〔Chapter 2〕Malam terakhir

29 14 0
                                    

Setahun yang lalu

Hari itu cerah, secerah harapan yang berkecamuk di dalam hatiku. Namun, di balik hangatnya sinar matahari, rasa cemas mulai menyelubungi pikiranku. Selama sepuluh tahun, Elnathan—atau El, seperti biasa aku memanggilnya—telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Dia tinggal bersama Bibi Grace, tetanggaku yang baik hati, setelah orang tuanya menitipkannya di sini sepuluh tahun yang lalu.

Bibi Grace adalah sosok yang kuat dan inspiratif. Di usianya yang enam puluh tahun, rambutnya mulai memutih dan sering terikat rapi. Wajahnya berkeriput, mengisyaratkan pengalaman hidup, namun mata cokelatnya selalu memancarkan kehangatan. Sejak suaminya meninggal lima belas tahun lalu, Bibi Grace menjalani hari-harinya dengan tegar. Setiap pagi, aroma roti dan kue yang ia buat menyebar ke seluruh rumah, menciptakan suasana nyaman bagi siapa pun yang berkunjung.

Aku sering bermain ke rumah Bibi Grace, di mana aroma roti hangat selalu menyambutku. Dia selalu mendengarkan ceritaku, memberi nasihat yang membuatku merasa diperhatikan. Bagiku, dia seperti nenek sendiri. Meski tinggal sendirian, kehadiran anak-anak seperti El dan aku membuatnya tidak pernah merasa kesepian.

Namaku Veronica Angelin, orang tua dan teman-temanku memanggilku dengan sebutan Vero, lebih akrab di dengar. Dengan tinggi sekitar seratus enam puluh sentimeter, tubuhku ramping dan gesit. Rambut hitam panjangku sering diikat saat aku sibuk beraktivitas. Wajahku bulat, pipi sedikit berisi, dan mata hazelku kerap mencerminkan keceriaan yang kusimpan. Kulitku yang putih bersih tampak bersinar di bawah sinar matahari, dan senyumku selalu bisa menenangkan orang-orang di sekitarku.

Hari itu, aku berdiri di depan rumah Bibi Grace, mataku tertuju ke dalam rumah. Aku melihat Elnathan sedang membantu membungkus roti sambil sesekali tertawa. Elnathan, dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh sentimeter, tubuh atletis, dan rambut hitam legam yang sedikit melengkung, tampak santai dengan kaos biru navy dan celana jeans. Wajahnya tampan dengan rahang tegas, dan matanya yang hitam pekat seolah menyimpan banyak rahasia.

Aku ingin berlari ke sana dan menjahilinya seperti biasa. Namun, saat keberanian itu terhimpun, tiba-tiba telepon rumah Bibi Grace berdering. Suara nyaringnya terdengar jelas dari dalam rumah.

“Ya… ya, saya mengerti… terima kasih sudah mengabari,” kata Bibi Grace, suaranya bergetar.

Rasa cemas mulai mengisi hatiku. Ada sesuatu yang tidak beres. Tak lama kemudian, Bibi Grace keluar dengan ekspresi yang membuatku semakin khawatir.

“Vero,” panggilnya lembut, “El, dia…”

Sebelum Bibi Grace melanjutkan, Elnathan muncul dari dalam rumah dengan wajah ceria. Namun, senyumnya langsung memudar saat melihat ekspresi kami.

“Ada apa?” tanyanya, mendekat.

“Ini tentang orang tuamu, Nak,” kata Bibi Grace, matanya berkilau. “Baru saja mereka menghubungi Bibi. Mereka bilang, kamu harus pindah ke kota lain besok dan tinggal bersama mereka.”

Dunia seolah berhenti. “Besok? Tiba-tiba banget. Kenapa kamu nggak bilang dari awal, El?” tanyaku, menatap Elnathan dengan suara bergetar menahan air mata.

Elnathan tampak bingung, menggeleng pelan. “Aku juga baru tahu, Vero. Mereka baru kasih tahu Bibi. Tapi, aku nggak bakal pindah. Jika memang mereka hanya ingin melihat keadaanku sekarang, aku hanya akan pergi beberapa minggu saja.”

Sedikit lega rasanya, namun cemas tetap menyelimuti hatiku. “Kamu bakal balik lagi, kan? Aku nggak mau kamu pindah dan meninggalkanku serta Bibi Grace sendirian disini.”

Elnathan tersenyum menenangkan. “Tentu saja! Aku bakal balik. Kita masih bisa bermain di bawah pohon maple kita. Kita sudah janji, kan, tetap bersahabat selamanya?”

When Maple Saves EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang