra, seperti sebuah pemandangan indah yang jauh di cakrawala. Cukup untuk memberinya kekuatan, meski mungkin tak pernah bisa ia miliki.
oOo
Malam itu, Azeela pulang lebih lambat dari biasanya namun hatinya senang karena bisa berjalan bersama dan bahkan berbicara berdua dengan biru.
Suasana di rumah sunyi, namun saat ia membuka pintu, suara gemerisik dari dalam menyadarkan Azeela bahwa ada seseorang di rumahnya.
Hatinya bergetar saat ia melangkah ke dalam.
"Ayah?" Panggil Azeela pelan, suara kecilnya menggema di dalam kesunyian.
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah lebih jauh ke dalam ruang tamu.
Di sana, ia menemukan ayahnya terjatuh di sofa, botol minuman keras setengah kosong di sampingnya. Wajah ayahnya tampak merah, dan air mata mengalir di pipinya yang berkerut.
Azeela merasa hatinya teriris, tetapi rasa lelahnya untuk enggan bersimpati lebih kuat daripada dorongan untuk berlari memeluknya.
"Azeela..." Suara ayahnya serak, napasnya berat. "Ayah... ayah... tidak tahu harus berbuat apa lagi. Semua ini... semua ini menghancurkan ayah zeela"ucapnya frustasi.
Azeela terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ia ingin merasakan rasa empati, ingin menghampiri dan memeluknya, tetapi semua itu terasa sangat berat.
"Ayah, ini bukan cara untuk menyelesaikan masalah..." jawabnya perlahan, suara Azeela terdengar lemah.
Ayahnya menggeleng, semakin terjerat dalam kesedihannya sendiri.
"Kau tidak mengerti, Azeela. Hidup ini... semua ini terlalu sulit. Bun... bundamu pergi dan ayah tidak bisa menjalaninya sendiri" Air mata mengalir semakin deras, menciptakan jejak lembab di pipinya.
Azeela merasa hatinya bergejolak. Ia ingin sekali merasakan perasaan itu, untuk merasakan kehadiran kasih sayang seorang ayah, tetapi yang ada hanyalah lelah dan hampa.
Berapa lama lagi aku harus menanggung semua ini? pikirnya.
Setiap kali ia mencoba merangkul ayahnya, ada rasa sakit di dalam hatinya yang berteriak untuk diabaikan.
"Aku... aku juga merasa kehilangan, yah" katanya, suara Azeela bergetar. “Tapi ini bukan solusi. Ayah hanya membuat segalanya semakin buruk"
"Aku tidak tahu lagi. Maafkan ayah, Azeela..."
Ayahnya mengusap wajahnya, mencoba menghapus air mata, tetapi tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit yang ada di hati Azeela.
Malam itu, Azeela berdiri terpaku, antara ingin melangkah maju dan menarik diri dari kenyataan yang menyakitkan.
Ia merasakan bahwa meskipun ia ingin bersimpati, rasa lelah untuk terus menerus mendukung dan menanggung beban ini membuatnya ingin melarikan diri.
"Selamat malam, ayah"
Azeela akhirnya memilih untuk pergi, meninggalkan ayahnya yang terjebak dalam gelapnya malam dan kesedihan.
Dia keluar dari ruangan itu, merasakan kesedihan yang mendalam namun juga keletihan yang tak tertahankan. Kapan hidup menyakitkan ini akan berhenti? pertanyaan yang sama menggema di dalam pikirannya setiap malam.